Aku mendecih melihat sepasang merpati kaku di
mejaku. Mereka menggagu konsentrasiku saja! Aku mulai menyerah, Ku biarkan
sketsa-sketsa lukisanku tercecer di meja belajarku, lalu menatap kedua merpati sombong itu. Apa mau
kalian!?
Lihat! kedua merpati itu begitu sombong
dengan kemesraan mereka, saling menatap satu sama lain diatas batang putih
berbunga. Sang jantan, dengan pose gagahnya setengah mengepakkan sayap, seolah
ingin terbang untuk menarik perhatian si betina. Sedangkan si betina? dia hanya
diam menatap manja padanya. Paruh kedua merpati itu bersimpul senyum. Dan
bagiku itu senyum penghinaan. Memang gila, tapi sesekali aku mendengar mereka
ber-kkrrr ria mengejekku, seolah berkata
“kami saja bisa berpasangan, dan kau?? Berapa usiamu??” suaranya merendahkanku.
Sungguh! Setiap malam dan setiap mereka
‘terlihat’ pamer deanga romantisme menggelikan, setiap itu juga otakku
berfantasi liar mencari cara menghancurkan pajangan itu, aku ingin sekali
melemparnya, melindasnya atau bahkan menubuknya menjadi bubuk-bubuk keramik! Sayangnya,
jika aku melakukan itu dengan sengaja, justru aku yang nantinya akan jadi
danging cincang. Ah! Kalau saja mereka bukan hadiah ulang tahun dari sahabatku,
bisa jadi mereka sudah berakhir mengenaskan di tanganku.
“arrrgggh!” aku mengeram kecil sambil
melempar kepalan kertas-kertas kecil ke arah sepasang merpati putih itu, berharap mereka bisa jatuh dari
ketinggian meja secara ‘tidak sengaja’.
“tiga tahun lagi ...?hhh...” keluhku menatap
merpati itu, akhirnya aku melemparkan diriku diatas ranjang empuk.
“Kak Liily! Buka pintunya!” terdengar suara
adikku di seberang pintu. Aku malas beranjak, lagi pula aku masih punya
perdebatan panjang dengan sepasang merpati itu.
“KAK! LILLYY!!!” kali ini suara adikku
diiringi suara gedoran pintu yang
anarkis.
“MAU
APA?” teriakku sebal.
“BUKA dulu pintunya!”
Aku memutar bola mataku kesal, berjalan malas
sambil menyeret sebuah bantal dan membuka pintu kamarku.
“APA?” sewotku masih sebal.
“idih, galak amat! Jangan bilang kau masih
marah padaku hanya karna aku sudah punya pacar..” goda adikku, dan itu sukses
membuat bantal yang kubawa mendarat mulus dijidatnya.
“berisik! Ada apa?”
“hhaa, itu ada tamu buatmu, laki-laki lho..
tumben!” sekali lagi bantal itu mendarat dikepalanya.
“siapa?” tanyaku malas.
“mana kutahu,
mungkin saja laki-laki yang ayah dan ibu bicarakan untuk dijodohkan
denganmu” katanya sambil angkat bahu. Dan lagi-lagi, bantal yang ku pegang
mendarat ke arahnya lebih brutal. Aku memasukan adikku ke kamarku dan mengunci
pintu kamarku dari luar.
Aku turun dari tangga dan menghampiri ‘tamu’
yang di katakan adikku di luar rumah. Laki-laki? Siapa? Aku tak ingin berfikir
bahwa kalimat terakhir adikku benar! Yang benar saja, aku tak mau dijodohkan!
Aku bukan pengikut cerita Siti Nurbaya!
Aku membuka pintu dan..
“maaf mba, ini ada surat dan paket pos dari Belanda,
tolong di tanda tangan..”
Sial! tukang pos! Adikku mengerjaiku.
Aku mengambil paket pos itu dan membuka
suratnya, pasti Tina. Aku heran dengan sahabatku yang satu itu, apa dia tidak
sadar hidup di zaman teknologi?? Sampai saat ini Tina masih sering mengabariku
lewat surat pos sambil mengirimkan sebuah paket: album foto-foto kehidupannya
di Belanda. Apa dia tidak pernah berkenalan dengan facebook? Twitter? Haah..
sudahlah!
Aku membuka suratnya, tulisan tangan Tina
masih seperti tulisannya waktu SMA, ramping dan tinggi.
Hai Lilyana..! Apa kabar? Bulan ini sudah memasuki liburan.. apa kau sudah
libur?
Kau tahu? Aku bertemu dengan Zia, teman kita waktu SMA, kemarin. Dia bilang,
dia baru saja menikah dua minggu yang lalu dan sedang honeymoon disini. Haha
dengan begini tinggal kau yang masih sendiri, kau masih mau bertahan?? Hahaha
Aku cuma mau mengingatkan umurmu nak! :P
sebentar lagi kau berusia 27 tahun, bukan lagi waktunya bertingkah macam
seorang teenager yang asik sendiri!
Pembicaraan macam apa ini? Dengusku kesal.
Oke-oke, aku tahu kau benci pembicaraan tentang itu. Kita skip saja dulu.
Well... Bagaimana keadaanmu? Bagaimana dengan pekerjaanmu?Kau masih sering
travellingkan? Jika kau sedang bebas pekerjaan, bagaimana kalau kau jalan-jalan
ke belanda? Aku mengundangmu ke sini, kau tahu kan tanggal 3 juli nanti Dian
berulang tahun yang ke 3. Dia ingin
sekali bertemu denganmu! Makanya aku dan Ryan langsung menyiapkan
keberangkatanmu kesini, tiketnya sudah kuselipkan di album, kau harus datang!
Berliburlah disini... Kami menunggumu.
PS : mungkin aku bisa mengenalkanmu dengan teman-teman ryan :P
Aku bermaksud membuka paket kiriman Tina, dan
kudengar suara ribut di kamarku
“Bukaaaa!!”
“ah! Aku lupa! Adikku masih kukunci di
kamarku!”
***
Mendapatkan tiket gratis untuk liburan di Belanda,
jelas aku tidak keberatan. Aku langsung berkemas dari sekarang dan siap untuk
berangkat tiga hari lagi. Aku sudah memikirkan berbagai hadiah untuk ulang
tahun Dian, putri sulungnya Tina dan Ryan. Mereka berdua sebenarnya sama-sama
teman SMA ku dulu dan tidak disangka mereka berdua menikah tiga tahun yang
lalu. Padahal kupikir Ryan tak akan berani melamar Tina.
“tidak izin pada ayah dan ibu??” tiba-tiba adikku muncul
di depan pintu kamar
“sudah”
“di izinkan?”
“tentu saja, kenapa? Iri ya? Sayangnya aku cuma dapat
satu tiket tuh..”goda ku puas.
“yey! Siapa juga yang iri, toh aku punya rencana liburan
dengan pacarku” balasnya menyebalkan.
“eh? Ka, kamu tak pernah membersihkan pajangan merpati
ini ya?” lanjut adikku sambil menyentuh sang sepasang merpati.
Dia tak tahu aku sebal kronis dengan kesombongan pasangan
merpati beku itu. Dalam hati (lagi-lagi) aku berharap adikku memainkan pajangan
itu hingga jatuh dan pecah ‘tak sengaja’.
“lho? Bahasa apa ini ka?” tanya adikku lagi
“kau ini benar-benar cerewet ya?” aku masih sibuk packing.
“lihat ini! Apa artinya?”
adikku menyodorkan pajangan itu ke wajahku.
Di bawah pajangan sepasang merpati itu aku mendapati
tulisan asing yang tak dikenal. Aku bahkan baru tahu ada tulisan semacam itu
yang tersembunyi dibawah. Licik sekali merpati-merpati pecinta drama romantisme
itu, menyembunyikan sesuatu dariku.
“apa artinya?” tanya adikku lagi
“mana kutahu, aku saja baru sadar ada tulisan dibawah
sini”
“heh? Sudah sepuluh tahun kau punya pajangan ini dan kau
tidak sadar?”
Aku hanya mendelik ke arah adikku, menyuruhnya diam dan
pergi.
***
Merpati-merpati itu ternyata sangat berdebu
tebal dan aku baru membersihkannya lagi. Jangan salah sangka, aku
membersihkannya karena penasaran dengan tulisan yang mereka sembunyikan! Aku
bermaksud mengajak merpati-merpati itu ke Belanda untuk menanyakan maksud
tulisan itu secara langsung pada Tina.
Saat
membersihkan setiap lekukan merpati itu, aku sedikit terpesona melihat
keindahan kedua merpati itu, aku merasa kedua merpati itu terkesan lebih lembut
dari sebelumnya, kesombongan-kesombongan mereka seperti luntur bersama
debu-debu yang tersapu. Simpul senyumku sedikit terangkat menatap tingkah
mereka. Eh? Hei... kenapa aku jadi terhipnotis begini? Sudahlah!
Pasangan
merpati itu aku simpan lagi di atas meja. Aku kembali mengingat-ingat sejak
kapan aku sebal dengan pasangan merpati itu, Ah...rasanya sudah lama aku
menabuh genderang perang untuk mereka. Kenapa
ya? Well, mungkin karena
mereka sombong dan selalu sok romantis dihadapanku, mereka juga sama cerewetnya
dengan kedua orang tuaku yang selalu mempermasalahkan pasangan untukku dan
usia. Ya! Usiaku! Hhhh...
Ck!
Terus terang saja, aku sadar ‘kesalahanku’ itu.
Gadis dua puluh tujuh tahun yang tidak berpasangan memang tak lazim di
negaraku. Lebih parahnya lagi jika sudah
mencapai usia tiga puluh, Gadis itu akan punya gelar sendiri, Per... —err aku
tak sanggup menyebutnya. Aku sering menyebut asumsi itu budaya kuno. Lihat
orang-orang di luar negeri, mereka bebas menikah umur berapa pun juga kan?
Mungkin ini sebenarnya hanya masalah moral atau...bisa jadi memang masalahnya
ada padaku.
Aku
mendengar merpati-merpati itu ber-krrrkk
lagi, sang betina bertanya
“kenapa?” padaku (mungkin maksudnya
kenapa aku tak berpasangan seperti dia) dan aku cemberut “aku jelas gadis
normal!” kataku tegas pada mereka, tapi sekali
lagi sekarang si jantan yang giliran mennyakan hal yang sama, aku geram dan
sedikit membentak mereka “aku hanya belum pernah jatuh cinta! Itu saja!”
“hah?
Belum? Kau yakin?” adikku selalu saja muncul tiba-tiba! Dia benar-benar seperti
hantu!
“kau
gila? Sedang bicara dengan siapa?” tanyanya lagi. Aku hanya menutup muka berharap
dia memang benar-benar hantu yang sok ingin tau.
“hei,
kak Lily...kau mungkin terlalu jarang menggunakan perasaanmu, jadi tak tahu
rasanya jatuh cinta.. haha benar-benar putri es! Brrr...Hatinya beku! Habisnya
Kau sering keasyikan sendiri sih!” Sahut adikku sambil mengambil pajangan
merpati di mejaku lalu merebahkan diri
di tempat tidurku.
“ce-re-wet!”
“eh?
Atau mungkin jangan-jangan kau dikutuk?? Lihat! mungkin tulisan di bawah
pajangan ini semacam mantra untuk mengutukmu supaya tak punya pasangan seumur
hidup...!! Hm... sepertinya kau pernah melukai perasaan orang, jadi dia
mengutukmu..haha” candaannya.
“gak
lucu” sahutku mengambil kembali pajangan itu.
“tulisan
ini Bahasa Latin, bukan mantra! Lagi pula ini hadiah dari Tina, mana mungkin dia
mengutukku! Bodoh!”
“hahaha,
tapi kan bisa saja memang kutukan”
“eh kak Lily,
ngomong-ngomong, kak Tina perlu pengasuh tambahan gak untuk teman main Dian?
Hehe”
Aku
menyeret adikku keluar kamar.
“bilang
saja mau ikut! Dasar! Dan berhenti masuk kamarku dengan tiba-tiba!”
***
Akhirnya, aku kembali menikmati suasana asing
yang familiar. Di gerbang bandara, aku
menemukan sahabatku sudah berdiri melambaikan
tangan. Rambutnya legamnya kini lebih pendek, dia masih terlihat imut dengan
mini dress coklat dengan bolero cream. Style nya masih sama seperti dulu, hanya
saja di wajahnya kini tergurat ekspresi seorang ibu yang lembut. Aku
menghampirinya.
“
sepertinya kau tidak bertambah tinggi seinci pun ya? Haha” candaku padanya.
“huh!
Kau nya saja yang meninggi setiap harinya!”
Usai
berbasa-basi di bandara, Tina membawaku menuju rumahnya, tepatnya di sebuah
kota kecil berama Ameland di provinsi Friesland. Selama diperjalanan, aku
begitu menikmati perbedaan ‘kehidupan’ di negara ini. Lihat saja! Yang
kupandang hanyalah beberapa bangunan khas dengan peternakan sapi dan kuda-kuda
hitam, beberapa kincir angin dan kedai-kedai kopi khas Belanda.
Percakapan-percakpan asing dengan bahasa Frisia begitu terdengar kental dan
kelu dilidahku. Benar-benar suasana yang menyenangkan setiap aku berada di
tempat yang berbeda-beda dengan khas yang berbeda-beda.
Aku dan Tina bernostlagia membicarakan banyak
hal sambil menikmati sapaan-sapaan asing ala Netherlands yang tidak begitu ku mengerti. Tina banyak
bercerita tentang kehidupannya disini, tentang putrinya yang manis dan cerdas,
tentang Ryan yang benar-benar menjadi seorang ayah yang penyayang (soal ini
sebenarnya aku agak tak percaya, karena Ryan yang kutahu saat SMA benar-benar
anak yang bertingkah semaunya), juga tentang para tetangganya yang ramah. Dan
Aku? Apalagi yang bisa kuceritakan selain perjalanan-perjalanannku,
pekerjaanku, atau adikku. Soal ributnya orang tuaku untuk menjodohkanku, aku
tak akan cerita pada Tina karena besar kemungkinan dia akan ikut kubu orang
tuaku.
“hei,
ada yang ingin kutanyakan padamu” kataku serius di sela-sela pembicaraan.
“ apa?”
“ng....”
“apa? katakan saja” Tina mulai terlihat ikut
serius.
“apa kau
tak punya akun facebook , twiter atau apalah yang bisa membuatmu tidak perlu
repot-repot mengirimiku surat??” candaku, dan dia hanya cemberut menatapku.
“Kau ini
tidak bisa merasakan sense keunikan
ya! Lagi pula itu sama sekali tidak merepotkan kok, malah menyenangkan!”
“itu
bukan unik tau, itu primitif” candaku dan kami tertawa bersama.
Soal tulisan asing di bawah pajangan itu, biar nanti saja
ku tanyakannya. Lagi pula kenapa pula aku harus tiba-tiba sangat penasaran
dengan tulisan itu?
“Tante
Liiilllyyyy!!!” Seru Dian ketika menemukanku di depan halaman rumahnya.
“Hush!
Panggil aku kakak!” tegasku sebelum gadis mungil itu menghambur ke pelukankku.
Tina dan Ryan hanya tertawa masam mendengar penegasanku.
“Happy
birthday Dian...! kau bisa cari hadiah mu disini” sahutku memperlihatkan tas
kecilku yang juga berisi segala macam keperluanku dan...merpati itu.
Gadis
kecil itu dengan gesit menarik tasku, membawanya masuk kerumah dan dengan
segera memuntahkan isi tasku.Aku, Tina dan Ryan masih berbincang-bincang soal
“masa muda” Huh.. benar-benar menyebalkan sekali jika harus menyadari kalau
usia itu berjalan dinamis!
Di tengah pembicaraan, tiba-tiba terdegar
suara gaduh dari arah Dian, itu...
seperti suara barang yang jatuh pecah. Kami
bertiga menoleh ke arah Dian dan mendapati ia tengah menangis memunguti
pecahan-pecahan keramik di lantai. Pada akhirnya riwayat sepasang merpati itu
tamat.
“huhuuu... Vergeven..aku...tak sengaja....
Vergeven...huhu vergeven..” ucap Dian berulang kali dalam bahasa Frisianya.
“tak apa-apa Dian.. tak apa-apa.. sudah
jangan nangis..” kataku tersenyum santai sambil membereskan kepingan itu.
“ wah.. aku benar-benar minta maaf Lily” kata
Tina membantuku. Sedangkan Dian langsung dibawa Ryan ke halaman belakang agar
terhibur lagi.
“heh? Seharusnya aku yang minta maaf, hadiah
mu tidak ku jaga dengan baik hehe” kataku —sok— merasa bersalah.
Sebenarnya aku sedikit terdiam shock melihat kepingan-kepingan keramik
itu, benar-benar proses mutilasi yang sempurna! Tapi hal ini cukup menyedihkan.
Entah kenapa fantasi kesenanganku atas ‘kematian’ sepasang merpati ini seperti meleleh
begitu saja.
“hadiah apa?” sahut Tina heran
“lho? Pajangan merpati itu kan hadiah darimu
waktu ulang tahunku yang ke tujuh belas? Kau ingat?”
“hah? Seingatku aku tak memberimu pajangan
keramik, aku kan memberikanmu boneka barbie”
“apa?? Jadi kau yang menghadiahiku boneka
manekin itu?? Tunggu dulu..jadi ini hadiah dari siapa?”
“BARBIE Lily! Bukan manekin! Mana ku tahu..
bentuk pajangan keramik itu saja aku tidak tahu..” kata Lily penuh penekanan
di kata “BARBIE”. Aku baru tahu ternyata
usia dan pernikahan tidak mengurangi kefanatikannya akan manekin sok lucu itu.
Aku membuka
buku sketsaku dan menampilkan sketsa pajangan sepasang merpati itu. Well... meskipun sering berdebat dengan
sepasang merpati itu, diam-diam aku juga tertarik dengan detail ukiran mereka.
Makanya aku menggambarkannya di buku sketsaku.
“lihat, kau tidak ingat sepasang merpati
ini?”
“bukan tidak ingat Lily, aku memang tidak
tahu... tapi pajangan ini bagus juga ya?”
“ayolah..! kalau tahu mereka bukan hadiah
darimu mungkin aku sudah memberikannya pada Nada! Hhh... Payah”
“kenapa harus di berikan pada adikmu? Ini kan
bagus..?” kata Tina masih mengagumi sepasang merpati itu melalui sketsaku. Aku
hanya memutar bola mata.
“padahal tadinya aku ingin menanyakan sesuatu
padamu..”
“apa?” tanya Tina penasaran
Untuk sedikit memperjelas, aku menceritakan
tentang pajangan sepasang merpati itu. Aku menceritakan detail bagaimana aku
mendapatkan pajangan itu dan bagaimana adikku menemukan tulisan itu. Aku juga
menceritakan teori-teori bodoh adikku. Satu-satunya yang tidak ku ceritakan
hanyalah bagian dimana aku sering berseteru dengan sepasang merpati itu. Tentu
saja karena aku tak mau dianggap gila.
“dan ternyata..di bawah pajangan ini terdapat
tulisan latin, aku tak tahu artinya.. tadinya kalau ini hadiah darimu, kau
pasti tahu artinya kan..? Jadi aku membawanya kesini untuk menunjukkannya.”
“kenapa tak kau artikan lewat google
translate? Atau kamus online?” kata Tina datar.
“eh?”
“Nah lho! Sekarang siapa yang primitif?” Tina
tersenyum puas menatapku.
Aku dan Tina cepat-cepat memasuki ‘jaringan
perpustakaan dunia’ yang di panggil internet itu dan menuliskan kalimat Latin
itu “exspecta me”. Kami tiba-tiba merasa haus, mendapati misteri kecil ini. Apa
arti kata ini? Dan Siapa yang sebenarnya memberi hadiah ini? Apa pula maksud
hadiah ini? Belum satu menit aku duduk di depan Laptopku, salah satu pertanyaan
mudah sudah terjawab.
“Tunggu aku”
Tina mengeja kalimat di kolom
terjemah. Dia langsung menatapku tajam, seakan menemukan sesuatu.
“sepertinya ini dari laki-laki.” katanya
tersenyum menyeringai, menyeramkan.
“aku kan tidak tahu! Bagaimana kau bisa
berfikir seperti itu?”
“Insting wanita!”
“ck...payah! sebentar aku ingat-ingat dulu...
waktu itu, aku menemukan hadiah ini di tasku... berarti memang ini hadiah dari
salah satu teman SMA... kelas dua...”
“iya, aku juga ingat, waktu itu kita sengaja
mengerjaimu dan menggumpulkan hadiah ulang tahunmu di tasmu..kautahu? hampir
teman-teman sekelas memberikanmu hadiah.. jadi semua hadiahnya tercampur,
lagian kenapa pula kau berfikir itu hadiah dariku?”
“karena ada pita biru.. kan cuma kau yang
tahu aku suka pita biru”
“yakin hanya aku yang tahu?”
“aku bukan anak fanatik barbie yang suka
mengumbar kesukaanku dan membuat semua orang tahu” kataku menatap Tina dan
langsung mendapatkan pukulan mentah di pundakku.
“coba tanya Ryan, dia kan sekelas juga dengan
kita mungkin dia bisa tahu sesuatu?”
Aku sedikit tidak setuju dengan usulan Tina,
apalagi dia meminta batuan Ryan dengan embel-embel “ini demi kepetingan
perjodohan Lily” apa coba maksud kalimatnya itu? Tapi akhirnya aku kalah dengan
rasa penasaranku.
Setelah makan malam dan setelah Dian tidur
tenang dikamarnya, kami mulai bertingkah seperti detektif. Aku beruntung,
membawa sketsa-sketsa gambarku sewaktu SMA, dan untuk mengingat kawan-kawan SMA
kelas dua ku, aku mengambil sketsa yang pernah kubuat dari foto teman-teman
sekelasku. Aku, Tina dan Ryan mengabsen wajah mereka satu persatu, beberapa
dari mereka, aku sudah lupa namanya. Aku sempat menahan nafas sejenak ketika telunjuk
Tina berhenti di wajah seseorang.
“tunggu, aku lupa, siapa ini?” mataku dan
mata Ryan langsung tertuju di satu titik yang ditunjuk Tina.
“Oh.. itu Zia, kau ingat? Anak pendiam yang
sering menghabiskan waktu di perpustakaan.”
“Oh iya..iya aku ingat” kita kembali mengabsen wajah-wajah itu hingga
akhir. Dan belum ada orang yang memungkinkan memiliki kecocokan dengan sang
sepasang merpati. Hm.. mungkin hadiah sepasang merpati itu hanya hadiah biasa.
Bisa jadi pita biru itu hanya kebetulan kan?
“eh? Tunggu? Itu bahasa latin kan?” sahut
Ryan tiba-tiba, aku dan Tina mengangguk kompak.
“Kalian tidak ingat? Siapa teman kita yang
pernah membuat guru killer kita malu
dengan pribahasa aneh latin nya??”
“ZIA!!” kataku tegas. Pasalnya aku masih
ingat waktu guru killer itu sedang
memarahi kelas kita hanya karena tidak bisa mendapat nilai sempurna, dan saat
itu tiba-tiba seorang murid pendiam berani berdiri dan mengungkapkan istilah
aneh Docendo Discimus1 guru itu makin marah dan membentak ‘ini bukan
pelajaran bahasa inggris!’ dan dengan
enteng murid itu bilang ‘ini bahasa latin pak’ hahaha saat itu sang guru
langsung skakmat dan mengakhiri acara marahnya lalu meninggalkan kelas.
“haha.. benar, aku yakin hadiah ini dari Zia,
cuma dia satu-satunya siswa aneh yang tertarik dan bisa berbahasa latin. Well, dulu kan alat penerjemah untuk bahasa latin
masih jarang..jadi tak mungkin hanya iseng..” kata Ryan sambil tertawa
Aku, Tina dan Ryan tertawa geli mengingat
peristiwa itu. Aku juga baru ingat, itu pertama kalinya aku menyadari
keberadaan anak itu di kelas dan sejak saat itu aku mulai sering berbicara atau
pun menghabiskan waktu diperpustakaan dengannya. Hmmm.....Tiba-tiba saja aku
merasa ingat sesuatu dan mebuka lemaran-lembaran sketsa lamaku.
“ini...Zia kan?” aku menujuk sketsa close up
seorang anak laki-laki berkacamata sedang serius membaca buku di salah satu
bangku perpustakaan.
Tina dan Ryan saling menatap satu sama lain,
lalu mereka melempar senyuman mencurigakan kearahku.
“aku tak tahu kalau kau diam-diam
memerhatikannya” sahut Tina tersenyum lebih menyeramkan.
“hah!?”
***
Sudah
tiga bulan sejak kunjunganku ke Netherlands, sekarang aku mulai kembali fokus
pada pekerjaanku, dan hari ini aku benar-benar genap berusia dua puluh tujuh
tahun! ‘kepergian’ sepasang pajangan merpati itu tidak berpengaruh banyak,
hidupku masih berjalan seperti biasanya, aku masih bekerja sebagai designer,
adikku masih seorang anak SMA yang usil, orang tuaku masih ribut soal
perjodohanku dan aku masih sendiri tentunya. Satu-satunya yang berbeda adalah
kamarku, setiap malam lebih terasa tenang atau bahkan terlalu tenang, tanpa
ocehan dan suara krr-krrr dari
sepasang merpati itu. Tiga bulan ini aku lebih sering mengingat dan merasa ada
yang hilang dari pada memaki keberadaan sepasang merpati itu.
Soal Zia? Tina dan Ryan sudah selesai
membahas dia, lagi pula setelah kelas dua SMA dia pindah sekolah dan
keberadaannya tidak pernah lagi di ketahui. Tina masih dengan fantasinya malah
setuju dengan Nada, mungkin tulisan itu memang kutukkan buatku. Sedang Ryan,
asumsinya lebih masuk akal —meskipun agak konyol—, dia bilang mungkin saja
dulu sepasang merpati itu memang punya arti tertentu, tapi itu dulu... Bisa
jadi dengan pecahnya merpati itu justru pertanda kalau makna hadiah itu sudah
kadaluarsa, bisa jadi Zia sudah punya
keluarga kan? Benar! waktu sudah berjalan sepuluh tahun sejak saat itu. Menurut
Ryan, kesimpulannya, sepasang merpati itu hanya pengingat untukku bahwa kehidupan
aku ataupun Zia hanya bersimpangan di kelas dua SMA saja.
“Kak Liiiillyyy!!
Bukaa!” aku mendengus mendegar suara
adikku di sebrang pintu.
“Apa?”
“Kak!
Masa hari ulang tahun sendiri di habiskan bersemedi di kamar sih?? Ayo traktir
aku dong...!”
“hhh,
aku sedang ada deadline desain Nadaa!
Nanti malam saja kita pergi keluar”
“Janji
lho! Oh ya, ibu dan ayah tadi telpon katanya mereka akan datang besok”
“aku
sudah tahuuu.. ya sudah aku harus menyelesaikan pekerjaanku,” baru saja aku mau
menutup pintu kamarku, adikku menyelipkan kakinya untuk mengganjal pintu
“tunggu
dulu! Itu ada tamu buatmu... laki-laki lhoo... tumben hehe” godanya dengan gaya
kecentilan. Aku langsung menjitak kepalanya.
“Aku
sudah tahu tipuanmu! Pria pembawa paket kaan?” balasku sebal dan langsung
menuruni anak tangga menuju pintu.
Sudah pasti itu surat dari Tina.
Aku
membuka pintu dan mendapati seseorang sedang membawa paket membelakangi ku. Aku
yakin dia bukan tukang pos seperti biasanya. Dia tidak memakai seragam biru tua
yang sering di pakai tukang pos, dia justru memakai kemeja biru muda panjang
dengan celana katun rapi, stlye yang membuatnya lebih terlihat seperti seorang
manager daripada tukang pos, perawakannya pun lebih tinggi. Dia menoleh dan
memperlihatkan paket yang dibawanya. Ya ampun! Aku lebih terpaku melihat paket
yang dibawanya!
Sebuah
ukiran porselen yang tersimpan di dalam kotak kaca yang di balut pita biru.
Porselen itu benar-benar mengingatkanku pada sepasang merpati yang pernah
kumiliki. Porselen itu menggambarkan seorang pria yang sedang berdiri dan
mengulurkan tangan pada seorang gadis yang tengah duduk di sebuah bangku kayu
yang dikelilingi bunga krisan. Gadis itu menyambut tangannya sambil tersenyum
lembut, Pria itu pun menatapnya dengan lembut dan senyuman kecil yang gagah.
Dibawah bangku kayu itu terdapat batu panjang yang bertuliskan Sum Patria2 Sebuah porselen sempurna! Pernah kah kau
berfikir soal reinkarnasi? Aku merasa
kedua ‘orang’ porselen itu sang sepasang merpati yang pernah kumiliki. Lihat!
sepasang merpati yang sudah pecah itu kembali dengan bentuknya yang baru.
Aku
memindahkan pandanganku ke arah pembawa paket itu, sebuah wajah yang baru-baru
ini aku ingat, hanya saja dia sedikit terlihat berbeda tanpa kacamata.
Ekspresinya masih sama anehnya saat dulu dia menjelaskan peribahasa-peribahasa
latin yang tak pernah kumengerti. Dia tersenyum kecil padaku, membuatku melihat
putar balik waktu saat-saat dua orang anak SMA banyak bercerita soal hal-hal
aneh di perpustakaan sambil tertawa pelan. Saat-saat yang aku lupakan sepuluh
tahun ini.
“ehhmm...
hei Lily, aku tidak tahu kau masih ingat padaku atau tidak.. tapi Happy
birthday ya!” dia memberikan kotak kaca
berpita biru itu padaku. Aku hanya tertawa dan jantungku tiba-tiba bekerja
lebih cepat dari biasanya, mungkin ini efek karena mendengar suaranya.
“hahaha,
tentu saja aku ingat, bagaimana kau bisa tahu aku disini?”
“yah...
agak sulit menemukan alamatmu, tapi aku mendapat sedikit bantuan”dia terlihat
lucu dengan wajah canggungnya sambil
mengusap lehernya.
Aku
menerima sepasang merpati yang telah menjelma itu, menatap mereka dan
mengatakan “selamat datang kembali” dalam hati, entah kalimat itu untuk sang
merpati betina, sang jantan, orang yang membawa mereka kedalam hidupku, atau
mungkin mereka bertiga, yang pasti baru kali ini aku setuju dengan adikku :mungkin benar itu kutukan,tapi kutukannya
sudah pecah dan segera akan menjadi keajaiban.
“Terima
kasih Zia” sahutku sambil mempersilahkannya masuk ke rumahku.
Fin~
A/N : Oke, beres buat cerpen, author amatirnya pengen
cuap-cuap dulu.
Well atas terlahirnya cerpen ini setelah otakku ‘macet’
berbulan-bulan karena dijejali soal UAS, aku ucapkan terima kasih pada seorang
kakak-kakak di angkot yang menceritakan kisah ‘pernikahan tak
disangka-sangka’nya (meskipun sebenarnya aku yang menguping -_-). You are
inspiring me. Arigato (-_-)m *tunduk hormat
Jadi aku persembahkan (cieee) cerita ini untuk kakak tak
dikenal itu... semoga pernikahannya lancar yo!
Cerita ini juga di pamerkan (aduh sombong nih.. ampun ya allah) untuk
kawan-kawanku (Intan, Ayu, Upith, Yopi) yang sudah menginjak usia kepala
bercabang dua dan yang mau menginjak kepala dua (Mae, Atu, Lelly) ... Woles
yaaa... kita masih punya sisa usia untuk menikmati “masa pasca-remaja tapi
pra-dewasa/tua” :D
Keterangan :
1. Docendo discimus = Kita mengajar dengan Belajar
2. Sum Patria = Aku pulang
0 komentar:
Posting Komentar