@Kedai Kopi Simaung, Bandung. |
Dia
memarkirkan motornya di depan sebuah kedai kopi bergaya klasik vintage. “Ayo
turun” titahnya padaku, sedang pikiranku sedang melanglang buana entah kemana.
Tak lama setelah dia menyuruhku masuk, ponselku bergetar: dua notifikasi masuk
berbarengan. Aku menghentikan langkahku sejenak demi membaca notifikasi email masuk
itu,—yang pada akhirnya hanya memberiku serangan combo kegetiran. Haah
pahit sekali.
“Cepat
masuk!” titahnya sekali lagi ketika aku membatu di pintu depan.
“Jadi
mau pesan apa?” Tanya pemilik kedai kopi itu sambil menyodorkan list menu
bergaya vintage pada kami. Aku butuh
sesuatu yang manis, pikirku. Akhirnya aku tunjuk menu melkpresso, dengan
pertimbangan bawa kopi jenis itu, mengandung susu. Kemungkinan rasanya lebih
manis dari hidupku.
“Bagaimana
kalau coba olahan biji kopinya langsung?” usul sang pemilik kedai yang juga
ternyata merangkap menjadi Barista disana. Kami berdua langsung mengangguk
setuju. Belakangan, aku tahu pemilik kedai itu ternyata temannya.
“Eh
tapi kamu suka kopi kan?” Sang pemilik kedai itu kembali, bertanya lagi padaku
untuk memastikan sesuatu. Kurasa wajahku kurang coffee-able. Ah,
maksudku jelas sekali aku tidak terlihat layaknya pecinta kopi. Walaupun memang
demikian adanya.
Aku
ini seorang pecinta teh, tapi kupikir, tidak ada alasan bagiku untuk tidak
mengenal kopi. Hampir seluruh keluargaku pecinta kopi. Bahkan dimataku, ibuku
adalah seorang penikmat kopi yang handal.
Beliau bisa membedakan mana kopi sachet harga 1500 dan kopi sachet dengan harga
diatas 3000. Lebih dari pada itu, ibuku bahkan bisa menebak merk nya hanya
dengan sekali teguk. Hebat bukan? Aku
juga sudah pernah membaca novel “Filosofi Kopi” yang terkenal itu. Jadi
segala macam komentar, dan deskripsi mengenai kopi, tentu aku sudah tahu.
Tadinya kupikir begitu.
Bagiku
teh dan kopi sama saja. Keduanya sama
sama pahit dan mengajarkan tentang menerima sisi pahitnya hidup. Sepahit
kegagalanku kali ini. “Haaaah” aku
mengheluh panjang, ketika membaca ulang email yang aku terima. Dua notifikasi yang masuk, dan dua duanya
berita buruk. Yang satu, mengabarkan bahwa aku gagal seleksi menjadi content
writer di sebuah perusahaan, yang
lain nya mengabarkan bahwa tulisanku tidak memenuhi syarat untuk di publikasi.
Sebenarnya
aku mudah sekali untuk mendapatkan sesuatu yang bukan keinginanku. Tapi jika
berhubungan dengan cita cita dan keinginan pribadiku, kehidupan selalu main
main dan bercanda denganku. Sekarang pun demikian, aku ingin sekali berada di
dunia kepenulisan, tapi lagi-lagi aku ditarik dari kenyataan. Aku tegaskan, pahitnya kenyataan. Hm.
“Ayo
diminum” sahut sang pemilik kedai menyuguhkan kopi Arabica panas dengan
asap yang mengepul dalam sebuah poci, tidak lupa tiga gelas cangkir yang amat
kecil dihidangkan juga. “Kecil sekali” gumam otakku mulai berspekulasi
macam-macam. Sang pemilik kedai
menuangkan kopi itu ke gelasku, kemudian dia menjelaskan tata cara menikmati
kopi yang unik.
“Supaya
kopinya terasa, kita harus meminum kopinya dengan cara begini… sluuurrp”
Pemilik kedai itu menyeruput kopinya tanpa memiringkan gelas. Dia bilang, dengan begitu kita bisa merasakan cita rasa asli kopinya. Aku pun mengikutinya, demi menemukan cita rasa asli kopi seperti yang dia katakan.
Uh!
Pahit sekali. Jadi ini alasan mengapa gelasnya teramat kecil. Jika
gelasnya sebesar gelas jus, rasa pahitnya ini bisa sampai ubun ubun! Aku memang sering dengar kalau kopi
itu pahit, tapi aku tidak membayangkan bisa sepahit ini.
“Enak
kan?” Tanya sang pemilik kedai, menelisik
ekspresiku.
“Pahit”
jawabku otomatis, dia tertawa.
“Sebenarnya,Kopi
itu punya rasa manis. Hanya saja jangan membandingkannya dengan rasa manisnya
gula. Ini jenis rasa manis yang berbeda. Manisnya kopi itu bikin semangat.
Kalau kamu sering mencobanya kamu akan tahu” Jelas sang Pemilik kedai.
Lidahku
rasanya ditusuk ketajaman rasa asam-pahit kopi yang melekat kuat. Tapi entah
kenapa, aku justru malah ingin mencobanya lagi. Karena itu, ketika dia dan
pemilik kedai kopi itu mengobrol panjang, aku kembali menuang dan meneguk kopi
itu. Tentu saja rasanya masih pahit, hanya saja tidak sepahit sebelumnya. Aku mulai
menemukan rasa asam, lalu aku mulai penasaran dengan ‘jenis rasa manis’ kopi
yang dikatakan sang pemilik kedai itu. Aku mau mencobanya lagi ah!
Premis
1 : Aku menyukai teh. Premis 2 : Teh punya rasa pahit. Premis 3: Kopi juga
punya rasa pahit. Jika ditarik konklusi yang sempurna, bukankah seharusnya aku
menyukai kopi juga?
Aku
mengecap-kecap lidahku, pahit yang kurasakan dari teh dan kopi itu sangat
berbeda. Setiap usai minum teh, aku selalu merasa lebih tenang dan rileks.
Mungkin karena efek antioksidan, rasa pahit yang kurasakan dari teh justru
terasa menjalar keseluruh rongga mulut. Jadi mau tak mau, lidahku terbiasa
dengan pahit itu. Setiap meminum teh,
rasanya aku diajarkan untuk terbiasa dan menerima rasa pahit itu.
“Pahit
itu ada, tapi pahit tidak buruk juga” begitu kata pahitnya secangkir teh.
Tapi
dengan meminum kopi, justru aku merasakan rasa pahit yang pekat di satu titik
ujung lidah. Rasa pahitnya terasa seperti trigger. Pemicu untuk mencari
rasa manis yang ada di kopi, Bisa jadi, itu akibat dari kadar kafeinnya.
Makanya, ketika meminum kopi, aku merasa, rasa pahitnya justru memicu ku untuk
mencicipinya lagi. Semacam ketagihan.
“Coba
lagi. Kamu bisa merubah rasa pahitnya” begitu kata pahitnya secangkir kopi.
Aku
terdiam lama usai menikmati dua gelas kecil kopi Arabica. Kopi itu, masih membuatkku tergelitik untuk mencobanya lagi.
Diam-diam aku menungkan kopi untuk gelas yang ketiga.
Mencoba
lagi ya… Ah iya, Baiklah, besok aku akan mengirim naskah lagi, pikirku
tiba-tiba. Aku teringat sesuatu setelah meminum kopi itu.
0 komentar:
Posting Komentar