//Liburan//
Lagi – lagi aku ditarik kedalam atmosfer
kehidupannya. Hasa mengajakku untuk menghadiri pernikahan Rasha, sahabatnya di
daerah pantai selatan. “Sekalian liburan ya” ujarnya semangat.
Dan akibatnya,
kini aku sedang duduk satu mobil dengan Enam kawan Hasa Lainnya; Noa, Kiki dan
pacarnya,Tata, juga kakak beradik Angga dan Purno. Mereka kawan Hasa yang lainya. Kawan Hasa sangat banyak dan beragam, tapi
Rasha dan Noa adalah yang paling sering dia ceritakan.
Seperti saat bertemu dengankawan
Hasa di kafetaria, disini pun aku lebih banyak diam dan menyimak perbicangan
mereka yang dimulai dari rencana usil untuk mengganggu akad Rasha hingga
mengomentari mobil yang berjalan lamban di depan kita.
“Eh, sialan, jalan lamban malah
ditengah” Hasa menggerutu sambil gemas memegang kendali setir mobilnya. Kawan
yang lainnya memanasi.
“Salip aja bang! Pepet terus! haha”
“Serempet aja dikit lah, biar kaget,
kebiasaan sih!”
“Berasa jalan punya ibunya tuh”
Oh begini ya, jika laki-laki dengan laki-laki lainnya sedang bergaul. Batinku tertawa melihat tingkah
kekanakan mereka. Mereka terus silih mengomentari hal random selama perjalanan,
hingga dititik jalan yang lebih berkelok. Masing masing dari mereka mulai
bungkam. Sebagian mulai bosan dan tertidur, sebagian yang lainnya sedang fokus
mengendalikan lambungnya yang terkocok hebat ; berusaha membujuk isi lambung
agak tidak keluar sebagai muntahan. Tentu saja demi menjaga gengsi.
Sesampainya di tempat pernikahan,
semua langsung meregangkan badan lalu mencari tempat berganti baju dan
berdandan. Aku dan Hasa yang sudah memakai baju couple sejak keberanngkatan, menunggu dengan santai, meski baju
kami sendiri lebih kusut masai.
Aku melirik pacar Kiki yang juga
ikut rombongan kami. Dia tidak banyak bicara denganku karena lebih sering
berada di samping Kiki. Sulit bisa mengobrol, padahal dia satu satunya teman
perempuan yang ikut di perjalanan ini. Pacar Kiki mulai mengoles make up nya dengan terampil. Dari
mengolesi foundation, bedak, eyes shadow berwarna merah muda,
kemudian menggurat eye liner dan mascara hingga lipstick di bibirnya. Aku
iri. Dalam bayanganku, jika aku berjalan dengannya aku bisa terlihat seperti
cumi. Tapi aku tak pernah bisa berdandan dan tak punya make up kit semacam itu.
“Hei, aku mau ke toilet ya” uajrku pada Hasa yang akhirnya ikut mengekor.
“Mungkin perlu di bedak lagi dan
pakai sedikit liptik biar gak pucat” ujarku melihat bayangan di cermin mini
milikku.
Setelah urusan hajat keciluk
selesai, aku berusaha memperbaiki riasanku yang sejak awal memang super minim.
Aku mengoleskan bedak dan tiba-tiba Hasa mengetuk pintu.
“Aley, sudah!?”
Karena kaget, aku terhentak menabrak
keran yang kemudian langsung patah, airnya membasahi sebagian wajah dan
jilbabku.
“Sial. Sepertinya aku memang tidak
diizinkan berdandan”
Aku keluar dengan posisi yang lebih
berantakan.
“Ayoo” Ajak Hasa tak peduli.
Di belakang mobil akhirnya aku
membenarkan bedakku dan jilbabku yang kusut disana sini.
“Aleya mana?”
“eh tadi dibelakangku”
Sayup-sayup ku dengan percakapan Hasa
dengan temannya, Hasa mencariku ke belakang mobil. Aku sedang memasangkan jarum
di kepalaku demi mematenkan jilbabku. Meliatku Hasa justru tertawa.
“Haha sedang apa? Pakai jarum
warna-warni?” ledeknya, teman di belakangnya tertawa.
“Biar ada aksesoris berwarna ya di
kepala” Hasa mulai membully ku lagi.
Menyebalkan.
Terserah sih kalau kau tak malu membawaku yang berantakan. Rutukku dalam hati. Padahal
pikiranku sederhana, aku cuma ingin terlihat lebih cantik dan cocok saja jika
berjalan dengannya.
“Kau ini seperti Ibuku, Ley. Mau
bagaimanapun juga lebih baik tidak usah berdandan.” Gumam Hasa pelan
padaku. Entah itu pujian atau bukan,
tapi saat ini kalimat itu terdengar mengesalkan. Aku terdiam sejenak, menarik
nafas dan menghembuskannya dalam dalam.
“Ayo cepat”
Tau tau Hasa sudah ada di depan danbergegas
menuju pesta. Dia tak sabar melihat Rasha mungucapkan akad dan duduk di
pelaminan.
***
Selama akad berlangsung, Hasa
berdiri di jajaran paling depan merekam dengan cermat setiap detik mommen yang
berlangsung. Aku memperhatikannya dari belakang. Usai akad, dia langsung
berhambur menarikku ke meja prasmanan. Seperti biasa, dia akan memintaku untuk
bergiliran membawa satu2 kudapan yang ada di berbagai stand.
“Habis ini langsung pulang nih?”
Tanya Angga sambil memegang bahunya yang ngilu karena terjatuh saat upacara saweran.
“jalan-jalan dong bro” Noa menimpali.
“Ke gudang seafood dulu ya! Aku ingin beli lobster” sahut Hasa sambil
menatapku. Ternyata dia ingat, janjinya untuk memenuhi rasa penasaranku soal
lobster. Pasalnya aku belum pernah sekalipun mencicipinya. Aku mulai tersenyum
cerah. Moodku bisa dibalikan oleh lobster seketika.
“Sekalian mantai nih?” Tanya yang
lainnya.
“Ah ribet mandi di pantai,”
“Gimana kalau kita ke Lubuk indah?
Kudengar tempatnya bagus” usulan Hasa lagi-lagi membuatku tersenyum. Lubuk
indah adalah salah satu destinasi wisata yang akan kita kunjungi bersama.
“Boleh” yang lain setuju begitu saja
tanpa perlu paham situasi dan lokasi.
***
Aku, Hasa dan Purno berjalan paling
belakang, yang lainnya sudah jauh menapaki jalan terjal menuju Lubuk indah.
Purno membopong Hasa yang teramat kewalahan.
“Aaaah... Sialan…. Kondisi….
Badanku… buruk sekali! Untung… saja… aku tak jadi…. Datang…. berdua dengan Aley
kesini, bisa….. tumbang…. dijalan kita!” rutuk Hasa dengan nafas terputus –
putus, sementara aku fokus mengatur nafasku sendiri. Bukan hal yang mudah
memang, berjalan ketengah lembah terjal dengan mengenakan gaun pesta dan sepatu
high-heels. Aku berani bertaruh, usia
sepatuku semakin pendek gara-gara ini.
“Haha serius kau berniat datang
berdua saja?” Parno tertawa.
Aku mulai khawatir dengan high-heels yang kukenakan. Akhirnya aku
melepaskannya, kupikir berjalan dengan kaki telanjang lebih aman.
“Kenapa di lepas ley?” Hasa ternyata
masih memerhatikan tingkahku.
“Biar lebih mudah, lagi pula takut
cepat rusak”
“Serius? Batu-batu disekitar sini
tajam loh” Parno memperingatkan. Kurasa dia yang paling tahu medan diantara
semuanya.
Baru tiga langkah aku berjalan,
kakiku sudah ngilu tergores beberapa batu runcing.
“Iya benar, tajam” sahutku memakai heels lagi.
Kalau tidak ada hasa dan kawannya,
mungkin aku sudah mengikatkan terusan gaunku agar lebih pendek dan tidak
menghambat jalanku. Sayang sekali, aku masih berusaha tetap terlihat layaknya
seorang lady.
“Padahal dulu, sewaktu summer camp aku kuat mendaki gunung.
Bahkan membawa Nia dan temannya yang manjanya minta ampun. Lah sekarang aku sendiri kerepotan!” gerutu
Hasa.
Sambil mendengarkannya aku hanya
memutar bola mata. Yayaya Nia yang
beruntung. Aku bahkan tak pernah bisa mendapatkan sisi Hasa yang segagah
itu.
“Beruntung kau tidak manja Ley,
kalau manja repot lah aku!” sambungnya lagi masih belum selesai mengoceh.
Kalimat itu tak terlalu asing ditelingaku. Di setiap kegiatan out door atau kegiatan relawan semasa
sekolah, kalimat itu selalu disematkan padaku. Aleya yang tidak manja.
“haaah.” Aku membuang nafas panjang.
“mau istirahat dulu?” Tanya Hasa
padaku.
“ya, boleh” aku langsung menyimpan pantatku di belukar
yang terasa seperti permadani.
Lima menit kami menjeda diri masing
masing untuk beristirahat. Lalu kembali melanjutkan perjalanan dengan nafas
yang sedikit lebih tersambung.
“Gilaaa, bagusnyaaa!” seru Hasa
ketika sampai di Lubuk bagus. Semua mata terkesima dengan keindahan pemandangan
tempat itu. Dua tebing yang tinggi, kokoh berdiri membatasi sebuah sumber air
yang jernih, di tengah sumber air itu, ada sejalur batu-batu yang seolah
berbaris menyusun jalur setapak. Melalui batu batu itu, air mengalir menjadi
semacam air terjun kecil yang merdu.
Para laki – laki, kecuali Noa,
sontak melepas atasan mereka dan menyerbu sumber air itu.
“Waktunya
guyaaang !!” seru mereka.
“Kau tak boleh berenang Aley! Tunggu
saja di pinggiran, oke!” perintah Hasa semaunya. Padahal aku sendiri memang tak
ada rencana untuk itu. Sebab
bagaimanapun juga terlalu banyak laki – laki disini. Seandanya mereka tak ada,
aku tak peduli mengenakan terusan gaun atau high heels pesta. Aku akan
langsung berenang disana.
Meski gemas karena harus menahan
diri, akhirnya aku tetap bermain air disekitaran air terjun kecil disana.
“Gak ikut renang kak?” aku mendapati
pacarnya Kiki ikut bermain air di tepian
batu, Dia menggeleng sambil tersenyum awkward kearahku.
“Takut ribet salinnya. hehe”
Ah iya benar juga. Kami, para wanita
mengambil lebih banyak waktu untuk berganti dan berdandan ketimbang laki-laki.
Bahaya kalau gara-gara itu kita pulang terlalu larut. Pasalnya di daerah ini
situasi jalannya benar-benar seperti hutan. Aku menatap kearah gerbang masuk yang
kecil di samping Lubuk. Setelah ini kita masih harus berjalan kali menanjak
untuk sampai ke tempat parkir mobil. Beruntung Hasa tidak menuruti perkataan
kawannya untuk memarkirkan mobil di sekitar pemukiman warga. Sebab jarak
pemukiman warga masih jauh berpuluh – puluh kilometer dari tempat ini. Skill mengendarai dan
navigasi wilayah Hasa membuat kita bisa berkendara masuk ke tengah lembah di
sekitar Lubuk indah. Aku kadang terkesima ketika melihatnya berkendara (yang
tentu saja sambil bercerita bangga menyombongkan segala pengalam jam terbang
berkendara).
***
Sesuai dugaan, kami harus
terengah-engah lagi kembali menuju
parkiran mobil. Kelelahan kami berlipat ganda sebab kali ini kita berjalan
menanjak. Hasa merutuk habis habisan,
diam diam aku tertawa lagi melihat tingkahnya. Sampai di tempat parkir,
matahari mulai terbenam. Hasa mengambil jeda panjang untuk mengisi energi
sebelum membawa mobil kembali melewati lembah. Dia yang tadi tergopoh-gopoh
kepayahan, kali ini mulai unjuk gigi taringnya.
“Serius nih bawa mobil ini kejalan
yang tadi lagi?” Noa bergumal.
“Hahaha, suruh pemilik mobilnya
ambil mobil kesini saja! Gak sanggup kita harus lewat lembah itu lagi. Mending pesen
grab saja” Canda Hasa masih mengambil nafas.
“Taunya grab nya juga gak
sanggup kesini, hahaha” yang lain mulai
tertawa perih dan khawatir.
“Let’s go,..Gasss!!” Sahut Hasa mulai
menyalakan mobilnya. Kami mulai berkomat kamit membaca doa keselamatan selama
berkendara. Kemudian Hasa membawa mobilnya melalui jalan sempit berlubang,
berkelok-kelok dan menanjuak juga menurun. Diantara teman-temannya, tak ada
satupun yang bisa mengendarai mobil melalui medan yang tidak biasa itu.
Melewati pemukiman warga, sebagian
dari kami mulai sedikit bernafas lega.
“Ganti pemain?”
Aku mulai khawatir dengan
kondisinya. Berarti kali ini dia sudah kelelahan.
“Oke, gue yang nyetir bro!”
Noa mengajukan diri. Aku berpindah posisi ke bangku tengah. Hasa dan Noa di
depan. Tapi belum sepuluh menit mobil berjalan, Noa sudah kepayahan. Mobil kami
stuck di sebuah tanjakan dengan posisi berhadapan dengan mobil lain,
sementara jalannya tidak cukup diewati dua mobil. Mobil nyaris tergelincir
mundur. Kami mulai panik. Akhirnya Hasa kembali mengambil alih. Dengan lihai
dia membawa mobil menanjak sambil melipir, mobil di hadapan kami menyelaraskan
irama kemudi dengan mundur perlahan. Akselerasi ini menyisakan sedikit demi
sedikit jeda untuk kedua mobil agar bisa saling melewati jalan yang pas pasan.
“Good job bro!” Kawan kawan
Hasa bernafas lega. Aku tersenyum bangga. Karena khawatir jika Noa yang
mengambil alih, akhirnya Hasa memutuskan untuk menyetir penuh saja. Matahari
sudah sepenuhnya tenggelam ketika kabut mulai turun, jarak pandang kami hanya
sebatas kaca jendela mobil. sisanya gelap. Tapi Hasa masih mengemudi dengan
tenang.
“Untung saja sudah lewat lembah,
matilah kita kalau kabut sudah turun dan kita masih di lembah, jurang-jurang
siap menganga, hahaha” Candaan Hasa justru membuatku merinding.
“ini juga belum sampe jalan raya, bro”
rupanya Kiki juga masih sama khawatirnya denganku.
“Tenang saja, disini jalannya bagus,”
ucap Hasa kalem. Aku menghela nafas lebih lega.
“percaya deh sama loe bro!”
ucap Noa sambil meminta sebatang rokok. Akhirnya yang lain pun ikut merekok,
termasuk Hasa. Aku bersiap membuka jendela untuk memasok udara. Hasa pernah
bilang, bagi para perokok, rokok itu sudah semacam obat penenang untuk
mengurangi stress. Mungkin saat ini mereka sedang mencari ketenangan dari
isapan-iasapan asap nikotin yang mengepul di mulunya.
Tanpa terasa, akhirnya
mobil ini sudah terpakir dirumah Hasa. Barulah Noa mengambil alih untuk
mengantarkan teman teman Hasa yang lainnya.
“Cape? Lapar? Hehe” Tanya
Hasa padaku. Aku tersenyum dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Dia lalu mengusap
kepalaku tanpa aba aba, lalu masuk kerumahnya. Itu sisi manis Hasa yang aku
suka, kadang sedikit tingkah sederhananya seolah menyampaikan banyak
perasaannya. “maaf ya, terima kasih
sudah menemani” setidaknya itu
kalimat yang tergambar dibenakku ketika dia mengusap kepala.
“Aku perlu plester, lecet”
sahutku pada Hasa. Sudah disini, aku sudah tak bisa menyembunyikan lagi ujung
kakiku yang mulai terkelupas disana sini sebab banyak menahan beban tumitku
yang ditinggikan oleh high heels
“Oh.. oke, mandi dulu
saja sana, nanti aku ambilkan”
Setelah itu Hasa
menghilang entah kemana. Berganti oleh Ibu Hasa yang menanyakan berita soal perjalanan kami. Aku mengobrol dan
menonton sebentar dengan Ibu Hasa, kemudian pergi membersihkan diri. Hasa baru
muncul setelahnya.
“darimana saja?” Tanya Ibu,
mendapati anaknya lenyap sejenak sejak tadi.
“beli plester, disini
tak ada adanya di warung kampung seberang”
Dia memberiku kantong
berisi berlembar-lembar plester.
“Terlalu banyak..”
gumamku, dia pikir aku korban kecelakaan apa? Padahal cuma lecet saja.
“Buat jaga-jaga, hehe.
Jangan dulu tidur. Kita makan dulu, biar aku buatkan nasi goreng.”
Aku tersenyum terharu.
Sementara dia lalu pergi membersihkan diri. Aku terduduk di sofa sambil
meninton televisi. Ibu Hasa pamit untuk tidur duluan setelah beberapa menit menceritakan
pengalaman perjalanannya ke daerah yang sama denganku dan Hasa.
“Makan yang banyak, terus istirahat
ya!”
Ucap Hasa menghidangkan nasi goreng
terenak yang pernah ada. Bagiku, ini adalah liburan yang unik dan menyenangkan, dari pernikahan, pantai, lubuk, jalanan terjal hingga hidangan penutup sebelum tidur. Aku menyadari, liburan ini bukan hanya soal perjalanan, tapi untukku liburan itu adalah Hasa. Tanpa Hasa, berjalan dengan orang asing, menempuh medan yang menakutkan tanpa bisa puas menikmati sebuah tempat wisata, atau bersusah payah melewati lembah dengan gaun pesta adalah hal yang kupikir akan sangat mengesalkan.Tapi dengan Hasa, semuanya terasa menyenangkan begitu saja.
0 komentar:
Posting Komentar