//Panglima Hasa//
“Kak, sudah berapa lama pacaran dengan Hasa?”
Tanya sahabat Hasa berbasa basi,
mungkin adakalanya mereka merasa canggung karena terlalu lama mengabaikanku.
Meski sebenarnya aku ikut menyimak, tanpa interupsi. Aku tak pandai menelusup
dalam sebuah pembicaraan kecuali memang jika dilibatkan langsung.
“Umm, setahunan”
Jawabku mengira-ngira. Hitungan itu
tak termasuk waktu hubungan saat ini, aku hanya menjawab sesuai pertanyaannya
soal pacaran. Jika soal kedekatanku dengan Hasa, mungkin waktunya lebih dari
setahun.
“Kuat ya dengan Hasa? Hahaha”
Kawannya mulai berusaha mengakrabkan
suasana.
“Yaaa… begitulah haha”
Hasa sendiri hanya melihatku
merespon kawan-kawannya tanpa ikut menggandrungi pembicaraan kami. Dia terlalu
membiarkanku mandiri di berbagai situasi baru yang dibawa olehnya.
“Kau tahu? Hasa itu matre, dia suka minta jajan sama mantan-mantannya
apalagi Risa”
Aku tak tahu temannya masih bercanda
atau memang penasaran dengan saraf reseptor emosiku. Laki-laki biasanya begitu,
menilai sampai mana seorang perempuan menahan emosinya.
“Riska, haha”
Aku mengoreksi nama mantan Hasa.
“Eh iya, Riska.. Oh? Sudah tahu ya?”
Aku mengangguk.
“Sudah hafal semua mantanku dia” Akhirnya Hasa buka suara menimpali.
“Tapi tetep Riska itu yang bikin dia
paling galau, haha”
Temannya Hasa bertingkah jahil. Dia gemas
ingin membuka soal diri Hasa yang dulu di hadapanku. Aku sendiri mungkin sudah
tahu, sebab cerita Hasa sudah hampir berjilid-jilid tersimpan di kotak
ingatanku.
Aku hanya tertawa menanggapi
komentar kawan Hasa.
“Haha, yang ini pendiam ya” dia
berbalik mengomentariku. Hasa tertawa.
“Ya.. biar ngga bikin pusing kan”
Simpul senyumku tertarik berbalik
arah. Dia selalu membuatku menduga kalau dipikirannya hanya perempuan pendiam
saja yang cocok menjadi pendamping karena bisa ‘dikendalikan’.
“Kau tahu? Dia ini temanku yang
paling sok diantara kita, sok tahu, sok gaul, sok bener.
Haha, aku masih ingat waktu dulu….”
Hasa mengalihkan cerita dengan
terampil, dia mulai menceritakan kekonyolan teman dekatnya itu, dari soal
kepengecutannya saat menghadapi perempuan, hingga tingkah gilanya yang pernah
terlibat aliran rock n roll. Habislah
temannya itu ditertawakan.
Aku sendiri sudah pernah tahu
sekilas cerita-cerita itu. Kali ini aku seperti sedang mengkonfirmasi kebenaran
setiap cerita kawan-kawan Hasa dihadapan mereka sendiri. Yang tak pernah aku tahu adalah cerita Hasa
versi kawan-kawannya.
Bagiku, Hasa seperti panglima
tersendiri diantara kawan-kawannya. Ia punya hirarki yang tak bisa dibantah
oleh kawannya, tapi Ia juga punya wibawa dan cinta yang bisa merangkul kawan
kawannya. Di setiap perbincangan mereka, Hasa selalu menjadi orang yang paling
hafal kisah kawan-kawannya seolah itu adalah hal yang paling berharga hingga
dia menyimpan rapi setiap kesan dan memori tentang kawan-kawannya. Aku selalu
terkesima dengan cara Hasa berkawan.
Dulu, ayahku pernah memberiku
satu-satunya petuah yang berhubungan dengan konteks menilai seorang laki-laki.
“Laki-laki
itu ahli berpura-pura di depan perempuan yang disukainya, tapi, sifat aslinya bisa
dikenal dari caranya memperlakukan Ibunya, keluarganya dan sahabat terdekatnya”
Diantara semua laki-laki yang pernah
mendekatiku, Hasa adalah yang paling kasar dan brutal. Dia satu-satunya yang
paling sering memarahiku, dia juga satu satunya yang dengan lantang menyebutku
bodoh, dia juga satu-satunya yang menyuruh ku ini itu semaunya, dia bahkan
satu-satunya yang terang – terangan membully
ku di setiap situasi.
“eh, Kak kenapa mau sama Hasa?” Rasha, kawan terdekat Hasa tiba tiba
menegurku.
Aku ingin sambil tertawa lalu
menjawabnya, kalau mungkin Hasa telah melakukan praktik guna - guna. Tapi aku
tak ahli bercanda.
“Um.. dia baik” komentarku secara umum.
“haha.. iya…. Iyaa… dia baik kok”
katanya tertawa sambil menyikut Hasa yang tak tahu apa – apa.
Aku tak yakin jika definisi “baik”yang
kumaksud sama dengan definisi “baik” yang Rasha pikirkan. Tapi Hasa sangat baik
dari caranya menunjukan kehangatan rasa sayang pada Ibunya, dari caranya peduli
dan memperhatikan keluarganya, dari caranya berbangga dan menjaga kedekatan
dengan kawannya dalam kondisi yang bagaimanapun.
Terlebih dari itu, Hasa sangat baik
sebab dia satu-satunya yang berani mengarahkanku dan egoku. Dia satu-satunya
yang cukup kuat mencari tahu tentang diriku, dia satu-satunya yang mau menyeretku
keluar dari zona nyamanku, dia satu-satunya yang mengingatkanku bahwa hidup di
dunia nyata itu berharga.
Tak seperti kebanyakan laki-laki yang mendekatiku, Hasa
mungkin tak selalu muluk-muluk memperlakukanku seperti Ratu. Tapi, lebih dari
itu, dia mengajariku bagaimana caranya menjadi seorang Ratu.
“Dia baik sekali” gumamku lagi.
“kenapa?” Rasha yang sedang asyik ditertawakan
Hasa, sedikit tergannggu dengan suara pelanku.
Aku menggeleng kepala menandakan
bahwa aku tak sedang bicara dengan siapa siapa. Tak berselang lama, Rasha
melihat jam di tangannya.
“Jam 10 bro, kemaleman ini, kasian tuh ibu-ibu” sahut Rasha menunjukku dan Regita.
“ahh, padahal mau langsung ngapel calon istri tuh” Isya masih
bercanda menanggapi, pasalnya Rasha memang akan melangsungkan pernikahan
beberapa hari lagi.
“haha nanti jangan lupa datang ya”
“siaaap, asal bisa nambah alas sih
gampang haha”
Sahut Hasa tertawa, ia mulai berdiri
menunjukan gesture untuk pembubaran, yang lain mulai memasang mantelnya dan
bersiap pergi. Akhirnya semua saling berpamitan.
Di perjalanan pulang, Hasa bercerita
dengan antusias soal Rasha dan calon pengantinnya.
“Nanti ikut ke nikahannya ya! Aku harus
lihat akadnya hahaa, mau ganggu dia ah!”
Lokasi pernikahan Rasha padahal
cukup jauh, tapi aku yakin Hasa akan berusaha keras agar bisa hadir menjadi
saksi akad mereka. Aku menyelipkan senyum bangga saat menyetujui untuk ikut
menemani ke pernikahan Rasha.
Sekali lagi, Hasa membagi perasan
baru, dia menularkan rasa bangga akan sahabatnya padaku. Aku menemukan makna konsep persahabatan yang unik diantara mereka,
persahabatan non-metafora.
0 komentar:
Posting Komentar