Homoseksual dan Islam


(Tanggapan terhadap artikel : Homosexual dan Islam : Antara Muslim dan Gay)
Berbicara tentang homoseksual, sebenarnya masih terdapan kebingungan palam pikiran saya mengenai “apakah homoseksual itu penyakit atau pengaruh lingkungan?”. 

Berkaitan dengan hal tersebut, American Psychiatric Association (APA) justru menyebutkan bahwa homoseksual merupakan keberagaman genetik seksual/gender.  Bukankah itu lebih kompleks lagi? Jika homoseksual dianggap keberagaman gender, berarti  ada gender ketiga selain perempuan dan laki-laki? Dalam konteks ini, sebenarnya saya lebih setuju bahwa homo seksual ini dianggap sebagai penyakit sosial/ social disorder seperti halnya penyakit kejiwaan (gila) yang bukan merupakan faktor keturunan/genetik melainkan anomali/penyimpangan suatu “kondisi” yang disebabkan lingkungan sosial dan budaya. 
Tapi, homoseksualpun bukan sepenuhnya pengaruh lingkungan yang menjadi pilihan gaya hidup, secara klinis justru seorang psikiater (windy) bisa menujukan ciri-ciri dan penyebab gay secara ilmiah dalam “Arciheves of Sexualitas Behavior” yang mengatakan bahwa “lelaki yang memiliki jari manis dan jari telunjuk yang persis sama, biasanya  mereka memiliki hormon Testosteron sama banyak pengaruhnya dengan hormon Estrogen. Sehingga keseimbangan hormon tersebut berpotensi untuk membentuk syndrom yang kecenderungan gay dan hal tersebut bisa minimalisir dengan terapi hormon[1] Nah, dengan demikian, homoseksual/gay itu bisa disembuhkan.
Oke, setelah mengetahui posisi para gay, kali ini saya bisa menyangkal sebuah statment di text pertama (paragrap delapan) yang mengatakan bahwa gay, dalam frame kemanusiaan, di anggap sebagai “beliefs” dan “sexual identity”  sehingga haknya perlu diakui dan dipublikasikan keberadaannya. Karena alasan di atas, maka saya berpendapat bahwa guy ini bukan kepercayaan, tapi kondisi yang dipercaya (benar) oleh mereka sendiri dengan kata lain itu ada lah pilihan mereka sendiri untuk “terlibat” dalam lingkungan homoseksual. Dan jika itu pilihan mereka, maka mereka pun “akan sulit” memilih islam sebagai agama. Karena bagaimanapun, Islam telah melarang tindakan homoseksual.
Dalam konteks kepercayaan islam,  homoseksualitas bukanlah masalah asing. Pada zaman Nabi Luth pun hal ini pernah terjadi, dan sejarah inilah yang justru menjadi dasar pandangan Islam terhadap homoseksualitas. Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa perbuatan kaum nabi Luth (homoseksual) adalah perbuatan yang keji  (Q.S Al-araf : 80 -83) . Beberapa ayat alquran yang di cantumkan di text 2 pun menjelaskan bahwa Al-Quranpun telah mengatur mengenai homoseksual. Sedikit menguatkan, terdapat pula hadits yang mengatakan bahwa :
“Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mendapatkan seseorang melakukan seperti yang dilakukan kaum Luth (homoseksual), maka bunuhlah orang yang berbuat dan diperbuat; dan barangsiapa mendapatkan seseorang bersenggama dengan binatang maka bunuhlah orang itu dan binatang tersebut. (Riwayat Ahmad dan Imam Empat)”

Nah, Pernyataan diataspun menjadi sangkalan saya pada text 1 yang mengatakan bahwa tidak ada ayat eksplisit yang menjelaskan tentang homoseksual dan bahwa para homoseksual kaum nabi luth dulu dihukum karena caranya beribadah bukan karena homoseksualitasnya.
Membicarakan soal hak mereka, banyak para gay yang ternyata telah membentuk sebuah komunitas besar (seperti komunitas pelangi) yang berusaha menyuarakan hak mereka. Itu pula yang mendasari diberlakukannya gay di Belanda, karena kaum gay di Belanda mulai semakin banyak (mayoritas) dan mendesak untuk diakui ke-legal-an hubungan mereka.
Lantas? Jika di negara kita,  Indonesia, gay menjadi mayoritas, apakah gay harus legal?
 Kita harus tegas menjawab tidak.  Bagaimanapun juga, di Indonesia para gay di indonesia, terlingkup dalam agama Islam. Negara yang memiliki aturan kepercayaan agama tetap tidak akan luntur oleh aturan kebebasan manusia. Dalam Al-Quran, homoseksualitas merupakan hal yang tidak baik dan dilarang. Maka itulah aturan Tuhan yang mutlak.
Jangankan Islam, di negara “vatikan”,  Kanada dan Amerika pun, legalitas hubungan homoseksual masih tidak diperbolehkan sekalipun para gay disana sudah menjadi mayoritas, karena aturan agama mereka yang tetap tidak menerima homoseksualitas.
Oleh karena itu (lagi-lagi) saya menyangkal text pertama yang mengatakan bahwa merupakan tanggug jawab agama untuk mendekatkan para homoeksual kepada tuhan dengan pilihan homoseksual mereka. Soal tanggung jawab agama dalam mendekatkan umatnya pada Tuhan memang benar, tetapi jika umatnya pun melakukan kewajibannya. Tidak “keukeuh” dengan pilihannya. Logikanya bagaimana bisa seseorang ingin “berada di suatu tempat (secara nyata) tanpa ingin keluar dari rumahnya?”
Di text pertama pun dikatakan bahwa komunitas gay memerlukan asisten dari  bidang agama untuk membuat mereka mampu beribadah, namun tetap aman dengan orientasi seksualnya. Saya lebih setuju bahwa komunitas gay itu memerlukan agama untuk membuat mereka mampu berubah dan aman dalam beribadah.
Mengenai masalah peribadahan kaum gay maupun homosexsualitas, memang pada akhirnya hanya Tuhan yang lebih tahu bagaimana ibadah mereka sebagai muslim. Kita tidak bisa campur tangan. Namun, sebagai muslim bukan berarti kita pun mengabaikan keberadaan mereka dilingkungan masyarakat, karena faktanya memang berbicara bahwa “kaum gay itu ada” dan jika mereka mau sebenarnya pilihan mereka bisa “disembuhkan” hanya saja dalam konteks lingkungan keagamaan mereka memiliki satu minus point (nilai minus).




[1]http://www. edukasi.kompasiana.com