https://fletche-art.deviantart.com/art/Gate-To-My-Heart-sketch-523364766 |
Jika kau seorang penulis yang cerdas, terkadang menebak sebuah alur cerita bukanlah hal yang sulit dan kau bahkan mampu mengubah alur cerita itu menjadi versimu. Karennya, aku merasa akulah sang penulis cerdas itu, maka lahirlah cerita-cerita lain dalam versiku. Cerita-cerita itu selalu berakhir bagaikan dongeng yang menyuntikkan bius-bius kebahagiaan. Layaknya kisah-kisah kerajaan yang ideal dengan para putri dan pangeran yang kelak hidup bahagia selamanya. Ceritaku maupun hidupku sama idealnya. Setidaknya begitulah anggapanku saat ini.
Kali ini aku punya sebuah cerita, lebih tepatnya cerita cinta —jika kau menganggapnya begitu. Pada cerita ini, mungkin kita akan menemukan versi maupun sudut pandang yang berbeda-beda, terserah bagaimana kau akan menyimpulkannya. Tapi inilah ceritaku yang kutulis dengan penaku sendiri.
Dua tahun lalu, aku sedang menulis sebuah cerita tentang pintu ajaib. Dalam cerita itu, aku menulis :
“Demi menyadari keberadaan seseorang yang istimewa itu, maka tepat saat ini, saat ketika aku meniup dua puluh lilin di atas kue tart aku melepas segel juga rantai gembok pintu ajaibku, aku pun membuka kunci pintu ajaibku ini”
Saat menulis itu, aku berusia delapan belas tahun. Lewat cerita itu, aku telah men-setting hidupku sedemikian rupa.
Maka, saat usiaku menetap di angka dua puluh. Pintu ajaib yang kumaksud telah aku buka. Aku menemukan seseorang yang pantas untuk membuka pintu ajaib itu, yang dalam artian dramatis adalah Pintu hati. Dengan begitu, berjalanlah hidupku layaknya pada cerita itu. Berakhir bahagia. Tapi aku lupa, cerita itu hanya berakhir hingga aku membukakan pintu dengan bahagia. Apa yang terjadi setelahnya? Apa yang kurasakan setelahnya? Aku belum menuliskannya.
Aku sering menceritakan potongan potongan hidupku. Ya.. seperti kisah pintu ajaib itu. Dan ajaibnya cerita-cerita itu dan kehidupanku saling menjelma satu sama lain. Aku memiliki hidup yang sempurna bak sebuah kisah dalam cerita. Sesuai ceritaku, aku menyelesaikan sekolahku dengan gemilang. Sesuai ceritaku, aku bertahan dalam hiruk-pikuk kehidupan yang “menyulitkan” dan menjadi seorang yang dibanggakan. Sesuai dengan ceritaku, aku mendapatkan romansa cinta di waktu yang tepat.
Tapi semakin hidupku bertransformasi dalam cerita, semakin buram arti “kebahagiaan” yang kumiliki.Apa yang harus kurasakan, apa yang harus kulakukan menjadi sebuh ketergantungan alur cerita.
***
Pagi itu, ponselku berdering berulang-ulang. Nada pesan maupun nada panggilan meraung-raung keras. “Aya! Handphone mu bunyi terus, tidak di cek?” bundaku berteriak sama kerasnya dari arah ruang belakang.
“Nanti saja bun! Aya kan masih cuci piring, lagi pula ibu sendiri kan yang bilang jangan terlalu anteng dengan handphone” sahutku dari dapur.
“yaa tapi kan bukan berarti cuek juga, kali saja ada yang penting” gumam bunda, aku hanya tersenyum.
Defiinsi “penting” akan selalu berbeda-beda di mata setiap orang. Apa yang menurutku amat sangat penting, bisa jadi bukanlah hal yang penting sama sekali buatmu. Jadi, katakanlah aku sudah tahu kadar “penting” panggilan itu untuk di jawab. Dengan alasan itulah aku mengabaikan ponselku sepanjang hari.
Usai melakukan segala yang harus kulakukan dan ingin kulakukan. Akhirnya aku kembali pada kegiatan kesukaanku: bercerita.
Satu jam aku terdiam, membayangkan semua sisi cerita yang terjadi dalam hidupku.
Dua jam, dan aku masih membayangkan cerita-cerita lain, tidak hanya yang bersangkutan dengan hidupku, tapi juga cerita-cerita orang orang disekitarku.
Tiga jam, empat jam, lima jam, dan masih belum ada satu kata pun tertuliskan sebagai sebuah cerita.
Hitungan jam itu, tanpa terasa telah menjadi hitungan hari yang berlanjut ke minggu. Tapi tak ada satu ceritapun yang lahir. Bahkan hanya mengubah ulang alur cerita pun aku tak bisa.
Aku terdiam frustasi dan memaki diriku sendiri. Penulis cerdas? Haha! Omong kosong.
Si penulis cerita—yang katanya cerdas itu— telah kehabisan cerita.
***
Minggu nyaris ikut berlalu menggantikan nama bulan. Aku mulai putus asa karena kehabisan cerita juga karena tak mampu menjawab panggilannya yang bertubi-tubi. Deringan panggilan-panggilan itu masih sama saja : membuatku mengabaikannya, atau kalau tidak aku akan membalasnya sambil mengeluh panjang.
Siapa orang di balik deringan panggilan itu? Orang yang telah membuka pintu ajaibku. Salah satu tokoh pendukung ceritaku.
Aku mulai teringat cerita cerita yang telah ku buat. Termasuk cerita pintu ajaibku. Semalaman suntuk, aku membaca ulang puluhan cerita lama itu. Dan aku mulai menyadari ada—bahkan banyak—yang salah dari ceritaku. Kesalahan itu adalah bahwa cerita yang kubuat terlalu mirip dengan kisah hidupku.
Memang bukan hal yang salah untuk menuangkan kehidupan kita dalam cerita. Tapi selama ini aku tak pernah melakukannya. Aku tak pernah “menuangkan” hidupku dalam cerita. Aku justru “membuat” sebuah cerita sebelum hidupku memiliki cerita.Ya. Ini memang agak membingungkan. Tapi aku mulai tahu alasanku kehabisan cerita, aku bahkan tahu alasan mengapa arti “kebahagiaan” menjadi begitu buram dalam hidupku.
Alasannya hanya satu : Karena aku bukanlah penulis cerita yang cerdas.
Aku hanya pembuat naskah picisan yang dengan angkuhnya membiarkan hidupnya berjalan mengikuti naskah-naskah yang kuanggap cerita sempurna. Semuanya memang begitu tertata sempurna. Tapi demi kesempurnaan itu ada kebohongan mutlak terhadap kehidupanku sendiri. Pun demikian dengan semua cerita yang kutulis.
***
Maka di hari berikutnya, ketika aku bertemu dengannya: sang pengirim pesan yang sempat ku acuhkan atau seseorang yang telah membuka pintu ajaibku.
Ingin kukatakan bahwa pintu ajaibku yang terbuka hanyalah sebuah kebohongan yang kubuat nyata, sebuah ilusi cerita. Dialah tokoh penyempurna yang hanya tertuang dalam cerita. Ingin sekali aku mengatakannya, bahwa aku hanya penulis naskah picisan.
Apakah dia hanya akan tertulis pada ruang cerita?
Untuk menjawab pertanyaanku sendiri, aku hanya mampu tersenyum seadanya. Tapi pada diriku sendiri aku menceritakan sebuah cerita :
Pada suatu hari ketika seorang gadis lupa bercerita dengan hatinya, lupa bercerita tentang kehidupan. Maka dia akan dikutuk dan berubah menjadi seorang gadis yang hidup dalam cerita. Dari seorang manusia menjadi sebuah karakter semata.
Terkutuklah aku, karena telah mendalangi hidupku sendiri.