Magic4Walls.com |
Hurry up and wait, So close but so
far away
Tepat
pukul tujuh malam, aku mulai menaiki sebuah bis yang akan mengantarku ke
provinsi sebelah. Sebelumnya, aku sudah memohon, memelas dan mengeluarkan
segala jurus memprihatinkan pada teman sebangku bisku untuk membiarkanku duduk
di tempat favoritku, di sisi kanan bis dimana aku bisa berdekatan dengan cermin
ajaib milikku sendiri : jendela bis. Dan dengan sebuah keberuntungan, usahaku
berhasil.
Sama
seperti dua tahun lalu, aku terduduk disamping sebuah jendela bis besar yang
nantinya akan mentransformasikan banyak cerita. Bis yang kutumpangi mulai berjalan perlahan
seiring berjalannya panggung ceritaku. Dalam pantulan jendela bis aku menangkap
angka-angka terbalik dari jam digital di depan bis, angka – angka itu bernilai
19 : 03. Nilai yang sama dengan sebuah tanggal yang membuat suaranya menghilang dan akan menjadi serpihan kenangan.
19
maret 2013 pada hari Rabu yang abu. Lewat jendela bis aku mendapati refleksi
diriku pada hari itu, seorang gadis dengan baju biru dan rok hitam yang tengah
terduduk di sebuah kendaraan dengan posisi favoritnya yang menatap keluar
jendela. Kendaraan itu lebih kecil dari bis yang ku tumpangi, kendaraan itu
hanyalah sebuah angkutan sederhana menuju sebuah supermarket. Di kendaraan itu
sang gadis begitu asyik menatap setiap inci pemandangan diluar jendela, lengah
akan satu benda yang tersimpan disakunya : handphonenya.
‘Ziiiingggg’
sebuah cahaya lampu mobil melewati jendela bisku membuat refleksi bayangan itu
hilang seperti asap. Pada tanggal itu, hanya tuhan yang tahu kemana handphoneku
lenyap terdampar, bisa jadi handphone itu jatuh dengan cerobohnya dan
tertinggal di angkutan umum yang tak kan kembali dinaiki kecuali dengan
keajaiban peluang matematika, atau mungkin bisa jadi handpone itu berpindah
tangan juga majikan. Benar-benar hanya tuhan yang tahu nasib handphone itu.
Everything, that you always dream of,
close enough for you to taste but you just can’t touch
Aku
melihat jalanan kembali gelap akan
seliweran cahaya-cahaya mobil, hanya tertinggal cahaya lampu-lampu kota
yang bergerak perlahan. Jendela bis itu kembali merefleksikan kenanganku pada
tanggal itu, hanya saja sesaat setelah aku kehilangan handphone ku.
Lewat
jendela bis, aku melihat gadis berbaju biru itu begitu lusuh diantara
lampu-lampu kota malam hari. Dia berjalan kesana kemari mencari cari benda hilang
di sebuah tempat parkir, sebuah usaha yang sia-sia sebenarnya, siapapun tahu,
handphone itu hilang di angkutan umum, bukan di tempat parkir. Matanya sembab menahan
air mata dan disampingnya seorang teman memberikan semangat untuknya.
Mungkin,
selain harga handphone, satu hal lagi yang membuatnya menangis. Digit-digit
angka yang tersimpan rapi di daftar kontak handphone itu. Gadis itu hanya hafal
dua kontak nomor yang berarti dua puluh empat digit angka. Satu untuk kontak
ibunya, satu untuk kontak sahabatnya. Gadis itu tidak hafal satu kontak yang
—menurutnya— cukup penting, kontak yang akan menghubungkan dirinya dengan sang suara.
Jelas sekali bahwa aku, gadis itu, kehilangan cara untuk berkomunikasi lagi
dengan suara itu.
Aku
menutup mataku sambil menghela nafas panjang.
Refleksi itu kembali hilang menjadi gumpalan uap embun di jendela bis.
Kejadian itu sekitar tiga bulan yang lalu. Dan selama tiga bulan itu aku tidak
mendengar suara khas kemayunya saat
mengobrol atau bahkan suara tawa aneh
yang bisa membuatku ikut-ikutan tertawa. Dalam hati aku merutukinya, kesal.
Seharusnya suara itu bisa
menghubungiku lagi!
You wanna show the world, but no one
knows your name yet
Selama
satu bulan (mungkin kurang atau mungkin lebih), kawanku, keluargaku juga...suara itu jelas tak bisa menghubungiku,
begitupun aku yang tak bisa menghubungi mereka. Tapi setelah kehilangan itu,
aku menyempatkan waktuku untuk mencari pusat provider nomorku, memohon pada orang yang disebut operator untuk
membuatkanku nomor yang sama dengan nomorku yang hilang. Seandainya perasaanku
itu se-transparan jendela bis ini, mungkin orang-orang akan tahu usahaku itu
memiliki konspirasi sendiri, semacam niatan tersembunyi untuk memberikan jalan
agar suara itu kembali menghubungiku.
Tapi nihil, sepertinya rentan waktu satu bulan merupakan waktu yang cukup lama
bagi suara itu untuk mendefinisikan
bahwa aku benar-benar telah hilang dari permukaan hidupnya.
Aku
kembali membuka mataku dan menoleh ke arah jendela bis. Disana, aku mendapati
refleksi seorang gadis dengan ekspresi konyolnya setiap kali mendapati nomor
asing di handphone (baru) nya dan membalas pesan itu dengan pertanyaan yang
sama “ini siapa?” . Sedetik kemudian, ekspersi itu akan menjadi helaan nafas
pendek ketika nama yang muncul bukan nama yang di harapkan. Ah... Sial!
Memangnya apa yang harus diharapkan gadis itu? Kali ini refleksi gadis itu
hilang tertutup bayanganku sendiri yang terlihat dengan ekspresi yang lebih
konyol. Semacan ekspresi kerinduan.
“kehilangan
sesuatu?” seseorang di depan kursiku membuyarkan ceritaku.
Aku
tertawa garing menanggapinya “hilang apa?” berharap dia hanya bercanda dan
tidak tahu apa yang sedang aku pusingkan.
“ayo
cari haha” candanya di saat yang kurang tepat.
“entahlah,
aku tidak kehilangan apapun Liz,” aku mengangkat bahu dan berpura-pura
mengalihkan pandanganku.
“ayolah,
kau bahkan tidak mau mencarinya, kalau begitu bagaimana kau bisa menemukannya?”
kata-kata temanku yang satu itu mulai terdengar misterius dan agak meenyindir.
Kuharap dia tidak bisa membaca cerita pikiranku.
“kenapa
harus mencari? Aku bahkan tak tahu siapa
yang harus kucari..” jawabku spontan.
Sial, lidahku terpeleset!
Teman
ku itu melemparkan senyuman misterius kearahku, Lalu memberikan bross ungu
kepadaku (kurasa aku tak sadar sudah menjatuhkan bross itu) Sebelum dia
berbalik duduk manis di kursinya, dia mengulangi kata-kataku dengan intonasi
yang agak menyebalkan “tak tahu siapa
yang harus dicari ya? Hehe, ini kan benda, bukan orang”
Aku kembali ke jendela bis, menghela nafas,
dan menghapus uap – uap embun di kaca jendela agar relfeksi gadis itu tidak
datang-hilang-datang-hilang. Setidaknya, aku harus memutuskan bagaimana ending cerita ini. Aku kembali melihat
sosok seorang gadis di jendela bis itu, seperti sebuah putaran film pendek
diatas layar kaca.
Now you’re feeling more and more
frustated
Di
sebuah kamar, gadis itu terlihat frustasi, padahal yang dia lakukan hanyalah
memutuskan apa yang harus dia tulis di
kolom kosong google search
engineer lalu menekan tombol search. Dia menuliskan sebuah nama lalu
menghapusnya lagi karena merasa bodoh jika sampai harus mencari sumber suara itu . Semenit kemudian dia
menuliskannya dan menghapusnya lagi, menulis-menghapus lagi selama beberapa
menit. Tapi pada akhirnya dia menekan tombol close (x) di pojok kanan jendela
layar komputernya. Dia menutup akses untuk memenuhi rasa penasarannya tentang suara itu. Selanjutnya, gadis itu
mematikan Laptopnya dan membaringkan diri di tempat tidurnya, menggantung ending dari cerita ini.
And you’re getting all kind of
impatient, waitin’
Seandainya
kau masih ingat cerita jendela bis dan suara
dua tahun yang lalu, mungkin kau akan tahu betapa kalutnya aku, gadis itu, saat
ini. Seperti dipermainkan maya yang memperkenalkanku pada hal-hal absurd hanya
bisa ku rasakan. Sesuatu yang tak mungkin kucari, tak pasti untuk ditunggu, namun tak bisa
dipungkiri untuk diharapkan.
Dulu sewaktu aku SMP, dalam masa
labilku, aku sangat mudah untuk menghapus pertemanan dengan orang-orang yang
hanya ku kenal lewat dunia maya. Kenapa harus pusing? Toh aku belum bertemu
dengan mereka, bukan? Itu hanya sebuah keisengan anak ababil. Tapi sekarang dan untuk suaranya...kelihatannya
lebih rumit dari kata mudah.
We live and we learn to take one step at a time
There’s no need to rush
It’s like learning to fly, Or fallin’
in love
It’s gonna happen when it’s..
Supposed to happend when we find the
reason why
Melalui earphone, sayup-sayup aku
mendengar sebuah lagu yang kuterka-terka beberapa liriknya, lagu yang bahkan
aku tak tahu apa ‘maksud’nya, namun mengantarkanku pada ingatan yang menyenangkan
sekaligus menyebalkan. Bayanganku di jendela bis mulai kabur dan hilang
sepenuhnya. Dengan alunan lagu itu aku mulai tertidur menutup cerita ini tanpa
keputusan.
One step at Time.
*A/N
Viola! Akhirnya bisa buat cerita yang
ngegantung! Ngegantung bikinnya, ngengantung ceritanya dan bikin saya gantung
diri dengan hasilnya -_-
PS :
Itu potongan-potongan lagunya Jodin Spark, One step at Time.