Jendela Bis dan Suara

Sebenarnya ini hanya sebuah catatan perjalanan di hari pertama. Perjalanan menuju tugas. Perjalanan menuju liburan. Perjalanan menuju kemewahan. Perjalanan menuju budaya. Perjalanan ke Bali. Aku benar-benar tak sabar dengan hari pertama di perjalanan itu, sejak dua minggu lalu otakku sudah memproyeksikan berbagai macam imajinasi dalam perjalananku, imajinasi yang menyenangkan tentunya. Sekalipun begitu,  pikiranku tetap ku fokuskan untuk tugas utama, Ujian Akhir Semester : Hunting Tourist! Sebenarnya itu hanya istilah singkat sebuah tugas dari beberapa mata kuliah khusus di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, dan sayangnya aku salah satu mahasiswi di jurusan ini.


Sementara matahari mulai bergerak ke ufuk barat, bis kami masih manteg di halaman kampusku karena sebuah kecelakaan. Aku mulai mendengus bosan di bangku bis, berungkali aku mengeluhkan kata ngaret! pada bis kami seharusnya sudah berangkat sejak sore. Tapi sejujurnya itu hanya pelarian saja, alasan keluhanku saat itu adalah karena mood ku saja yang sedang tidak bagus. Bisa dibilang penundaan keberangkatan study tour ini pelampiasan kekesalanku saja. Jauh dalam pikiranku yang masih sadar aku sangat memaklumi kecelakaan yang terjadi. Kenapa aku kesal dan mood ku jelek di hari yang kutunggu? Ah...mungkin nanti-nanti kau akan tahu.

Pukul enam maghrib akhirnya bis mulai jalan, aku masih sedikit kesal tapi cukup senang. Pembimbing bis ku mengatakan bahwa perjalanan ke bali akan mengambil waktu dua hari. Sepertinya akan melelahkan pikirku, dan kurasa temen-teman juga berpikir begitu, karena mereka menampakan ekspresi yang sama saat mendengar berita itu. Dalam beberapa menit pertama di dalam bis terasa sepi dan membosankan, hanya terdengar beberapa percakapan kecil di bangku belakang –bangku para mahasiswa– dan itu membuatku heran karena ternyata di bis ini kaum mahasiswa lah yang berinisiatif untuk bergosip, bukan mahasiswi. Aku cukup senang melihat pemandangan-pemandangan yang berjalan cepat lewat jendela bis (meskipun aku sadar sebenarnya akulah yang berjalan) tapi saat ini aku masih saja kesal sambil membolak balikkan handphone.

Bosan dengan keheningan yang ada, akhirnya pembimbing bis dan seorang dosen berinisiatif untuk memutar lagu : karokean. Menurutku, itu inisiatif yang cukup kreatif dan hebat sampai mengundang lagi semangat para penghuni bis, kecuali aku. Saat itu bis mulai ramai oleh nama-nama orang yang disebut (menurutku ditumbalkan) untuk menghibur di depan bis dengan bernyanyi.  Untuk kalangan mahasiswi, nama Aira dan Maggy yang tersebutkan. Mereka itu para artis musik di kelasku yang dianugrahi suara emas! Sedangkan untuk giliran mahasiswa yang disebutkan adalah nama Mustaqim dan Aldi, menurutku mereka itu lebih di anugerahi keberanian, daripada suara. Terutama Aldi! baik dari suara, notasi nada bahkan sampai improvisasi semuanya melenceng! Meskipun begitu aku lebih suka dia yang berada di depan bis untuk menghibur, lebih ricuh!

Sekalipun aku terus memandang keluar jendela bis, aku masih memperhatikan kondisi di dalam bis lewat bayangan di pantulan kaca jendelanya. Aku tahu siapa saja yang rela bernyanyi secara gratis untuk menghibur, aku juga masih tahu gerakan-gerakan tak jelas para mahasiswa lainnya yang sedang duduk di bis. Mungkin mereka terpacu untuk menari, itu pikirku. Dan aku pun masih sempat memperhatikan dan mengira-ngira suara teman-teman yang bernyanyi, misalnya suara meggy yang –menurutku– paling bagus, jelas, dan kuat! Namun masih memberikan karakter yang terlalu mendominasi, sedikit angkuh dan suara yang glamour. Atau mungkin suara Aira yang pelan, lembut, melengking tapi masih memperlikatkan karakter yang masih malu dan ragu. Atau juga suara Mustaqim yang ...em.. lumayan bagus untuk laki-laki meskipun sedikit memaksa, atau suara Aldi? Ah.. mungkin suara Aldi tak terdefinisikan olehku karena terlalu absurd. Itu hanya penilaianku selintas saja. Bukan bererti benar, karena toh aku bukan komentator musik. Lagipula hiburan-hiburan dari mereka lah yang bisa sedikit menggurangi kekesalanku. Aku seharusnya berterima kasih kepada mereka.

Setelah stok penyanyi di kalangan mahasiswa habis, maka dosenlah yang kini di tunjuk. Entah karena spontan atau rasa hormat yang tinggi, para mahasiswa langsung menyebutkan nama Ibu Insani. Ck! Salah sasaran! Beberapa mahasiswa lain meringis mendengar nama bu Insani di sebut –sebenarnya termasuk aku – dan mahasiswa yang menyebutkan nama beliau, terlihat seperti menyesal.  Bu Insani menerima tawaran menyanyi dari  para mahasiswa dengan senang hati, sangat senang hati malah!  Saat beliau mulai menyanyi semuanya hening, dan aku kembali memfokuskan aktivitasku untuk memandangi jalan melalui jendela bis. Beliau sebenarnya memiliki suara yang bagus saat menjadi qoriah, suaranya benar-benar memukau saat membaca al-quran. Tapi (maaf) sungguh ku katakan dengan jujur suara beliau memukau hanya saat membaca al-quran, tidak untuk bernyanyi.Saat itu  beliau memilih lagu lawas  untuk berkaroke! lagu-lagu tahun 80-an yang merupakan lagu-lagu pada zaman beliau masih muda dan sayangnya tidak pada zaman kami, para pemuda saat ini.

Kulihat beberapa mahasiswa menguap sambil merutuki diri. Aku hanya terkikik geli melihat mereka, lalu menengok ke arah jendela bis lagi. Kepalaku tidak pegal ketika menatap keluar lewat jendela bis, semuanya terasa telah terbayar oleh pemandangan-pemandangan jalan yang kulewati dengan setiap renungan yang telintas di otakku. Melalui jendela bis, aku merasa seperti berada di aquarium digital yang besar dengan cahaya lampu yang berseliweran dari arah mobil-mobil yang lewat dan lampu di gedung-genung. Seperti itulah kehidupan menurutku, diselubungi kaca pelindung yang tembus pandang dan memperlihatkan betapa cepatnya waktu berjalan dan melewati setiap tempat. Datang, lalu meninggalkan kenangan. Memperlihatkan tempat baru yang belum kulihat sebelumnya, inovasi hidup. Memperlihatkan orang-orang yang terlihat sulit mengejar kita, hanya bisa tersenyum saat bertemu pandang lewat jendela kaca.  Mungkin itu lebih tepat seperti hidupku. Terselubungi pembatas transparan.

Di tengah suara musik yang diiringi suara Ibu Insani, handphoneku berbunyi mendendangkan suara lain, aku buru-buru melihat layarnya yang menunjukan kontak dengan nama “?”  (aku sengaja tak menyimpan nama aslinya di kontak Handphoneku karena tadinya aku memang tak tahu siapa dia). Entah kenapa aku tersenyum kecil dan satu tali kekesalanku terlepas. Sebuah pesan singkat datang.

Dan ternyata pesan yang amat singkat!! pesan yang hanya berisi sebuah icon tersenyum.  Sebelumnya aku sudah mengiriminya pesan terlebih dahulu, tidak hanya kepadanya tapi juga kepada sahabat-sahabatku, dan ibuku. Dan hebatnya, tak ada satu pun yang membalas! Mengesalkan bukan? Padahal aku begitu merasa sepi di bis, aku sedang sakit dalam perjalanan ini dan aku berangkat tanpa diantar orang-orang terdekatku. Tak tahu mengapa aku ingin ibuku mungkin membalas pesanku dengan doa atau petuah-petuah beliau, mungkin sahabatku akan ribut dengan keberangkatanku, atau mungkin –yang entah kenapa, ini yang paling kuharapkan– dia memberikan suaranya.

Aku membatu melihat balasan yang kudapat begitu singkat, bahkan bukan sebuah kata! Aku harus membalas apa lagi? Aku menatap jendela bis dan samar terlihat bayanganku disana, ‘haha, rasakan!’ ejek batinku. Karena biasanya akulah yang selalu memberikan pesan yang sesingkat-singkatnya pada orang lain (terkecuali sahabatku) itu sebabnya banyak yang selalu memprotesku dan menyebutku jutek, dingin atau bahkan Mrs. simple! Dan saat itu aku tak peduli. Tapi sekarang justru aku yang merasa kesal karena mendapatkan pesan yang begitu singkat! 

Bayangkan saja, setelah kesal empat jam menunggu teman mengobrol lewat handphone aku hanya mendapatkan pesan singkat! sangat singkat malah!
Astagfirullah...... Aku menghela nafas sejenak, lewat jendela bis aku masih melihat bayanganku yang samar. Aku tak tahu sejak kapan aku menunutut pesanku selalu dibalas, padahal biasanya aku tak peduli. Aku tak tahu sejak kapan aku ingin di perhatikan saat sakit. Aku bahkan tak tahu sejak kapan, aku lebih senang mendengar suara dibandingkan membaca teks. Dan aku juga bahkan tak tahu sejak kapan aku jadi sering bergumam tak jelas, senang tak jelas bahkan kesal tak jelas karena hal kecil.

Aku menatap banyanganku lekat-lekat berharap mendapatkan kejelasan atas pikiranku yang sedang aneh. Aku memperhatikan keadaan bis sebentar, kulihat semua mahasiswa sudah memejamkan mata –sepertinya berpura-pura tidur–  karena lagu Ibu Insani, aku tersenyum geli sebentar. Lalu kembali ke melihat handphone, akhirnya aku membalas pesan singkat itu dengan pesan singkat lainnya : Icon bingung. Dan aku kembali menghela nafas panjang, lalu batinku bergerutu kenapa membalas pesan saja terlihat begitu berat? Aku cemberut bingung atas pertanyaan dari diriku sendiri itu. Bayangan wajahku terlihat berharap di jendela bis.

Bis ku berhenti, di sebuah persimpangan lampu merah. Saat itu aku begitu terkagum melihat cahaya lampu-lampu mobil yang sedang macet, cahaya lampu-lampu mobil itu masuk melalui jendela bis dan memantul lewat sisi jendela bis yang lain, memantul secara vertikal dan diagonal  di dalam bis. Aku berjingkrak senang karena merasa berada di antara refleksi bintang-bintang canggih! Aku di kelilingi cahaya indah yang rumit karena memantul kesana kemari,  saat itu Bis dikepung oleh ribuan titik cahaya yang membuatku merasa seolah berada di kaleidoskop.  Tapi, fenomena indah itu hanya beberapa menit terjadi. Agak menyedihkan memang, tapi bintang-bintang itu mengingatkanku kembali untuk menyusun ulang perasaanku tentang Suara.

Beberapa minggu lalu, aku sempat pulang ke rumah untuk masa tenang dan persiapan ke bali. Saat itu  para penghuni rumah begitu sibuk, meninggalkan aku dalam kebosanan sendiri. Tak lama, kebosananku hilang karena mendengar Suara lewat handphoneku.  Tadinya aku mersa risih dengan Suara itu, tapi karena pembawaannya menyenangkan aku mulai terbisa. Dan kurasa terlalu terbiasa. Waktu itu, daya pikir logika di otakku masih bisa di kompromi untuk mempertahankan harga diriku.... atau mungkin gengsiku?

 Sebenarnya aku tak terbiasa berbicara banyak lewat komunikasi handphone apalagi dengan orang yang kasat mata, dalam artian tak pernah kulihat sebelumnya :orang yang asing bagiku. Tapi suara itu dengan cerdasnya justru bisa akrab dengan denganku, memaksaku untuk banyak bercerita, berceloteh, bahkan bernyanyi! Padahal sejak dulu aku tak begitu ahli dalam bersuara, baik hanya untuk mengobrol atau  bahkan bercerita. Ku pikir hanya guru TK ku saja yang bisa membuatku banyak berbicara. Tenyata tidak. Suara itu pun ahli dalam memaksaku untuk berani berbicara, dan tidak lagi bersembunyi dalam gumaman tak jelas atau kata-kata dengan konotasi membingungkan. Dan Itu membuatku nyaman.

Pernah sekali waktu suara itu membuatku lega karena mebuatku bercerita tentang masalahku sewaktu SMA, masalah yang rumit tentang perasaan juga tentang hati dan fakta. Sejak tahun lalu aku selalu menyimpan masalah itu. Hanya aku, sahabat-sahabatku dan Allah saja yang tahu. Tapi kali ini suara itu juga tahu. Ya Allah, kenapa aku bisa menceritakannya? Keluhku di bis saat mengingatnya. Tapi perasaanmu lebih lega kan?  kata batinku yang lain saat aku melihat bayanganku di jendela bis.

Tak lama, aku mendengar handphone ku berbunyi lagi dengan nada yang lebih panjang. Ada telpon! Aku langsung duduk tegap melihat yang menelpon ternyata “?”, tapi aku tak langsung mengangkatnya aku malah berpikir ulang. Haruskan diangkat? kataku seolah berbicara dengan bayanganku di jendela. Aku malah bingung dengan berbagai perasaan aneh yang datang. Ck! sudahlah angkat saja! sejak kapan aku harus berpikir ulang hanya untuk menerima sebuah pangggilan? protes batinku dengan harga dirinya.

Hari ini aku mendengar suara itu, dan aku merasa bibirku tersenyum kecil sebelum tiba-tiba sambungan telepon terputus tanpa aba-aba. Semuanya kembali menjadi hening.  Aku kembali bercengkrama dengan suguhan pemandangan di luar jendela bis.  Sepertinya Bu Insani sudah selesai bernyanyi karena merasa semua penghuni bis sudah tidur. Kulihat jam menunjukan pukul sebelas malam. Aku men-silent-kan handphoneku. Saat ku lihat lagi handphoneku, ternyata ada sebuah pesan dari “?” : maaf pulsanya habis, bisa telpon balik?

 Aku terdiam agak lama melihat membaca pesan itu, aku berpikir lagi. Telepon saja, bukannya kau sudah menunggunya dari tadi?- Kenapa harus di telpon? apa ada keperluan penting?-Bukannya tadi kau kesal karena tak mendapat kabar darinya?- Tidak! aku kesal karena bosan kok.. dan.. ng.. karena bis! ya! bisnya ngaret dan kurang seru!- Jangan bohong- Kenapa harus berbohong? kenapa harus menunggu suaranya? kan aku tak pernah bertemu dengannya?- Hmm....entahlah mungkin karena dia bisa menjadi temanmu? atau tempatmu bercerita?- Tidak! Aku tak bisa percaya begitu saja

Aku seakan berdebat tanpa suara dengan bayanganku sendiri di jendela bis, semuanya 
kembali menjadi tidak jelas lagi Aku tak boleh lemah! perasaannku tak boleh melemah! atau kejadian saat SMA akan terjadi lagi! Ya Allah Kuatkan aku! aku menggumamkan itu di pikiranku  

Aku terus mencerna ulang perasaanku, lalu menganalisisnya. Akhirnya aku mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa saat ini batinku aku sedang berperang! Antara perasaan yang aneh dan harga diriku.  Sepertinya aku memang kesal saat berfikir suara itu tak datang hari ini. Rasanya ada ulat-ulat yang menggeliat dan melilit di lambungku, lalu mereka menjalar ke dadaku dan merebut pasokan oksigenku. Kesal dan Sesak.
Tapi disisi lain aku merasa marah dan tak peduli, seolah keadaanku saat ini sama sekali tak ada hubungannya dengan suaranya. Ayolah! jangan berlebihan! kau hanya sedang sakit flu, jika hari ini tak mendengar suaranya pun tak apa...

Tapi tak ada salahnya kan hanya mengobrol? Kau harus ingat! hari ini kau belum mengeluarkan suaramu barang satu katu pun sebelum dia menelpon. Niatkan untuk hal baik, karena Allah.

Kalimat bayanganku yang terakhir pun membuat harga diriku kalah. Aku mulai menelponnya, mendengar suaranya. Dan ulat-ulat di perutku bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang berterbangan di rungga tubuhku.
 Subhanallah! satu lagi yang telah Engkau ajarkan padaku.