Keping 69



//Bertemu Riska//

Siang itu, aku kembali bertandang kerumah Hasa. Ini sudah kesekian puluh kalinya aku mengunjungi rumah Hasa, dengan dalih “rindu” aku mulai terbiasa mengubur dalam-dalam rasa canggungku bertemu dengan Ibu dan kakak-kakaknya Hasa. Tentu saja, tanpa diayal, ini juga adalah strategi cerdas Hasa yang mendekatkanku dengan keluarganya.

Kepingan 70

//Senyawa Polar//
Seperti halnya pada senyawa polar, dua kutub berbeda pun bahkan dapat membentuk sebuah ikatan.

Saat ini, aku dan Hasa sedang menarik diri masing masing pada kutub yang berbeda. Hasa terdiam bangku paling pojok di sebelah selatan taman, sedangkan aku berdiri terdiam dan bersandar di sebuah lampu yang diposisikan di paling utara dari taman ini. Sudah hampir lima menit kami terdiam berjauhan dan saling memunggungi dan membuang tatapan. Hawa udara taman yang hangat dan cerah bagi pengunjung lainnya, justru terasa sedingin kutub utara bagi kami. Padahal beberapa puluh menit sebelumnya, kami sedang riang-riangnya menebar aroma dimabuk cinta.

Tulisan dan Pelarian

Delapan tahun lalu

“Tulisanmu bagus, kau cocok jadi penulis” kesekian puluh kalinya aku mendengar kalimat serupa. Tentu saja, lama-lama otakku tercuci juga. Aku tersenyum. Mungkin memang sebaiknya menjadi penulis saja.

Aku tidak berada di kesemuanya.

Pagiku tidak cerah, pun tidak semu. Sebagai selayaknya manusia yang tumbuh di zaman teknologi, pagi ini kumulai dengan membuka smartphone ku. Untuk apa? Entahlah aku hanya terbiasa.

Dysfunctional Brain

picture from : www.locustherapy.com
I have taken the devil's side
Living in the disgusting disguise
Put aside the mind for curious blast
Following the deadly sin of lust.
Now there's no way to turn back time
Regret has passed out to be crime
For no one could save; Not even myself

Dehuminizing

pict by By Anais Galvez
The little girl screamed a lot, she shouted even with her hoarse voice. For once again she tried to escape from that locked room.
“L..LET ME OUT!” her voice started trembling.
In the other side of the door, an older girl smirked. Her hand soaked in sweat.
“No.. not this time, please” she wishpered as her voice was trembling too.
“LET ME OUT! YOU KNOW YOU NEED ME!” the little girl started crying.
The words weakened the older girl. She stepped back and took something behind the desk.
“P..please..” the little girl sobbed.
“…” the door was opened for a span.
“Tha — ” the little girl stopped smiling as she saw the older herself was holding a knife.
“do you know that you have ruined many things? do you know that ‘they’ don’t like you? ‘they’don’t even expect you to exist” The older girl smirked wider. She held the knife even tighter.

They both frightened.


The older girl walked away and left the door locked. She couldn’t help hearing the little girl crying, so she entered another room with many people in it.
The people with flat face clapped for her. She put her artificial smile on her face and soon, the show was ended.
It’s a magic show of childlish adults.
*inspired by webtoon of Melvina’s therapy*