//Ruang Bicara di Kafetaria//
Sekalipun, aku tak pernah berfikir
bahwa aku akan berada dalam lingkaran kehidupan ini. Hasa benar-benar
menyeretku ke wilayah dunia yang benar-benar baru untukku.
Saat ini aku duduk berhadapan dengan tiga
orang pria asing yang baru saja dikenalkan Hasa, dan seorang lagi pria bernama
Rasha yang pernah kutemui sebelumnya, mereka semua kawan akrab Hasa.
Aku tak pernah tahu kawan dari mana, entah kawan seperjuangan kuliah, kawan
kenakalan di SMA atau kawan jalan yang selalu nongkrong bareng bersamanya. Hasa tidak sepertiku yang cenderung
mengkategorikan pertemanan, bagi dia, kawan ya kawan. Terlepas dimana dan kapan
mereka bertemu hingga menjadi dekat seperti saudara.
Hasa mengenalkan mereka satu per satu,
dan intuisi komunikasiku mulai bekerja memindai mereka. Aku berusaha mengingat
nama dan kesan pertamaku dengan mereka. Di tengah ke empat pria itu, berdiri
seorang perempuan yang sebaya denganku, dia menggandeng salah satu pria yang
dikenalkan Hasa dengan nama Isya. Ekspresi perempuan itu sama bingungnya
denganku. Aku menduga dia pun baru kali ini bertemu dengan tiga pria lainnya,
kecuali Hasa. Sebab dia terlihat tak canggung berbicara dengan Hasa.
“Loh kok? Beda lagi yang ‘dibawa’ nya?” celetuk seorang pria, yang
aku belum ingat betul namanya, entah Ega atau Eka.
Aku tersenyum, Itu candaan lama.
Hampir semua teman Hasa yang bertemu denganku selalu bercanda serupa. Aku sudah
tak heran lagi, dulunya Hasa memang punya riwayat sebagai seorang cassanova.
Ini bukan pertama kalinya aku diajak Hasa
mengikuti perkumpulan teman-temannya. Sebelumnya, Hasa pernah mengajakku untuk
menemaninya di acara reuni perkuliahannya. Ah, ralat, Hasa mengajakku untuk menemaninya datang ke acara reuni. Bagaimanapun juga, lima menit
kemudian, Hasa akrab berbincang dengan teman – temannya, sementara aku
ditinggalkan untuk bergaul dengan para istri teman-temannya yang membuatku
mati kutu dan akward sepenuhnya sebab
pembicaraan para istri ini seputar kehamilan dan perkembangan bayi. Aku tak
bisa mengikuti topik itu selain dari bertanya sesekali lalu menyimak lagi dan lagi. Setiap pertanyaanku kerap dijawab dengan akhiran kalimat “Nanti juga kerasa teh". Mendengarnya, aku hanya bisa tertawa frustasi di dalam hati.
Kembali ke saat ini, situasi reuni
dan saat ini nyaris jauh berbeda. Yang dihadapanku saat ini adalah kawan akrab
Hasa, mereka berbincang lebih luang dan bebas. Seperti halnya bicara dengan
kawan terdekat, di antara mereka tak ada jeda formalitas ataupun rasa segan yang menyekat.
Mereka mengingat masa-masa kebersamaanya, dan tetap Hasa yang selalu
mendominasi bercerita, mereka membahas kekonyolan mereka, menyerapah dan memaki
semaunya sambil tertawa, saling menggoda
dengan kenangan yang memalukan, hingga serius membicarakan masa depan.
Tiga definisi yang aku tangkap dari
situasi mereka, hangat, liar dan berisik.
“Hasa, tuh kaya primadonanya mereka
ya,? Keliatan banget dia kaya bos nya haha. Seru.” gumam Kak Regita padaku. Dia
juga ikut menyimak situasi, sama sepertiku.
“Sejak dulu dia selalu seperti itu
ya, Kak?” Aku balik bertanya, yang di
tanggapi dengan wajah heran.
“Eh, aku tidak tahu.”
“Kupikir kakak, sudah kenal Hasa,
haha”
“Tidak, aku baru kenal dengan semua,
tapi mungkin karena Hasa tipikal akrab, aku jadi gak segan dengannya, apalagi
mengomentarinya, haha”
Aku tersenyum bangga. Yah begitulah Hasa. Dia selalu bisa
menyesuaikan diri dengan siapa saja, sifatnya yang membuatku iri, cemburu
sekaligus bangga.
Sementara Hasa terus melanjutkan
cerita kenangan dan candaannya yang membuat kami semua puas tertawa, diam – diam
aku mengamati pengunjung sekitar kafetaria.
Tak sedikit yang mencuri – curi pandang kearah meja kami. Sebagian ikut
tertawa kecil, sebagian lain mendelik sinis setiap kali suara tawa terdengar
menggelegar dari meja kami. Ruang bicara di kafetaria itu seolah terdominasi di
satu meja yang ikut aku duduki.
Disudut sana, aku melihat bangku
yang terpojok diantara jendela dan tembok. Terletak agak jauh dari sinyal
kebisingan meja ini. Dulu, itu akan menjadi posisi favoritku di setiap
kafetaria manapun juga. Terduduk diam menikmati buku yang kubaca atau sekedar
mengerjakan tugas sambil bermain game online.
Aku bahkan tak mau peduli dengan meja meja yang bising dan mengganggu. Tapi
sekarang aku berada di meja yang tak pernah mau aku pedulikan itu. Rasanya
lucu.
“Aley, mana korekku?”
Hasa menyikutku, aku membuang nafas
panjang. Padahal sejak tadi aku berusaha meminimalisir asap rokok yang kuhirup.
Hasa dan kawan-kawannya sama sama perokok, dan sambil berbincang mereka bisa
menghabiskan banyak puntung rokok. Padahal dia bilang sudah bertekad hidup
sehat, tapi dia sendiri bahkan tak sebegitu tegas pada dirinya.
Aku mengangkat dagu menunjuk kearah
gelasku yang menghalangi korek Hasa. Sebelum mengambilnya, dia memasang
cengirannya dahulu padaku, seperti bocah yang meminta izin bermain pada sang
Ibu. Sejurus kemudian dia menyulut rokoknya dan lanjut bercerita.
Meja ini kembali riuh dengan gelak
tawa yang memenuhi ruang bicara kafetaria.
0 komentar:
Posting Komentar