Si Ailurophile


Dia itu seorang ailurophile. Sebenarnya itu hanya istilah ilmiah—yang kupikir terlalu keren— untuk mengklarifikasikan spesies temanku yang satu itu. Aku lebih setuju memanggilnya ‘penggila kucing’. Dan saat ini… dia malah asik memainkan hewan berbulu yang sedang menggeliat malas di depan pintu kamar. Oh ayolah! Aku melempar bantal di sampingku ke arahnya. “Ayo belajar!!”

            “Emm.. gadis yang suka kucing itu biasanya susah ditebak dan moody! Kalau moodnya lagi bagus nih ya.. biasanya dia bakal terlihat manis, kalem, penurut…bahkan terkesan sangat butuh perlindungan, jadi bikin cowo-cowo pengen nyayang nyayang dia gitu..”     Melihat teman ailurophile-ku itu, diam-diam aku ingat pembicaraanku dengan kenalanku sekitar tiga hari yang lalu. Kupikir ini waktunya mengecek kebenaran dari komentar psikologis kenalanku itu.
            Terlihat manis? Aku melihatnya, dan dia sedang tiduran terlentang dengan kertas berserakan di sekitarnya, tumpukan buku di perutnya dengan lipatan-lipatan baju yang sudah tidak terdefinisikan dan dia menggeram sambil berguling-guling lalu tertawa “aaaahhh gimana dooong! Apa kita kempesin ban mobil dosennya aja ya? Kali aja gak jadi tes..hahaha” Oke..terlihat manis, coret!
            Kalem? Jelas sekali, coret.. mana ada orang kalem menggeram dan tertawa se-brutal itu..Penurut? Hm, akan ku coba “duuh lapaar…ada yang beliin makanan doong… taaan~” aku menatapnya dengan kitty eyes. Sayang, bukannya menuruti apa yang ku minta dia malah ikut-ikutan memasang kitty eyes “ayo doong siapa saja.. beli makanan..” akhirnya seisi kamar riuh soal siapa yang harus keluar membeli makanan. Yaah, beruntung, empat temanku yang lainnya tidak muntah darah melihat double kitty eyes yang tidak layak diperlihatkan tadi. Jadi sifat penurut pun coret. Kupikir kenalanku itu salah menginterpretasikan karakter seorang ailurophile, atau mungkin kawanku itu itu jenis ailurophile yang berbeda. Yah, entahlah…
            Sebenarnya bukan tanpa alasan aku mencari-cari tahu soal karakternya. Hanya saja ini kejadian langka, bahwa dia bisa menjadi begitu akrab denganku. Rata-rata, orang yang hiperaktif dan socialable  tidak sanggup berteman denganku. Katakanlah karena aku tergolong mahluk yang careless dan less-respond,: karakter yang berlawanan karakternya. Tapi layaknya kucing, sepertinya dia seolah punya cara sendiri untuk membuat orang betah “bermain” dengannya.
            “Apa? Dari tadi ngeliatinnya gitu amat siihh, serem tau!” Dia menatapku sambil menyilangkan tangannya di dada lalu mengernyitkan muka nya sok merinding.  Ahahaha~  aku hanya bisa tertawa dalam hati dan menampakan ekspresi menyeringai, membuat dia semakin heboh mengomentari seringaiku.
Terkadang, aku ingin melihatnya dari sudut pandang seekor kucing.
***
            Sore itu dia lebih pendiam dari biasanya, dia hanya menatapku dan tersenyum mesem mesem, lalu menggulung badannya dikasur bawah seperti armadillo. Aku melangkah mendekati kamar itu, berjalan berputar-putar di depan kamar dan menggulung badanku untuk meniru gayanya. Aku ingin menarik perhatiannya lagi. Tapi dia bahkan tak bergerak satu inci-pun dari posisinya sekarang.
            “Kenapa sih?” tanya seseorang yang kukenal dekat, kurasa dia ikut gemas melihat tingkahnya. Sedangkan orang yang ditanya hanya menggeram absurd sambil memeluk guling.
            “haaah, enak banget sih jadi kucing! Cuma tidur, makan, sama ngeong juga udah kelihatan lucuu, gak perlu mikirin beban hidup…” Dia memberikan tatapan iri kepadaku. Aku yakin dibalik sindirannya yang tidak perlu aku pahami itu, dia sedang memikirkan sesuatu yang amat kusut seperti buntalan benang yang sudah kumainkan berjam-jam.
            Aku  hanya bisa merebahkan tubuhku melihatnya mulai kembali berceloteh panjang soal hal yang tak pernah ku pahami. Kediamannya beberapa saat tadi mulai mencair lagi menjadi candaan seperti biasanya. Tapi meski dia banya bicara dan tertawa, aku tahu dia tidak sedang tertawa lega. Demi memenuhi rasa penasaranku tentang apa yang terjadi padanya, aku memberanikan diri untuk mendekat. Beberapa orang di kamar itu cukup riuh karena aku nekad memasuki kamar, beberapa dari mereka sampai panik menggeserkan piring-piring dan plastik-plastik makanan disekitarku. Padahal aku hanya ingin melihat dia yang juga sedang melihatku.
            Diantara mereka yang panik, dialah yang menghampiriku dan menggendongku hati-hati. Gendongannya terasa akrab dan hangat, aku berani bertaruh, sepertinya dia termasuk manusia yang manis, cukup manis untuk memberikan rasa nyaman! Hanya saja, gendongannya kali ini sedikit berbeda, indra perasaku yang lebih tajam dari manusia-manusia itu, mampu mendeteksinya. Aku mencoba berbicara menatap matanya.
            “Apa puss?? Lapar!?”
            Sungguh terlalu. Manusia selalu menganggap suaraku itu suara kelaparan!
            “Kau akan baijk-baik saja!” Itu yang ingin kukatakan, meskipun aku tak tahu kenapa harus mengatakan itu.
            Dia menurunkanku di depan pintu, dan atas titah—tak berperasaan—orang disekitarnya, dia menutup pintu kamar itu. Dan jalan untuk memenuhi rasa ingin tahu ku tentang apa yang terjadi padanya pun ikut tertutup.
            Hari berganti hari, kamar itu semakin sepi penghuni, tapi hanya dia yang setia datang ketempat itu, lagi..dan lagi. Belakangan ini, akhirnya aku tahu apa yang membuat dia dan mereka terlihat tidak nyaman dengan hidupnya. Kertas-kertas itu. Ya, cuma kertas-kertas berserakan itu yang nampaknya membuat manusia alergi. Kurasa kertas-kertas itu juga yang membuat tempat ini menjadi sepi. Terlebih lagi, gara-gara kertas-kertas itu tampaknya dia menjadi begitu terpuruk. Aku tak tahu apa terpuruk merupakan kata yang tepat, hanya saja dia terlihat lebih ‘sakit’ dari bisanya, bahkan terlihat lebih suram. Ada sesuatu yang serius dibalik keluhan-keluhannya. Sesuatu yang harus ditanggapi serius. Mereka mungkin tak menyadarinya, tapi radarku tahu.
            “Kau akan baik-baik saja!” sepertinya suaraku tak akan sampai, terhalang pintu yang tertutup lagi.
            Ternyata, sampai beberapa hari kedepan, kertas-kertas itu masih membuat dia bergidig nista. Bukan hanya dia, tapi mereka juga. Beberapa dari mereka terdengar begitu menyerah dan mulai diam tak menanggapi kertas-kertas itu. Tapi dia tidak, dia berceloteh banyak, tapi dia tetap datang ke kamar itu. Dia mengutuk kertas-kertas itu, tapi dia tetap mencoba berdamai dengannya. Dia begitu penurut dan tenang! Dia begitu penurut terhadap tekadnya. Begitu tenang menghadapi rasa takutnya. Benar-benar manusia yang aneh.
            Aku benar-benar gemas melihatnya ‘suram’ begitu. Seseorang harus mengatakan sesuatu. Seseorang harusnya lebih sering berada di sampingnya! Ah coba saja aku bisa sama-sama dengannya menghadapi kertas-kertas itu, sambil meminum coklat panas dan meringkuk disampingnya, menemaninya membaca kertas-kertas itu. Atau mungkin memberikan beberapa usapan-usapan ku untuk mengajaknya bersama-sama ‘melawan’ kertas kertas itu.  Bahkan seandainya saja itu bisa membuatnya lebih baik, kurasa aku bisa mengingit dan mencakar habis kertas itu, atau hanya sekedar ters mengeong, mengatakan bahwa dia akan baik baik saja! Sampai suaraku parau juga boleh!
***
            “Wuah! Kucing!” pagi itu aku terbangun dengan seekor kucing yang memeluk kakiku. Sangat agresif dan binal begitulah pikirku, rasanya mengingatkanku pada seseorang… seseorang yang satu lingkungan dengan dunia kucing. Ya, teman ailurophile-ku itu.
            Kucing itu menggeliat bangun, menyadari pergerakan kakiku diantara perut berbulunya. Dia langsung menghampiriku sok akrab, dan mengeong. “Selamat pagi”  mungkin begitu maksudnya. Aku tak begitu peduli dan langsung menuju kamar mandi. Bukannya aku tidak suka kucing, sepertinya aku hanya belum menyadari letak ke-adorable-an kucing. Itu saja.
            Usai mandi, aku terbengong mendapati kucing itu masih berada di kasurku, biasanya dia selalu kabur setelah bermalam untuk tidur berduaan denganku.Binal bukan? Tapi kali ini dia mengikutiku selama di dalam kamar. Hingga saat aku membuka layar laptopku, dia meloncat dan duduk di pangkuanku dengan —lagi-lagi— sok akrab. Dia mengeong manja melihat wallpaper desktop laptopku yang merupakan gambar aku dan kelima temanku. Aku masih tak mengerti tingkahnya dan kucing itu tetap aku acuhkan. Mungkin sekarang seharusnya teman ailurophile ku itu ada disini, mengajaknya bermain. Jadi dia tak harus bertingkah  genit semacam ini.
            Sampai berjam-jam kedepan, ternyata kucing itu masih belum jengah mengganguku, bahkan dia sempat membuatku kaget dengan melompat-lompat dan meraung rendah saat aku membawa kertas-kertas revisianku. Aku tetap tidak mengerti. Akhinya aku mendiamkan diri, menutup file Microsoft wordku, memperlihatkan wallpaper desktop ku pada si kucing tanpa sengaja, dia kembali mengeong, mengeluas-elusnya kepalanya pada foto wajah teman ailurophile ku itu.
            “aaah, kamu mau mengenalnya ya? Haha, memang mahluk sejenis, satu dunia!” gumamku sambil mengelus kepalanya. Dia mengeong dan terus mengeong tanpa jeda, secerewet temanku itu. 
Tanpa kusadari, sebenarnya kucing itu tengah bercerita tentang seseorang. Menceritakan tetang kekagumannya pada orang itu. Menceritakan tentang betapa ia begitu mengenalnya. Menceritakan betapa ia ingin membantunya, dan berada disisinya. Hanya saja dia bercerita dengan bahasa yang tak pernah di pahami manusia. Sesulit angka dan kode biner pada komputer, sesulit itu pula bahasanya untuk dimengerti.
Aku hanya bisa paham bahwa kucing itu berhak akan satu hal. Dia berhak atas kesempatan mengetahui nama teman ailurophile-ku itu. “Intan.. namanya Intan Mustikasari” kataku pada si kucing, entah dia mengerti atau tidak.


Bandung, 09 Juni 2015