//Bertemu Riska//
Siang itu, aku
kembali bertandang kerumah Hasa. Ini sudah kesekian puluh kalinya aku
mengunjungi rumah Hasa, dengan dalih “rindu” aku mulai terbiasa mengubur
dalam-dalam rasa canggungku bertemu dengan Ibu dan kakak-kakaknya Hasa. Tentu
saja, tanpa diayal, ini juga adalah strategi cerdas Hasa yang mendekatkanku
dengan keluarganya.
Berbincang
dengan Ibu Hasa mengenai pengalaman hidupnya, selalu menjadi bagian favoriteku
setiap kali mengunjungi rumah Hasa. Baik Hasa maupun Ibunya adalah pencerita
yang sangat hebat. Aku tak terlalu peka untuk memahami situasi yang ku alami,
tapi melalui cerita-cerita mereka ada banyak hal baru yang kupahami soal
kehidupan ini. Kali ini Ibu Hasa menceritakan tentang perjalanan kisah cintanya
sekaligus menunjukanku bentuk ketulusan dan kesabaran yang kukuh dan solid. Aku
dan Hasa khidmat mendengarkan, sambil sesekali menanggapi. Well.. Hasa
sih, yang lebih banyak menanggapi dan bercanda.
Menuju anti
klimaks kisah Ibunya Hasa, lampu LED ponsel Hasa menyala, menandakan ada pesan
masuk, Hasa membacanya lalu tersenyum. Siapa?
“Sudah hamper
jam dua, mama sudah solat?” tanya Hasa mengiterupsi cerita.
“Oh iya.. astagfirullah,
mama solat dulu” masih menyisakan cerita yang menggantung, Ibunya Hasa langsung
beranjak dari tempat duduknya menuju kamar mandi yang hanya terjeda satu
dinding dan kursi dari ruangan ini. Tak berselang lama, kepala Ibunya Hasa
menyembul keluar dari dinding, berusaha melanjutkan cerita yang terpotong.
“Tapi…
bagaimanapun juga, itu orang yang jahat ada saja balasannya, jadi—“
“cepat solat mama” ujar Hasa kembali
mengingatkan.
“iya.. ini mau..” beliau masuk ke
kamar mandi,
“bentar lagi keluar lagi coba”
tebak Hasa membuatku tertawa, dan benar saja..tak berselang beberapa detik,
kepala beliau kembali menyembul keluar.
“jadi, akhirnya dia juga sadar
kalau—“
“segera bundaa”
“iya..iya”
Akhirnya beliau benar-benar masuk
ke kamar mandi. Aku dan Hasa tertawa tertahan.
“haha, kejam, padahal ceritanya
belum selesai.. aku juga masih ingin dengar lanjutannya..”
“hahaha.. kalau tak diingatkan,
justru aku yang nantinya dimarahi… ceritanya lanjut nanti malam saja”
“kok malam?”
“sore ini kita keluar ya, hehe”
Hasa menampilan cengiran khasnya
yang biasa sembari mengangkat ponselnya.
“kemana?”
“aku baru saja beli produk perawatan
untuk wajah. Jadi sore ini kita mengambilnya”
Jawab Hasa tanpa menjawab
pertanyaanku secara tepat.
“Beli online?”
“Aku titip dibelikan Riska, hehe.
Jadi hari ini kita ketemu Riska ya..sekalian kau kenalan secara langsung”
“………”
Secara naluriah
perempuan, tentu saja fakta pertama yang menjadi fokus utama pikiranku adalah :
Hasa masih berhubungan, dalam artian meminta bantuan Riska. Apa dia masih
bergantung padanya?
Baiklah,
pemikiran itu terlalu negatif dan emosional, jadi kupikir lebih baik diabaikan
saja.
“Riska sama
temannya kok, kita ketemu di cafĂ© coffee”
“Oke..”
Usai Ibu Hasa
menunaikan solat, Hasa dan aku meminta izin untuk keluar, tentu saja itu
berarti cerita Ibunya Hasa harus bersambung dalam waktu yang cukup lama. Bahkan
mungkin Ibu Hasa sendiri akan lupa hanca ceritanya dan memulai cerita
baru. Tapi tak apa, pada akhirnya semua cerita Ibunya Hasa dan Hasa itu
berkesinambungan seperti sequel movie.
Setelah pamit,
Hasa dan aku langsung melaju menuju lokasi janjian dengan Riska melalui jalanan
yang mulai macet. Sesampainya disana, aku menangkap dua sosok gadis yang sedang
terduduk didepan café. Aku mengira-ngira apa itu Riska dan temannya,
karena aku hanya tahu wajah Riska melalui foto-foto yang ditunjukkan Hasa lewat
instragram. Benar saja, Hasa menghampiri dua sosok gadis itu dan menyapa mereka
dengan ceria.
“Gapapa ya, dibawa
nih Aleya” sahut Hasa bercanda sembari menyenggol lenganku, aku tersenyum
canggung kearah mereka lalu mengulurkan tangan berbarengan dengan Riska dan temannya.
Kami pun bersalaman.
“Hai, Riska”
“Aleya”
Wajah Riska
terlihat lebih tegas dibandingka fotonya yang terlihat ramah. Sorot matanya pun
lebih tajam daripada yang kukira, hanya saja senyum manisnya ditambah gaya
berpakaiannya yang kasual dan modis membuat keramahannya terkesan lebih
fleksibel dan ekslusif, seolah dia hanya akan menjadi ramah bagi orang – orang tertentu
yang menurutnya pantas saja..
“Aku Indi”
“Aleya”
Senyuman Indi
lebih terlihat ceria, dia sepertinya suka bercanda layaknya Hasa.
Dunia masih
damai setelah kami bertatap muka. Tak ada perpecahan perang dunia seperti yang
digambarkan sinetron drama seperti biasanya. Sampai Hasa menggeser tempat
duduknya sedikit kearah Riska dan mengambil garpu yang terletak disamping
piring berisi soufflé pancake milik Riska dan mencomot dessert manis
itu seenak jidatnya. Dan lagi, karena Hasa kesulitan mencomot makanan penutup itu,
akhirnya Riska membantunya dengan pisau kecil yang dipegangnya. Aku dan Indi
saling bertatapan untuk seperempat ribu detik dalam hitungan kecepatan cahaya!
Tentu saja, harga diriku tergores melihat cara Hasa lebih memesrakan diri
dengan mantannya ketimbang denganku. Kedamaian pikiranku pun sedikit terusik
dan perpecahan yang terjadi adalah diantara batin dan pikiranku. Jangan
dibesar-besarkan Aleya… mereka memang sudah akrab dari sananya. Akhirnya
aku mengeluarkan ponselku sebagai jurus andalan pengalihan perhatianku.
Hasa, Riska dan
Indi kembali bernostalgia soal pertemanan mereka. Sesekali Riska berbaik hati
mengajakku bercanda.
“Aleya, kok mau
sih dengan Hasa? Haha”
Aku hanya
tertawa.
“Tapi Hasa
harusnya bersyukur, kurasa gak akan ada cewek yang mau lagi denganmu selain
Aleya, haha, sabar ya Aleya”
Aku kembali
hanya tertawa.
“Main hp aja, tertawa
aja, ngobrol kek haha!” canda Hasa
kembali menyenggol bahuku, membuatku mengubah mode tertawaku (yang masih
canggung) jadi hanya mode tersenyum.
Kupikir, kau
lebih suka padaku karena aku tak banyak bicara kan… Batinku sarkastik.
“kau nggak pesan
makanan Hasa? Jangan bilang kau diet hahaha” Indi menyambung kehangatan suasana
bercanda diantara mereka bertiga.
“Iya, pesan gih
Ley” Hasa memberikan dompetnya padaku.
“Mau pesan apa?”
“Apa aja,
terserah, jangan yang mahal mahal ya haha”
“Dasar pelit
haha” komentar Indi dan Riska hampir bersamaan.
Aku akhirnya berdiri dan melenggang
pergi menuju kasir, sementara ketiga sohib SMA itu kembali seru dengan
percakapan mereka.
“Mau pesan apa,
kak?” sahut kasir cafĂ© itu dengan
ramah setelah aku selesai membaca menunya. Sayang sekali tak ada preview
gambar dari setiap nama menu yang disediakan, jadi aku harus menggunakan
kemampuan bahasa inggris andalanku untuk menutupi wawasan kulinerku yang
terbatas. Dasar kaum mileneal, kenapa nama makanan pun harus dibuat
sedimikian ribet? Gerutu batinku sensitif.
“dua iced coffee
latte dan….”
“Ada lagi kak?” sahut
si pemuda kasir masih dengan keramahan mode marketingnya, walaupun begitu aku tetap
merasa sedikit berbangga karena dipanggil “kakak” olehnya.
“satu cheesy honey
toast”
Aku memilih menu
dessert yang kupahami sebagai roti panggang madu dengan keju. Karena
semua menu café ini adalah menu dessert, jadi kupikir Hasa tak
akan mau memakannya. Toh, dia tak suka yang manis manis.
“Baik kak, dua iced
coffe latte dan cheesy honey toast, di meja mana kak?”
“Itu, yang
diluar dekat jendela”
Aku menunjukan
meja tempat Hasa, Riska dan Indi terduduk dan masih bercanda. Sejenak terbesit
ingatan tadi ketika Hasa mencomot makanan Riska. Tunggu dulu… Hasa kan
memang tak suka yang manis-manis..tapi tadi…
“Ah, mas, cheesy
honey toast nya tambah satu lagi aja”
“Oke, baik kak”
Well, kalau
memang Hasa sedang ingin yang manis-manis…yah…kuberikan. Daripada menghabiskan
makanan Riska kan?
Seringai iblis
tersungging dibibirku.
“ini di bayar
langsung mas?” tanyaku menunggu bill yang tak kunjung diberikan.
“oh, tak apa,
nanti saja kak kalau selesai”
“Oke baiklah”
Aku kembali ke tengah-tengah
ketiga sekawan SMA itu tanpa menginterupsi pembicaraan mereka. Kali ini mereka
mulai berbicara soal pernikahan Riska.
“Wah serius
tahun ini Ris?” tanya Hasa intens.
“Iya dong, aku
gak mau keduluan kamu tuh hahaha”
“Aih dasar
pesaing! Nikah di gedung dong kamu?”
“Masih cari
gedungnya sih”
“Kalau Riska
sih, minimal gedung grande yang mewah itu laah” sindir Indi menggoda
Riska.
“haha iya bisa,
tapi ini Hasa gak usah diundang kali ya, bisa-bisa dia ngabisin perasmanannya,
hahaha”
“ya, emang gak
perlu diundang Ris, kan nanti aku nebeng di nikahan kamu, haha”
“Eh sialan, mana
mau lah aku!”
“hahahaha”
Mereka tertawa riang, dan aku latah ikut ikutan tertawa.
Ditengah gemuruh
tawa yang menyenangkan itu, seorang pelayan mengantarkan pesananku dan Hasa.
“ini cheesy
honey toast nya kak, dan dua iced coffee latte, satu lagi menyusul
ya”
“oke”
Aku menanggapi sang pelayan dan
mulai menata makanan dimeja sementara Hasa mulai asik membuat Indi sebagai
bahan bercandaannya.
“pesan apa, Ley?”
“Roti panggang”
“manis banget ya
kayanya” komentar Hasa padaku.
Aku mengangguk
menahan seringaiku. Nanti juga kau akan coba kok..Kalau kau mau bagianku
akan ku kasihkan juga…
“Coba ya?” sahut
Hasa meminta izin padaku. Dia bersikap formal padaku, padahal biasanya tidak
begitu, tapi malah bersikap akrab pada Riska. Dasar Hasa!
Aku menyodorkan
piringku padanya. Saat mencoba makanan itu, Hasa mulai mengernyit mengomentari.
“dih, manis
banget. Kenapa milih ini sih, enakan yang tadi Riska. Padahal samain pesannya
kaya Riska”
Seandaianya aku
ada dalam ilustrasi komik, ekspresiku saat ini adalah tersenyum dengan menahan
lambang kedut urat marah di keningku.
“Lah Aleya
maunya itu kali”
“Iya ih, dasar
maksa”
bela Indi yang
disambung oleh komentar Riska. Lalu, meja kami menjadi hening ketika pelayan yang
tadi kembali membawa menu yang sama yang baru saja di kritik Hasa.
“permisi, kak
ini satu lagi pesanannya”
“Loh, kamu pesan
dua?”
“Iya, hehe” Aku
tersenyum semanis-manisnya kearah Hasa. Semangat ya sayang!
“padahal pesan
satu aja!”
“ya.. kupikir
kau juga mau ngemil hehe”
Mau tak mau,
Hasa menyantap makanan itu meskipun sambil menggerutu soal makanannya yang
terlalu manis buatnya. Seandainya Hasa tak menghabiskan dessert itu,
mungkin aku akan merasa kecewa padanya. Tapi Hasa masih menghargai makanan itu,
terlebih lagi dia masih menghargaiku yang memesankan makanan untuknya.
“Sebagian lagi
kau yang habiskan ya, dikit lagi kok” Hasa menyodorkan piringnya padaku.
Aku merasa lucu
melihatnya yang terus mengkritik makanan yang dimakannya, tapi disisi lain, aku
sendiri merasa bersalah karena sudah memaksanya memakan makanan yang tidak dia
suka.
Sementara Hasa
sibuk memprotes habis habisan makanannya, Riska pun sedang memprotes pengantar
makanan online yang ia pesan bersamaan saat aku memesan makanan ini ke kasir.
“Duh ini makanan
kombinasinya gini amat sih, mana ada coba keju digabung dengan madu, ditambah
lagi ada susunya, terlalu manis! Kamu pesannya gimana sih Ley?”
“Duh, mas, saya
sudah nunggu lama nih, saya ngga mau tahu, saya gak akan cancel pesanannya…terserah
mas saja mau dibagaimanakan...kalau macet bisa cari jalan lain kan mas?”
Melihat mereka
berdua yang mudah menaikan nada suaranya di berbagai situasi… yah, mereka memang
selaras. Tapi tidak serasi. Aku jadi membayangkan bagaimana mereka bertengkar
saling membentak ketika pernah berhubungan dulu…pasti bising sekali.
Setelah urusan
protes memprotes mereka selesai, akhirnya kami memutuskan untuk bubar. Riska
dan Indy berpamitan untuk pindah tempat makan, sementara Hasa entah mau
membawaku kemana lagi.
“Aku ke kasir
dulu”
“Loh? Belum bayar?
Dih malu maluin…”
Baru saja aku
membuka mulut bermaksud menanggapinya, Riska sudah menjawabnya.
“Emang diakhir
bayarnya, Hasa”
“Oh? Haha,
kukira tadi”
Dasar Hasa. Sensitif
sekali sih kalau padaku.
“Kau mau
sekalian bayarin punya kita juga? hehe”
Riska tertawa
menggoda, tapi ternyata Hasa serius menanggapinya.
“Oke deh, sekali
kali traktir kalian”
“Wah, tumben
sekali kau baik Hasa haha, karena ada Aleya ya..”
“Haha, iya dong,
pencitraan”
“Hati-hati
Aleya, Hasa itu matre, haha”
Aku kembali dan
lagi-lagi hanya tertawa menanggapinya. Aku tahu Hasa memang cermat dalam
berhitung, tapi Hasa tak pernah perhitungan. Tak pernah aku temukan sisi ke-matre-an
nya terselip dalam kecermatannya berhitung soal banyak hal.
Setelah bubar, aku kembali duduk di belakang kuda besi yang
biasa dikendarai Hasa. Selama perjalanan, Hasa masih mengomentari soal
makanannya.
“Aduh, jadi harga
roti panggang tadi 20 ribu!?”
“Iya!”
“udah terlalu
manis, mahal pula! menyebalkan! Kenapa kamu pesan dua sih Lea!”
“hehe.. maaf..”
“hah? Apa?”
“ngga deh!”
“Bilang apa sih,
bicara yang jelas dong Lea!”
“Maaf…..! Kukira
kau mau juga”
Sebenarnya bukan
itu yang ingin kukatakan, tapi membicarakannya di motor tentu bukan hal yang
tepat. Selain itu, aku juga belum berani mengatakannya kalau aku sengaja
memesannya karena kesal terhadap hal akan dianggapnya sepele, bisa-bisa aku
diamuk Hasa!
“Maksudku buat
pesanan itu buat kamu aja! Aku gak terlalu suka yang manis..”
“Iya.. aku
tahu.. sih”
“apa? Ngga kedengaran..!”
“aku bilang ‘Iya’…!”
***
Malamnya, Hasa
dan Ibunya kembali berbincang soal kehidupannya. Akupun sudah siap menjadi
pendengar setia.
“Ma, tadi Aleya bertemu
dengan Riska” ujar Hasa malah berbangga pada Ibunya. Ibu Hasa menatapku sambil
tersenyum heran, pasalnya Ibu Hasa tahu kalau Riska adalah mantannya yang juga
pernah dikenalkan pada beliau, aku hanya mengangguk pada beliau untuk
mengonfirmasi bahwa kalimat yang diucapkan Hasa memang benar adanya.
“Oh… bagus dong,
Neng Riska yang itu..?”
“Iya ma, tapi
bagus, Aleya justru terkesan biasa saja, malah bisa mengobrol biasa dengan
Riska”
Biasa saja
ndasmu! Rutuk batinku pada Hasa.
“Ya, memangnya
harus bagaimana, kan berteman bisa dengan siapa saja ya..” sahut Ibu Hasa
berbicara dan tersenyum kearahku. Aku mengangguk lagi, tanda setuju.
“Berarti kalau
akur bisa ya ma?” goda Hasa mulai bercanda lagi.
“Bisa apa ah! Jangan
macam macam!” Kali ini senyum ibu Hasa berganti menjadi rona tegas. Hasa hanya
tertawa melihat kedua wanita di depannya merengut menunjukan ekspresi protes.
“Hahaha, becanda
kok, lagipula dia mau menikah ma”
“Ohh.. ya
syukurlah, semoga yang terbaik untuknya”
Kemudian…
ketimbang melanjutkan cerita Ibu Hasa yang masih menggantung siang tadi,
akhirnya pembicaraan Hasa dan Ibunya sedikit demi sedikit menceritakan soal
Riska dan keluarganya yang terkenal, keluarga pengusaha Raksa Perdana.
Hahaha
mungkin ini karma karena aku sudah membuat Hasa makan makanan yang tidak
disukainya.
Tapi, malam itu
aku diajari tentang kesederhanaan melalui cerita Riska. Kesederhanaan dalam
berfikir, kesederhanaan dalam merasa dan kesederhanaan dan bertindak bahwa
sederhana tidak selalu berarti sedikit. Kesederhanaan adalah adalah kecukupan
yang tak berlebihan. Pertanyaannya, apa tindakanku hari ini berlebihan…?
Sepertinya aku berhutang maaf pada Hasa.
0 komentar:
Posting Komentar