Seindah Rambut Rapunzel


"Don’t Judge a book by its cover." begitu kata kakakku.

Saat itu, pertama kali nya aku menyandang titel mahasiswi dan kakakku sudah memberiku petuah yang menurutku sama sekali tidak ada hubungannya dengan duniaku yang baru.  Berbeda sekali dengan ibuku yang bukan hanya memberikan petuah tetapi juga ceramah, dari tips-tips hidup mandiri hingga tetek bengek cara menyimpan makanan cadangan.

Berhubung petuah ibu yang paling ku ingat adalah “cara menyimpan makanan cadangan”, akhirnya hari itu aku pergi ke mini market untuk beli suplai makanan dan keperluan Masa Orientasi (a.k.a Masa Penderitaan)

“hem? Maba* ya?” Seorang pria memakai jaket dengan hoodie menutupi kepala, menyapaku horror dari arah belakang. Badannya agak condong melihatku, samar-samar wajahnya terlihat agak tirus dan sayu. Dia memakai jeans panjang yang warnanya agak kusam, dan tangannya memegang sebungkus rokok. Dia terlihat...menyeramkan.

“Hn” Aku hanya bergumam singkat untuk menjawabnya. Tapi dalam hati, segala macam jampi-jampi sudah kurapalkan.  Dia berjalan mendekat dan mensejajarkan dirinya ke arahku, sedangkan aku mundur teratur. Dia—tersenyum—meneyeringai padaku.

“jurusan apa?”

“bahasa”

“wah bagus, perlu bantuan?”

Aku menggeleng, tersenyum canggung, lalu ­­dengan suara yang pelan sekali, aku mengucapkan terima kasih sambil berlari menjauh dengan kecepatan supersonic. Aku tidak begitu ingat kalau dia mengatakan “Good luck” padaku.

Sesampainya di kosan, kau pasti tahulah apa yang kulakukan sebagai gadis pada umumnya : bercerita (dan ini jelas bukan bergosip).Aku langsung menelpon kakakku, dan dia berkomentar

“kau berhutang maaf padanya”

“kok?”

“dia bisa tersinggung kalau kau langsung lari begitu”

“itu tindakan pencengahan kak! Dia benar-benar menyeramkaan! Lagi pula aneh kan tiba-tiba menyapa begitu.. mana jalannya tidak tegak.. seperti sedang mabuk... Lagipula style bajunya aneh, Masa pakai hoodie  di dalam ruangan?”

“bagaimana kalau dia memang mau membantu?”

Aku langsung tutup telpon, kurasa kakakku tidak mengerti situasinya.

*(interval)*

Cerita “pemuda menyeramkan” itu sudah mengakar sebagai kesan pertamaku saat menjadi mahasiswi. Sejak saat itu, pemuda dengan setelan yang sama dengannya—plus dengan rokok ditangan— menjadi image “menyeramkan” tersendiri bagi otakku.

Tapi itu sudah usang, sudah hampir dua tahun sejak kejadian itu. Hidupku sebagai mahasiswi berjalan begitu saja. Kehidupanku berputar-putar di setiap tempat di kampus. Dan sekarang, kehidupanku sedang berada di kelas yang riuh dengan tema koran terbaru bulan ini. Tentang “mahasiswa-mahasiswa inspiratif di kampus”. Beberapa mahasiswi mulai mengabsen kebaikan-kebaikan setiap inspirator itu. Aku ikut menengok berita itu karena katanya, ada beberapa dari mahasiswa inspiratif itu yang  berasal dari jurusanku. Tapi pada akhirnya, bukan itu yang menarik perhatianku, seorang mahasiswa lain dengan foto ekspresif justru membuatku tertawa. Aku menunjuknya fotonya  sambil bergumam.

“hmm..kayaknya kenal deh”

“iya, kamu sadar juga ya? kita sering papasan dengannya lho..!. Dia memang seringberkeliaran di sekitar  taman kampus, kalau ada acara-acara di taman kampus juga dia terihat aktif, kayanya orangnya ramah dan sering bercanda, fotonya saja ekspresif git—”

"OH"

Teman di sampingku selalu menjawab panjang kali lebar. Menanggapi jawaban temanku dengan “oh”. Itu cara ampuh supaya dia tidak memperpanjang ceritanya sampai sehari semalam! Hanya saja, Walaupun aku cukup menanggapinya dengan “oh”, aku sebenarnya merasa ada hal lain yang mengganjal dan membuatku penasaran. Hmm... sering papasan ya..? pikirku agak ragu.

(^o^)

Waktu berjalan lebih cepat lagi. Seolah melesat secepat kereta listrik buatan jepang, lima bulan sudah berlalu sejak keluarnya berita itu. Dan memang benar, aku sering berpapasan dengan orang yang fotonya kulihat di berita itu. Orang itu sering ada di sekitar taman kampus, membawa tas ransel dan menggelung rambutnya yang agak gondrong.

Siang ini, aku ada jadwal “mengisi perut” dengan teman-temanku di kantin.  Aku berjalan menuju kantin layaknya manusia biasa, maksudku, aku masih bisa menahan diri untuk tidak berlari seperti para barbar yang begitu lapar. Aku masih berjalan dengan tetap tenang dan cool. Hingga tiba-tiba aku menangkap pemandangan yang” menyilaukan”:

Seseorang sedang berdiri anggun di pintu masuk kantin sambil membelakangiku, dia berdiri dengan rambutnya yang tergerai panjang hingga pinggang. Rambutnya yang legam, tebal dan ikal terlihat amat sangat menawan. Seperti mahkota mimpi di siang bolong, rambut itu begitu menggoda bagi kaum sepertiku, yang notabene memiliki  rambut jangung ‘pendekar’  yang  lurus dan sangaaat tipis. 

Jika aku berada di cerita anime, mungkin akan ada efek cahaya silau yang menyinari rambut itu, di tambah sedikit efek angin yang membuat rambut itu agak terbang bergelombang.. wussshh.

Aku sedikit diingatkan, bahwa beberapa minggu lalu aku sempat melihat orang itu juga (dan dari belakang juga). Saat itu dia sedang berdiri di depan penjual hadiah untuk para wisudawan, dan mataku (selalu) mendadak fokus pada rambutnya.

“wah, Rapunzel” gumamku spontan. 

Setelah sekian detik terhipnotis rambutnya, aku kembali berjalan. Saat melewati orang itu, dan aku menyadari sesuatu. Wajahku seketika mendadak beku, melihat pemilik rambut itu seorang laki-laki.

Ya Tuhaaan, rambutku kalah jauh dibandingkan rambut seorang laki-laki..! teriak batinku.

Sekali lagi aku menoleh kearahnya untuk memastikan.

“Ah tunggu! Dia kan yang di berita! Hanya saja kali ini rambutnya di gerai..” Kataku, berbicara sepelan mungkin agar temanku tidak mendengar.

Dan seperti biasa, setiap melihat orang itu aku merasa ada sesuatu yang menggajal, seperti sesuatu yang “terlewat”. Aku terus memerhatikan orang itu, dengan—tentu saja— fokus utama adalah rambutnya. Dia duduk dua meja di depanku, mengobrol, berkelakar, dan tertawa dengan kawannya dan rambutnya dengan elegan bergelombang kesana kemari mengikuti gerakannya. Biasa saja, secara keseluruhan dia seperti layaknya manusia normal. Ya, kecuali rambutnya. Aku (masih) melihatnya, dia berdiri lalu mencondongkan badannya dan agak menunduk, mungkin untuk menyamakan tingginya dengan tinggi temannya, rambutnya yang tergerai bergeser menutupi sebagian wajahnya. Dan aku masih merasa ada yang terlewat saat melihatnya.Aku merasa harus mengingat sesuatu!

Usai makan siang, aku pulang ke tempat kos untuk beristirahat. Aku bersyukur tidak ada mata kuliah siang ini, kalau ada, mungkin aku sudah meleleh karena panas nya cuaca dan panasnya imajinasiku akan sang rambut rapunzel. Meskipun begitu,, mau tidak mau, aku harus bilang bahwa rambutnya “rapunzel” memang benar-benar awesome! Oh ya, berhubung aku tidak tahu nama pemuda itu, jadi aku memanggilnya “rapunzel”. Kau pasti  tahu lah alasannya, jadi tak perlu aku jelaskan.

Aku masih berusaha memutar otakku, untuk menganalisis pemuda itu, dari soal : kenapa dia bisa memiliki rambut sebagus itu? KENAPA dia laki-laki? Apa dia memakai semacam perawatan rambut tiap bulan?Creambath misalnya? Apa dia memang laki-laki? Kenapa setiap melihat dia rasanya ada sesuatu yang terlewat? Seperti perasaan bersalah? . Kepalaku mulai agak pusing memikirkan macam-macam hal itu.

Aku membaringkan badanku dan menempelkan tissue basah di wajahku untuk mengompres muka dan kepalaku, biasanya ini ampuh untuk mengembalikan kegesitan otakku.

Otakku mulai berfikir lagi menelusuri jejak-jejak rapunzel  itu dan... ZING!

Ah Iya!!

Aku ingat, wajahnya yang tertutup rambut saat ia mencondongkan badannya ke temannya. Wajah itu persis sekali dengan wajah pemuda menyeramkan yang pertama kali menyapaku saat semester satu!!

Aku mencoba mengingatnya lagi...lagi...dan lagi...

Benar! Mereka orang yang sama!!

“haaaahh~!”

Aku menjatuhkan diriku  lagi di atas bantal, aku mulai berfikir bahwa kakakku memang benar..

“aduuhh~ maaf Rapunzel..” gumamku berkali-kali.

Ternyata pemuda menyeramkan itu memiliki rambut seindah Rapunzel.


(written on April 14th, 2014)