Lain Laila, lain pula dengan Riska.
Ada banyak jajaran nama yang Hasa punya di dalam kubikal memorinya. Setiap nama
itu memiliki ruangan cerita masing-masing di kepala Hasa, yang menjadi pembeda
adalah besar atau kecilnya ruangan yang mereka punya.
Contohnya Laila, dia
punya ruangan yang luas dan kentara di dalam benak Hasa. Seberapa luas ruangan
itu, aku bisa mengukurnya dari seberapa sering frekuensi Hasa menyebutkan
namanya dalam setiap perbincangan, atau seberapa mudah ingatan Hasa menguar
dengan sedikit ‘pancingan’ memori. Semakin sering Hasa menyebut namanya dan
semakin mudah Hasa membahasnya ketika teringat cerita lama, maka semakin luas
kubikal ruangan yang dia punya di aula kenangan
Hasa.
Pengamatan dan pendengaran yang
intens membuat diriku mengkategorikan dan menyusun nama-nama itu secara
bertingkat, dalam daftar mantannya, Laila ada di tingkat pertama. Kemudian ada
Riska di tingkat kedua. Disusul dengan cha cha, lalu ada sartika, bela, dewi,
mira dan yang lainnya, yang kadang Hasa sendiri lupa dengan namanya, tapi dia
masih punya kenangan atasnya.
Riska itu, gadis yang punya hubungan terlama denganku. Tiga tahun, aku
bisa bersamanya. Dia sudah seperti jelmaan Karma dari Laila. Sifatnya,
perilakunya, hingga perawakannya jauh berlawanan dengan Laila. Tetapi, dia juga
pelajaran yang berharga buatku. Berpisah dengannya membuatku sempat kalut berbulan-bulan.
Aku menyimak Hasa yang mulai membuka
ceritanya. Perbincangan yang awalnya bermula dari psikologi, berakhir di cerita
Riska hanya karena dia adalah mahasiswi di jurusan psikologi.
Awalnya aku tak pernah ada niat apapun untuk mendekati Riska
“sama seperti Laila, bukan? tak ada
niat mendekatinya..” aku menginterupsi
Bedaaa Aleey! Kalau Laila, karena aku tidak kenal dengannya. Tapi aku
sudah kenal Riska sejak SMA, dan aku memang tak ada niat untuk berhubungan
dengannya saat itu.
Aku terdiam mengkoneksikan linimasa cerita
Hasa.
“Tunggu, waktu SMA? Bukannya sampai
Ujian Nasional kau baru jadi dengan Laila? Kalau kalian satu SMA berarti…”
Riska juga kenal Laila.. iya memang benar, dan bahkan Riska sangat
pencemburu jika ada pembahasan soal Laila. Dia menghapus segala macam pesan dan
foto di ponselku yang berhubungan dengan Laila… Ah.. Padahal ada fotoku dan
Laila yang bagus disana. Ketika perpisahan SMA.
Aku masih menilai Riska sebagai
wanita pencemburu pada umumnya, di tambah lagi, darah anak SMA jelas akan
membuatnya begitu emosional mengambil tindakan. Ditambah lagi, saingannya
adalah Laila. Aku menyimpulkannya sebagai sebuah kewajaran.
“oke, terus?”
Aku mulai dekat dengan Riska karena desakan lingkungan, karena kita
selalu bersama dan pada akhirnya akrab dengan sendirinya. Akhirnya kita
memutuskan untuk berpacaran. Aku saat itu sudah kuliah, dan dia masih SMA kelas
3.. Dia anak yang manja, penuh perhatian dan royal. Yah.. wajar saja dia putri
tunggal Raksa Perdana, pengusaha terkenal di kotaku. Meskipun begitu, dia punya
sisi yang amat sangat bergantung padaku. Awalnya dia nyaris sepertimu, tidak
mudah bergaul dengan siapapun. Dan itu membuatnya selalu menempel denganku.
Aku mulai menerawang Hasa di saat
SMA, seberapa berkharismanya dia bisa membuat gadis lugu hingga putri yang
manja sampai jatuh hati padanya. Aku berani bertaruh, dia tak pernah
mendapatkan pahitnya rasa penolakan dari gadis manapun sebelumnya. Termasuk
aku.
Saking manjanya, kemana mana Riska akan selalu mengikutiku. Tapi aku tak
pernah keberatan menolaknya, sebab hampir seluruh kebutuhanku dipenuhi oleh
Riska. Setelah lulus SMA Riska masuk universitas yang berbeda denganku. Tapi
setiap harinya dia selalu datang berkunjung ke kampusku. Coba kau bayangkan
Aley! Universitas dengan jarak yang lumayan jauh sengaja dia tempuh setiap hari
agar bisa bersama denganku! Dia bahkan tak peduli soal kuliahnya. Dia tak
banyak bergaul di universitasnya. Di satu sisi aku merasa sangat dibatasi, tapi
aku juga jadi khawatir karenanya, terlebih lagi orang tuanya menitipkannya
padaku.
“Orang tua?” tanyaku ragu. Selain
mengambil hati para gadis, Hasa juga bisa mengambil kepercayaan orang tua
mereka dengan mudah. Jika Hasa adalah unsur kimia, dia pasti merupakan senyawa
yang bisa mengadaptasi dirinya ke semua suhu,kondisi dan senyawa lainnya.
Yaaah, aku kenal dengan keluarganya. Dia juga kenal dengan keluargaku.
Lagi pula rumah kakaknya tak jauh dengan rumahku. Itu karena saking seringnya
bersama Riska, aku jadi sering berkunjung ke rumahnya. Hahaha, lama lama orang
tuanya pun dekat denganku. Meskipun papahnya Riska termasuk orang yang tegas
pada semua laki-laki, tapi dia mengizinkanku
dekat dengan anaknya.. dan cuma aku satu-satunya laki – laki yang diperbolehkan
untuk membonceng Riska selain keluarganya atau sopir pribadinya.Hahaha hebatkan
aku? Tapi Hubunganku dengan Riska selalu panas dengan perdebatan. Bahkan hal
kecil serupa makan siangpun bisa jadi bahan pertengkaran, hahaha.
Mengingat Riska, Hasa lebih banyak
tertawa daripada berekspresi yang menunjukan kekaguman. Darisana aku paham,
Laila adalah pesona dan Riska adalah tuahnya.
Di satu sisi, Riska itu amat sangat memusingkan, tapi di sisi lain
sikapnya juga sering memunculkan kerinduan. Hehehe. Meskipun amat sering
bertengkar, entah kenapa hubungan kita selalu tersambung lagi ke semula.
Lagipula, Riska sendiri selalu punya cara untuk membuatku mengabaikan perasaan
marah. Pernah suatu kali aku benar-benar marah padanya, kita benar- benar
bertengkar hebat karena komentar di social media atau apalah.. aku sendiri lupa.
Yang ku tahu, aku benar-benar kesal padanya. Dan.. yang kumaksud dengan
bertengkar itu, artinya benar-benar bertengkar Aley. Saling membentak dengan
emosi saling menyalahkan lalu pada akhirnya selalu berakhir dengan Riska yang
menangis. Tapi esoknya, Riska meminta
maaf padaku, dan dia memberiku hadiah sebagai permohonan maafnya. Kau tahu apa
hadiahnya Aley?
Aku menggeleng lalu menatap Hasa
dengan ekspresi bertanya. Sedangkan ekspresi HAsa sendiri terlihat begitu
antusias ingin menjawabnya.
Gitar Bass Ley!!! Sebuah Gitar Bass!! Gila nggak!? Aku yang waktu itu
aktif di band, tentu saja ingin gitar bass itu! Harganya mahal dan dia
membelikannya untukku!! Haha. Saat itu, aku benar-benar tak bisa menolak.
Kupikir apa ruginya kan??
“Lucky
you” gumamku dengan senyum terpaksakan. Aku tahu itu mommen yang
menyenangkan. Tapi aku merasa ada yang salah dari cara mereka berbaikan.
Tapi sekarang, kalau ingat… aku justru merasa di beli, haha. Tadinya
kupikir, Riska yang bergantung padaku, ternyata di sisi lain, dia juga sudah
membuatku terlalu bergantung padanya.. Makanya ketika dia pergi, aku seperti
kehilangan kendali diri. Pertama karena memang merasa kehilangan, Sisanya
merasa kecewa yang teramat sangat.
Hasa ikut-ikutan memaksakan tawanya.
Tanpa berkomentar apa-apa aku menunggu jeda Hasa yang agak lama untuk
melanjutkan ceritanya.
Salah satu yang disayangkan juga adalah orang tua Riska, mereka sudah
sangat percaya padaku. Dan aku pernah bilang, bahwa menjaga Riska sudah menjadi
tanggung jawabku. Hahaha keren bukan? Padahal waktu itu aku baru bocah yang
masuk kuliah. Tapi pikiranku soal Riska sudah sejauh itu. Dengan alas an itu,
akhirnya, aku bisa meyakinkan orang tua Riska untuk memindahkannya ke
universitasku. Orang tua Riska setuju begitu saja. Mereka percaya padaku dan Kau tahu? Belakangan aku merasa
sebenarnya keputusan bunuh diri.
“Kenapa bunuh diri?”
Tadinya, aku berencana, untuk mengenalkan Riska dengan lingkungan
kampus, membuatnya menjadi seorang pribadi yang lebih aktif dan sosialis. Dan
aku berhasil. Riska mulai punya banyak teman, dia mulai ikut banyak kegiatan
dan akhirnya, dia tak terlalu menempel dan bergantung padaku. Tentu saja aku
euphoria bisa nongkrong bareng lagi dengan kawan kawanku.
“Kalian lebih akur ketika dekat?”
Aku berasumsi, bahwa jarak lah yang
membuat Riska begitu insecure
sehingga Ia banyak mengikuti Hasa hingga sensitive terhadap hal kecil yang
berhubungan dengannya.
Hahaha. Tentu saja tidak Aley. Dia masih pencemburu, emosian,
kekanak-kanakan dan selalu menyulut pertengkaran. Tapi semakin lama aku
mengenalnya, aku mulai berfikir untuk menerima dirinya sepenuhnya. Mungkin dia
memang membutuhkanku, dan aku sebaliknya. Aku sempat berfikir untuk serius
dengannya.
Aku menahan nafas. Laila bisa menumbuhkan benih
cinta yang penuh kebahagiaan bagi Hasa dan Riska bisa menumbuhkan benih cinta
yang penuh pengertian bagi Hasa. Hatiku mulai menciut membandingkanku dengan
keduanya. Satu pertanyaan timbul-tenggelam dibenakku seraya turun-naiknya
kepercayaan diriku. Bagaimana bisa dia
memilihku?
Hei, Aley, jangan melamun! Aku belum selesai cerita.
“Haha, lanjutkan saja. Jadi kenapa
putus?”
Yaaah… sebenarnya, kalau kita bertengkar, ucapan putus selalu terucap di
mulutku, tapi kita tetap bertahan karena Riska selalu tidak bisa menerimanya.
Meskipun sebenarnya aku juga mungkin tidak mau putus juga..Tapi untuk kali yang
terakhir, mungkin awalnya Riska mulai jenuh padaku sebab aku saat itu jaran
merespon pesan – pesannya. Waktu itu aku sedang fokus menyelesaikan game survival haha. Dan urusan Riska, aku sudah memutuskan untuk serius. Sayangnya,
aku merasa terlalu damai bermain game! Tak ada protes dari Riska, tak ada omelan karena mengacuhkannya, bahkan tak
ada pertengkaran! Aku mulai merasa aneh.
Mungkin itu semacam perasaan bersalah atau takut kehilangan. Akhirnya aku
memutuskan untuk membuat sebuah kencan spesial untuk Riska. Otakku mulai merencanakan dari a hingga z soal
persiapannya. Puncaknya, aku ingin membuat masakan buatanku untuk Riska. Kau
tahu kan aku chef handal?
Aku hanya mengangguk, menyetujui
sisi narsistiknya.
Tapi ternyata, saat aku mengajak Riska bertemu, dia justru menghindar
dengan alasan sibuk kuliah. Perasaan khawatirku berubah jadi penasaran.
Akhirnya, kali ini aku yang merajuk dan menyulut pertengkaran. Dan seperti
biasa, aku mendeklarasikan kata ‘putus’ dengan mudahnya. Tapi respon Riska kali
ini berbeda, dia tak menangis atau balik marah. Dia mengiyakan pernyataanku
begitu saja. Aku rasanya dihantam tepat di ulu hati.
Karena curiga,akhirya aku mencari tahu, dan ternyata dia memang sudah
punya pacar. Seseorang yang satu organisasi dengannya. Duniaku mendadak
berantakan. Kau tahu? Aku yang membuatnya aktif bersosialisasi, tapi ternyata
yang sebenarnya kulakukan adalah membuat dia menemukan titik nyaman yang baru
selain aku. Aku kecewa sedalam dalamnya. Aku menyedihkan sekali saat itu,
bermalam-malam hanya bisa melamun memandang bulan, rasanya duniaku kosong. Aku
bahkan sempat berusaha mendekatinya lagi, karena khawatir aku masih
mengawasinya ketika dia keluar malam, tapi yang kudapatkan adalah pengusiran ‘jangan
dekati aku risih’ begitu kata Riska, aku merasa seperti kucing yang dibuang. Aku
menghubungi kakaknya dan ibunya, bercerita bahwa hubungan kita sudah selesai.
Mengetahui itu Riska malah semakin mendorongku menjauh darinya.
Perasaanku kembali bercampur aduk.
Ada banyak sisi yang bermunculan dari dalam diriku. Satu sisi, aku ingin
memeluk Hasa pada saat itu. Tapi di sisi lain, aku juga tahu, ini pelajaran
untuknya, yang dilakukannya pada Laila tak jauh beda dengan yang dilakukan
Riska padanya. Di sisi yang lainnya, lagi aku menyalahkan Hasa sebab dia
terlalu mudah mengatakan ‘putus’ begitu saja. Di sisi yang lainnya juga, aku
menyalahkan Riska karena tindakannya yang amat fatal dan mengesalkan :
menduakan perasaannya dari Hasa. Disisi yang terdalam, aku merasa kasihan pada
diriku sendiri sebab tak tahu sisi mana yang paling jujur dariku.
“Karma. Dulunya sih selalu memainkan
perasaan perempuan. Apalagi Laila”
Ucapan itu meluncur begitu saja, dan
Hasa tertawa lepas mengakuinya.
Hahaha iya Aley. Karma. Kau bela Laila nih?
Sontak aku menggelengkan kepala
secara intens dan cepat.
“Aku tak bela siapa siapa. Tapi
setidaknya itu pelajaran”
Iya, memang Aley. Pelajaran kalau watak emosian seseorang itu sulit
dirubah hahaha.
“Bukan itu!!!”
Iyaaa
Aleyaa sayang. Aku lanjut ceritanya ga nih? Jadi intinya setelah kekecewaan,
yang tersisa dariku itu kemarahan. Sejak saat itu harga diriku benar-benar
terluka, dan yang ingin kulakukan adalah melakukan hal yang sama untuk
perempuan lainnya. Sejak saat itu, aku sering mendekati perempuan, tapi tak
pernah benar-benar mau serius berhubungan dengannya. Aku hanya ingin menaikkan
harapan mereka lalu meninggalkannya.
“Kejam!!”
Tapi setidaknya aku membuat mereka bahagia Aleya.
“Tapi pura pura?”
Entahlah.. toh mereka menganggapnya nyata dan aku juga menikmatinya.
“Sosiopat!”
Aku merengut kesal, dimataku kali
ini banyak perempuan yang di pertaruhkan dan direndahkan. Tapi aku juga tak
ingin ada perempuan lain yang di istimewakan Hasa. Simalakama.
Tapi sekarang sudah berbeda, Aleya… aku tahu aku salah dan pasti aku
menyakiti mereka, but
life still goes on, right? Aku bisa
melanjutkan hidupku begitu pula mereka juga.
“Bagaimana kalau kau meninggalkan
trauma buat mereka” Aku paham seberapa dalam perasaan ditinggalkan bisa
membekas. Hasa sendiri yang mengajariku perasaan itu.
Kau pikir cuma mereka yang trauma Aley?
Aku bungkam. Belakangan, aku sadar rangkaian
bekas luka dalam diri kita bisa kembali menganga jika kita belum bisa
menerimanya. Lebih daripada itu, luka itu bisa menumbuhkan duri yang
justru melukai orang lainnya.
Tapi tenang saja Aley.. aku dan dia tidak berperang kok, mereka semua
baik-baik saja. Aku dan Riska juga masih berkomunikasi biasa.
Aku paham Hasa tak seburuk yang aku
duga. Tapi dia juga tak sebaik yang aku kira. Dia kombinasi dari kedua sisi
yang berbeda.
“Tunggu, masih komunikasi? Bagaimana
kalau dia masih berharap?”
Aku tahu komunikasi yang sewajarnya Aley, aku juga tak mau dia berharap
lagi.
“Hm iya.. jangan sering dibalas..”
gumamku pelan. Diam-diam Hasa mendengarnya lalu menyeringai tertawa.
0 komentar:
Posting Komentar