Bisu


          Tik-tok-tik-tok-tik-tok, maka asal kau tahu saja bahwa suara jam itu adalah saksi perputaran kehidupan. Bunyinya memang mengganggu, tapi itulah bunyi-bunyi yang –sebenarnya– jelas tapi jarang didengar. Sama, seperti bunyi hati para manusia..who knows? Cuma Tuhan yang tahu tentang suara hati yang sedang miris meringkik, terkikik geli, atau bahkan berbicara banyak lalu berteriak.
          Seorang temanku yang suara hatinya paling bising adalah dia. Seorang gadis yang sedang terpojok disana, diantara kumpulan tiga orang yang sedang duduk melingkar menghadap ke arahnya. Mereka semua diam, hanya diam saja. Tapi aku bisa menduga, hati mereka masing-masing sudah saling sahut menyahut. Diantara mereka, gadis itulah yang paling bisu.  Dia hanya bisa tetunduk sesal setelah melirik jam digital dengan angka 16:14 di handphonenya tanpa memberanikan diri menatap mata ke tiga lawan bicaranya. Dan jika di perhatikan detail, aku bisa melihat ujung matanya mulai berkaca-kaca, hanya saja dia tetap menahan air matanya agar tidak lolos kendali.
          Kondisi setegang ini memang ulahnya sendiri. Sebuah kelalaian fatal, atau mungkin lebih karena bahasa diamnya yang tak banyak dimengerti, hanya aku satu-satunya teman bicaranya yang tahu banyak.
          “Nyaris saja gagal” ucap gadis lain yang lebih tua dari gadis terpojok itu. Mungkin dia orang paling diam kedua setelah gadis itu, tapi siapa sangka? Dialah yang pertama memulai percakapan ini sekaligus ketegangan yang lebih panas.
          “.....” gadis itu masih diam —tersenyum miris.
          “aku tahu. Dan apa ini persidangan untuk menyalahkanku?” gadis itu memang diam, tapi dengar! Suaranya menahan banyak kalimat di hatinya!
          “well, kita tidak ingin menyalakanmu  Muthia, tapi paling tidak kau harus lebih teliti lagi, acara ini acara besar! Dan kau berada di posisi penting. Seharusnya kau lebih profesional,” seorang pemuda yang ikut duduk melingkar mencoba  lebih bijaksana.
          “.....” dia masih diam.
          “kalian memang tidak menyalahkanku, tapi menyudutkanku.” Tapi hatinya tidak sediam yang kau kira jika kau mau tahu.
          “kenapa kau tak hadir di acara penting ini!?” seorang gadis lain yang bermata coklat  menatapnya tajam
          “orang tuaku sakit.” Kalimat pertama dan mungkin satu-satunya kalimat yang lolos dari mulut sang gadis terpojok itu.
          “dan kau tidak menyampaikan pesan pada siapapun!? Minimal kau izin pada kita atau teman-temanmu!”
          “....” mulutnya kembali hening.
          “Itu situasi darurat! Dan kalian sibuk sendiri, tak ada yang mau menyahutku! Dan  ya! Aku izin menyampaikan pesan pada temanku! Tapi apa dia menyampaikannya? Apa kau tahu aku mengirim pesan izin padanya? Tidak kan? Bahkan yang ku kirimi pesan, dia tak datang ke acara ini, dan disini hanya aku yang dipertanyakan ketidakhadirannya? Kenapa? Karena posisiku?” dengar! Suara hatinya malah membentak!
          “dan kau tahu? Tadi ada masalah lagi, seorang siswi bersikeras ingin masuk kepanitiaan acara kita, kau tahu kan? Kepanitiaan ini dipilih oleh kami langsung dan secara implisit, tidak bisa sembarangan orang ikut. Kenapa kau mengajaknya?”
          “......” mulutnya lagi-lagi diam.
          “dia tahu, bukan berarti aku yang memberi tahu. Dia datang bukan berarti aku yang mengajak. Hanya karena aku satu kelas dengannya, dan itu salahku? Aku hanya menjelaskan seperlunya. Tapi aku juga harus menjaga perasaannya agar tidak tersinggung, kau tahu? Itu bukan hal yang mudah.” Dan hatinya lagi-lagi membantah.
          Ketiga orang itu berkali-kali bertanya padanya tentang ini dan itu, sementara mulutnya tetap menjawabnya dalam diam padahal hatinya menjawab lebih dari berkali-kali pertanyaan yang ia dapatkan.
          “sudahlah.... lagi pula kau tak bisa menjelaskan banyak hal, aku hanya kecewa, kenapa kau lalai pada tugasmu?” sang gadis pendiam kedua mulai mereda emosinya, atau mungkin sudah jengah dengan diamnya si gadis terpojok.
          “akupun kecewa pada kalian, kenapa kalian sudah menjudgeku lalai? Oke, aku tak peduli, mungkin emang aku lalai, tapi seandainya aku punya keberanian berbicara, mungkin aku sudah mengatakan semua hal yang ingin aku muntahkan! SEMUA HAL. Dan kalian tak tahu apa itu. Bahkan kalian tak tahu, seberapa penting acara ini untukku dan seberapa sulit (setidaknya menurutku) aku mempertaruhkannya.Tapi acara ini berhasil kan? Lalu apa maksudnya ini? Apa ini semacam evaluasi pribadi??” 
          Masih, menahan air matanya, gadis terpojok itu menoleh ke arahku, dan hatinya berkata
kenapa aku tak bisa mengatakan apapun? Kenapa mulutku selalu diam? Kenapa aku tercipta untuk diam?”
Dari atas meja aku menatapnya nanar,  gadis itu akhirnya berdiri dan membungkuk—hormat— kepada tiga kakak seniornya itu. Dia beranjak mengambil tasnya dan membawaku keluar tempat “bersuhu tinggi” ini. Di ujung pintu, gadis itu kembali berbalik ke arah ketiga orang tadi dan tersenyum manis.
“maaf sudah mengecewakan” ah! Ternyata kalimat tadi bukan satu-satunya kalimat yang keluar dari mulutnya. Pada akhirnya lidahnya tidak pernah kelu mengatakan kata yang paling sulit dikatakan —maaf— meskipun bagiku itu terdengar awkward. Kenapa dia malah mengatakan maaf? Padahal hatinya penuh alasan yang bisa mengangkis kesalahannya.
***
Di taman yang sepi, dia mulai menggenggamku erat dan memeluk lututnya. Sambil mendengaran suara aliran sungai, dia mulai mengizinkan air matanya berhamburan keluar. Dia kembali menatapku dan hatinya mengajukan pertanyaan yang sama.
kenapa aku tak bisa mengatakan apapun? Kenapa mulutku selalu diam? Kenapa aku tercipta untuk diam?”
kau tidak tercipta untuk diam, kau hanya sedikit bicara. Dan kau tahu kenapa? Terkadang ada hal yang jika kau katakan maka akan memperburuk keadaan. Ada hal yang harus dibiarkan tanpa perlu dikatakan. Haha kau lebih beruntung daripada aku. Aku hanya bisa melihat tanpa berkata, tapi aku lebih senang diam. Kau tahu kenapa? Karena Jika aku di beri kesempata bicara maka bisa jadi aku akan mengatakan semua hal yang pernah kulihat. Termasuk rahasia-rahasia kecilmu. Bukankah ada rahasia yang (harus) tetap menjadi rahasia?”
Hanya lewat tatapan nanarku, aku bisa menjelaskan banyak hal pada gadis itu. Tapi itu bukan hal yang sulit. Pada akhirnya gadis itu selalu memahami apa yang tersimpan dalam bahasa diam. Termasuk diamnya boneka kelinci lucu sepertiku.