Jendela bis dan Suara II ( tentang kenangan)

         
Magic4Walls.com
Sekali lagi, aku berada dalam perjalanan pada lintasan kecepatan waktu. Dan Sekali lagi, perjalan ini pun tentang tugas, hanya saja (mungkin) nantinya akan lebih menjadi sebuah liburan, yah.. liburan dari sebuah kenangan. Jika perjalanan pertama adalah bali, maka perjalanan kedua adalah yogyakarta. Sebuah Rute perjalanan mundur dari arah jawa barat, tepatnya Bandung. Sama halnya dengan perjalanan mundur ini, maka jendela bis pun menceritakanku sebuah alur mundur. 

Hurry up and wait, So close but so far away

Tepat pukul tujuh malam, aku mulai menaiki sebuah bis yang akan mengantarku ke provinsi sebelah. Sebelumnya, aku sudah memohon, memelas dan mengeluarkan segala jurus memprihatinkan pada teman sebangku bisku untuk membiarkanku duduk di tempat favoritku, di sisi kanan bis dimana aku bisa berdekatan dengan cermin ajaib milikku sendiri : jendela bis. Dan dengan sebuah keberuntungan, usahaku berhasil.
Sama seperti dua tahun lalu, aku terduduk disamping sebuah jendela bis besar yang nantinya akan mentransformasikan banyak cerita.  Bis yang kutumpangi mulai berjalan perlahan seiring berjalannya panggung ceritaku. Dalam pantulan jendela bis aku menangkap angka-angka terbalik dari jam digital di depan bis, angka – angka itu bernilai 19 : 03. Nilai yang sama dengan sebuah tanggal yang membuat suaranya  menghilang dan akan menjadi serpihan kenangan.
19 maret 2013 pada hari Rabu yang abu. Lewat jendela bis aku mendapati refleksi diriku pada hari itu, seorang gadis dengan baju biru dan rok hitam yang tengah terduduk di sebuah kendaraan dengan posisi favoritnya yang menatap keluar jendela. Kendaraan itu lebih kecil dari bis yang ku tumpangi, kendaraan itu hanyalah sebuah angkutan sederhana menuju sebuah supermarket. Di kendaraan itu sang gadis begitu asyik menatap setiap inci pemandangan diluar jendela, lengah akan satu benda yang tersimpan disakunya : handphonenya.
‘Ziiiingggg’ sebuah cahaya lampu mobil melewati jendela bisku membuat refleksi bayangan itu hilang seperti asap. Pada tanggal itu, hanya tuhan yang tahu kemana handphoneku lenyap terdampar, bisa jadi handphone itu jatuh dengan cerobohnya dan tertinggal di angkutan umum yang tak kan kembali dinaiki kecuali dengan keajaiban peluang matematika, atau mungkin bisa jadi handpone itu berpindah tangan juga majikan. Benar-benar hanya tuhan yang tahu nasib handphone itu.
Everything, that you always dream of, close enough for you to taste but you just can’t touch

Aku melihat jalanan kembali gelap akan seliweran cahaya-cahaya mobil, hanya tertinggal cahaya lampu-lampu kota yang bergerak perlahan. Jendela bis itu kembali merefleksikan kenanganku pada tanggal itu, hanya saja sesaat setelah aku kehilangan handphone ku.
Lewat jendela bis, aku melihat gadis berbaju biru itu begitu lusuh diantara lampu-lampu kota malam hari. Dia berjalan kesana kemari mencari cari benda hilang di sebuah tempat parkir, sebuah usaha yang sia-sia sebenarnya, siapapun tahu, handphone itu hilang di angkutan umum, bukan di tempat parkir. Matanya sembab menahan air mata dan disampingnya seorang teman memberikan semangat untuknya.
Mungkin, selain harga handphone, satu hal lagi yang membuatnya menangis. Digit-digit angka yang tersimpan rapi di daftar kontak handphone itu. Gadis itu hanya hafal dua kontak nomor yang berarti dua puluh empat digit angka. Satu untuk kontak ibunya, satu untuk kontak sahabatnya. Gadis itu tidak hafal satu kontak yang —menurutnya— cukup penting, kontak yang akan menghubungkan dirinya dengan sang suara. Jelas sekali bahwa aku, gadis itu, kehilangan cara untuk berkomunikasi lagi dengan suara itu.
Aku menutup mataku sambil menghela nafas panjang.  Refleksi itu kembali hilang menjadi gumpalan uap embun di jendela bis. Kejadian itu sekitar tiga bulan yang lalu. Dan selama tiga bulan itu aku tidak mendengar suara khas kemayunya saat mengobrol atau bahkan suara tawa aneh yang bisa membuatku ikut-ikutan tertawa. Dalam hati aku merutukinya, kesal. Seharusnya suara itu bisa menghubungiku lagi!
You wanna show the world, but no one knows your name yet

Selama satu bulan (mungkin kurang atau mungkin lebih), kawanku, keluargaku juga...suara itu jelas tak bisa menghubungiku, begitupun aku yang tak bisa menghubungi mereka. Tapi setelah kehilangan itu, aku menyempatkan waktuku untuk mencari pusat provider nomorku, memohon pada orang yang disebut operator untuk membuatkanku nomor yang sama dengan nomorku yang hilang. Seandainya perasaanku itu se-transparan jendela bis ini, mungkin orang-orang akan tahu usahaku itu memiliki konspirasi sendiri, semacam niatan tersembunyi untuk memberikan jalan agar suara itu kembali menghubungiku. Tapi nihil, sepertinya rentan waktu satu bulan merupakan waktu yang cukup lama bagi suara itu untuk mendefinisikan bahwa aku benar-benar telah hilang dari permukaan hidupnya.
Aku kembali membuka mataku dan menoleh ke arah jendela bis. Disana, aku mendapati refleksi seorang gadis dengan ekspresi konyolnya setiap kali mendapati nomor asing di handphone (baru) nya dan membalas pesan itu dengan pertanyaan yang sama “ini siapa?” . Sedetik kemudian, ekspersi itu akan menjadi helaan nafas pendek ketika nama yang muncul bukan nama yang di harapkan. Ah... Sial! Memangnya apa yang harus diharapkan gadis itu? Kali ini refleksi gadis itu hilang tertutup bayanganku sendiri yang terlihat dengan ekspresi yang lebih konyol. Semacan ekspresi kerinduan.
“kehilangan sesuatu?” seseorang di depan kursiku membuyarkan ceritaku.
Aku tertawa garing menanggapinya “hilang apa?” berharap dia hanya bercanda dan tidak tahu apa yang sedang aku pusingkan.
“ayo cari haha” candanya di saat yang kurang tepat.
“entahlah, aku tidak kehilangan apapun Liz,” aku mengangkat bahu dan berpura-pura mengalihkan pandanganku.
“ayolah, kau bahkan tidak mau mencarinya, kalau begitu bagaimana kau bisa menemukannya?” kata-kata temanku yang satu itu mulai terdengar misterius dan agak meenyindir. Kuharap dia tidak bisa membaca cerita pikiranku.
“kenapa harus mencari? Aku bahkan tak tahu siapa yang harus kucari..”  jawabku spontan. Sial, lidahku terpeleset!
Teman ku itu melemparkan senyuman misterius kearahku, Lalu memberikan bross ungu kepadaku (kurasa aku tak sadar sudah menjatuhkan bross itu) Sebelum dia berbalik duduk manis di kursinya, dia mengulangi kata-kataku dengan intonasi yang agak menyebalkan “tak tahu siapa yang harus dicari ya? Hehe, ini kan benda, bukan orang”
 Aku kembali ke jendela bis, menghela nafas, dan menghapus uap – uap embun di kaca jendela agar relfeksi gadis itu tidak datang-hilang-datang-hilang. Setidaknya, aku harus memutuskan bagaimana ending cerita ini. Aku kembali melihat sosok seorang gadis di jendela bis itu, seperti sebuah putaran film pendek diatas layar kaca.
Now you’re feeling more and more frustated

Di sebuah kamar, gadis itu terlihat frustasi, padahal yang dia lakukan hanyalah memutuskan apa yang harus dia tulis di  kolom kosong google search engineer  lalu menekan tombol search. Dia menuliskan sebuah nama lalu menghapusnya lagi karena merasa bodoh jika sampai harus mencari sumber suara itu . Semenit kemudian dia menuliskannya dan menghapusnya lagi, menulis-menghapus lagi selama beberapa menit. Tapi pada akhirnya dia menekan tombol close (x) di pojok kanan jendela layar komputernya. Dia menutup akses untuk memenuhi rasa penasarannya tentang suara itu. Selanjutnya, gadis itu mematikan Laptopnya dan membaringkan diri di tempat tidurnya, menggantung ending dari cerita ini.
And you’re getting all kind of impatient, waitin’

Seandainya kau masih ingat cerita jendela bis dan suara dua tahun yang lalu, mungkin kau akan tahu betapa kalutnya aku, gadis itu, saat ini. Seperti dipermainkan maya yang memperkenalkanku pada hal-hal absurd hanya bisa ku rasakan. Sesuatu yang tak mungkin kucari,  tak pasti untuk ditunggu, namun tak bisa dipungkiri untuk diharapkan.
Dulu sewaktu aku SMP, dalam masa labilku, aku sangat mudah untuk menghapus pertemanan dengan orang-orang yang hanya ku kenal lewat dunia maya. Kenapa harus pusing? Toh aku belum bertemu dengan mereka, bukan? Itu hanya sebuah keisengan anak ababil. Tapi sekarang dan untuk suaranya...kelihatannya lebih rumit dari kata mudah.
We live  and we learn to take one step at a time
There’s no need to rush
It’s like learning to fly, Or fallin’ in love
It’s gonna happen when it’s..
Supposed to happend when we find the reason why
Melalui earphone, sayup-sayup aku mendengar sebuah lagu yang kuterka-terka beberapa liriknya, lagu yang bahkan aku tak tahu apa ‘maksud’nya, namun mengantarkanku pada ingatan yang menyenangkan sekaligus menyebalkan. Bayanganku di jendela bis mulai kabur dan hilang sepenuhnya. Dengan alunan lagu itu aku mulai tertidur menutup cerita ini tanpa keputusan.
One step at Time.


*A/N
Viola! Akhirnya bisa buat cerita yang ngegantung! Ngegantung bikinnya, ngengantung ceritanya dan bikin saya gantung diri dengan hasilnya -_-
PS :  Itu potongan-potongan lagunya Jodin Spark, One step at Time.