Mata Kucingnya

          
Satu dari sekian ribu titik di dunia ini pasti ada yang mencolok. Titik itu dia. Dan.. Hei! Kenapa dia harus terlihat mencolok di pandanganku? Sementara tingkahnya hanya diam saja, tak lebih dari membatu. Satu jam pelajaran ini sepertinya aku sudah tiga belas kali (hanya) meliriknya, bergumam kecil dalam hati agar ia mengacungkan tangannya. Tapi Nihil, sia-sia! Murid-murid lainnya lebih sering mengacungkan tangan, menjawab pertanyaanku, berargumen, sesekali adu argumen dan berceloteh. Sementara dia? Bibirnya diam saja. Tapi aku sangat yakin pikirannya berbicara banyak, mungkin lebih banyak dari lilitan gelombang transversal yang tak terlihat di ruangan ini. Aku tahu. Karena matanya tak pernah diam.
“Saya!”  Neal mengacungkan tangan, dia memang paling aktif di kelas ini. Bahkan populer di kalangan para gadis di kampus ini.
Silence is Gold (diam itu emas)” jawabnya di iringi yey-ria dari murid yang lain. Sementara matanya mengerjap berbinar seiring dengan bibirnya yang tersenyum (sangat) tipis.
yes. That’s right, Is there anyone wanna give another proverbs? (ya, betul. Ada lagi  yang mau memberikan contoh pribahasa lain?)” tanyaku lagi. Serentak beberapa murid lainnya mengacungkan tangan, kecuali dia tentunya. Selalu begitu. Dan pelajaran kembali mengalir seperti biasanya.
Well. I hope next meeting all of you can speak up..Ok?” kataku menekankan kalimat terakhir sebelum menutup kelasku. Matanya berputar keatas dan menjadi sayu, di menghela nafas. Mungkin dia sedikit sadar bahwa ‘you’ yang ku maksud lebih mengarah kepadanya.
***
12 November 2003
Kalau kau mau tahu, matanya benar-benar seperti mata kucing yang pupilnya akan menajam jika merasa terancam, membulat ketika manja, atau bahkan ‘bersinar’ dalam gelap . Sejauh ini, mata kucing itulah yang membuatnya terlihat mencolok. Sisanya aku tak tahu, mendengar sepatah kata darinya pun amat jarang.
Dan hari ini aku melihat matanya begitu awas, bola mata coklatnya melirik kesana-kemari, sesekali mata itu menatap  jarum jam tangannya lalu alisnya mengerut dan mata itu ikut mengerut kesal.  Aku tahu, dia sedang menunggu seseorang. Niatnya, aku tetap akan terduduk di kursi dan memerhatikannya melalui  proyektor  jendela ini, seperti biasanya. Tapi kali ini semuanya akan berbeda. Aku keluar ruangan ku menghirup sedikit udara yang lebih segar dibandingkan AC, menghampirinya dan menatap langsung mata yang mecolok itu.
Dia balik menatapku, tanpa ragu, angkuh sekali... sedetik kemudian matanya menyipit dan menjadi lengkungan sempurna seiringan dengan lengkungan bibirnya. Dia tersenyum sempurna.
“Ada apa pak?”  sapanya dengan santun. Aku tak tau kalau suaranya pun ternyata mencolok? Ah! Mungkin lain kali kalian akan ku beri tahu.
“Tidak ada apa-apa. Sedang menunggu siapa?” Aku melihat mata kucingnya menerawang jalanan taman kampus ini, mungkin masih berharap menemukan sosok yang ditunggunya.
“Teman” kali ini mata kucingnya berbinar, sama seperti matanya ketika sedang memerhatikan pelajaranku.
Mungkin itulah yang membuatku menganggapnya sebagai seorang yang mencolok, binar matanya ketika memerhatikan pelajaranku sangat terlihat jelas. Seolah tak ingin terlewat satu kata pun dari pelajaranku, seolah dia akan berbicara banyak. Namun selalu nihil. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Tapi matanya selalu mengerjap, menajam, membulat, mewakili mulutnya yang terkunci rapat.
“hm...kau dari kelas 3.2 kan?” aku (pura-pura) baru saja mengingatnya
“ya pak..” kali ini dia mengangguk, matanya membulat dan masih berbinar
“ya..ya.. jarang sekali terlihat aktif dikelas ya?  Jadinya lupa-lupa ingat...” Gurauku sedikit dusta, mungkin seharusnya aku bilang ‘ingat-ingat lupa’  karena lebih banyak ingatnya dari pada lupanya. Dia menoleh menatapku langsung, tersenyum tipis lagi seperti biasanya, lalu bola mata coklatnya agak meredup. Kenapa?
“aih! Dyla, maaf telat... eh?? Pak Adrian..? Siang pak..hehe”  gadis itu membungkuk  hormat padaku.
“oh... jadi ini yang ditunggu-tunggu...” kataku akrab. Lina, gadis yang hormat padaku tadi menanggapiku dengan candaannya (dan lagi) seperti biasanya.
“lain kali jangan pakai jam karet ya! Kasihan temanmu menunggu...bisa karatan...tuh hehe ya sudah ya..” kataku bercanda sambil lalu. Terakhir kali, kulihat mata kucing itu menatap kosong kearahku.
***
13 Maret 2004
Sampai saat ini,  putaran kegiatan di kampus masih saja seperti biasanya. Aku masih mengajar sebagai asisten dosen (sambil berharap bisa naik jabatan), murid-muridku masih mengeluh jika di beri tugas makalah, dan sebagian murid lain masih liar kesana-kemari menjadi aktifis di berbagai macam tempat. Satu-satunya yang menurutku tidak selalu ‘seperti biasanya’ ya mata kucingnya itu. Mata yang selalu melihat ke arah langit jika hujan turun, mata yang akan menggerling senang ketika sedang berbincang dengan teman-temannya, dan mata yang selalu menatap angkuh kepada siapapun yang menyinggungnya. Mata yang ramah dan bisa berubah menakutkan.
Dan pagi ini aku menyesal karena selalu memaksanya berbicara di pelajaranku. Kali ini dia mulai berdiri dan menunjukan dirinya, berbicara panjang lebar untuk pertama kalinya, bahkan ia ikut beradu argumen di kelasnya. Dan lihatlah... mata kucing itu lebih mencolok dari biasanya, matanya seolah tersenyum puas karena bisa mentransfer kata-kata ke mulutnya.  Aku menyesal. Dengan begini semua orang tahu tentang pesona matanya. Matanya telah menghipnotis mata-mata lainnya untuk saling berinteraksi.Tidak lagi hanya aku yang tahu tentang mata kucingnya yang tersembunyi di antara puluhan orang yang ramai. Kali ini semua orang terfokus pada matanya yang ‘mencolok tapi memesona’ itu. Aku menyesal.
Dan belakangan...aku baru tahu, mata kucingnya itu manjadi kamuflase metamorganaku saja. Menyedihkan.