//Hari Raya
2//
Aku tiba di alun alun kota sekitar
pukul sembilan malam. Melalui segala macam kemacetan dan keriuhan di bus yang
sudah mengurangi banyak mood cerahku di pagi Hari.
Satu lagi, aku mengutuk
diriku sendiri sebab memilih masakan tumisan berbahan jamur tiram yang
cenderung akan layu dan basi lebih cepat dari biasanya. Misi membawa masakan
pun terancam di eliminasi.
Atas instruksi Hasa, aku harus
menunggunya di salah satu bangku dekat alun-alun kota, dia yang akan
menjemputku. Sambil menunggunya aku berusaha memastikan kondisi masakanku.
Masakan yang tadinya mengepul hangat di tempat makan kaca, kini sudah diingin.
Baru saja aku mau membuka tempat makan itu, Hasa sudah didepan membunyikan
klaskson, aku bergegas memasukannya lagi.
“Kita makan malam dulu ya…? Lapar
kan?”
Aku bahkan baru ingat belum makan
apa-apa selain mencomot dan mencicipi
masakan tadi pagi. Aku mengangguk kencang, baru sadar aku kelaparan.
Hasa menghentikan motornya di sebuah
warung bubur yang katanya paling enak di kota ini. Aku manut saja.
“Sebenarnya aku bawa masakan”
gumamku padanya,
“Tapi mungkin sudah basi, sebentar…”
Aku membawa tempat makanan itu dan masih sedikit berharap masakan itu tidak
basi. Bertahanlah, ini baru satu hari
Aku meyakinkan diriku bahwa masakan di warung nasi pun selalu bertahan satu
hari. Namun Nihil, rupa masakanku saja sudah berantakan kemana mana hasil
goncangan dan belokan sana-sini dari pergerakan bis yang kutumpangin. Aku
menutup tempat makan itu lagi.
“Jangan ah, nanti kamu mati. Makan
bubur saja”
Aku bercanda sambil menghela nafas
panjang.
“Sebenarnya aku mau sok pahlawan,
dan memakan masakanmu sambil bilang ‘enak’.
Tapi kondisi badanku sedang tidak bagus hari ini, aku takut benar-benar mati.
Nanti kau malah merasa bersalah”
Hasa membuat bercandaan yang lebih ahli.
Sambil menendang kakinya, aku tertawa lagi.
Hahaha, gagal lagi. Tawaku dalam Hati.
Sesampai di rumah Hasa, kami
langsung beristirahat. Ibu nya Hasa sudah tertidur lebih dahulu, tapi seperti
biasa beliau menyiapkan kasur di sebelahnya untukku tidur.
“Assalamualaikum bu” bisikku pelan
sebelum memejamkan mata.
***
Pagi harinya, seperti
sebelum-sebelumnya, aku memperhatikan rutinitas Ibunya Hasa. Dari berbelanja ke
pasar, mebangunkan anak-anaknya untuk solat subuh hingga mencuci baju. Hasa
sendiri, kembali bermimpi usai solat subuh. Ibunya Hasa hanya mendesah. “Haah,
lihat Hasa malah tidur lagi neng”
Aku tersenyum “ Iya bu.. tak apa..
hehe” aku juga suka begitu
tambahku dalam hati.
“Neng
Aleya kalau mau tidur lagi juga ga apa-apa, tidur saja, Ibu mah sudah lama tak terbiasa tidur lagi
setelah subuh”
Aku merasa isi hatiku terciduk tiba-tiba. Aku menggelengkan kepala, gengsi.
“Masak apa bu?”
Aku mengintip Ibunya Hasa dari balik pintu dapur, berharap
Ibu Hasa menyuruhku melakukan sesuatu.
“Membuat perkedel saja, sama tahu
bejek”
Sambil sibuk memasak, Ibu Hasa mulai
menceritakan kembali temannya yang jago memasak, juga soal kondisi putra
temannya itu. Ah ini dia, rutinitas
favorit.
“Em,, bu, ada yang bisa di bantu?”
Tanyaku saat Ibunya Hasa menjeda
cerita untuk mencipipi makanannya.
“Ah sudah gak apa-apa, neng Aleya nonton TV saja”
“Ah.. iya”
Pertanyaanku justru menjadi
bumerang, aku tersingkir ke ruang TV. Tak berapa lama, aku mendapati sosok Hasa
keluar kamar dan menggeliat.
“hehe” Dia hanya memasang cengiran
kudanya tak jelas, lalu melengos melewatiku ke kamar mandi.
Usai dengan urusannya di kamar
mandi, dia bergabung dengan ku di ruang tengah sambil menonton TV.
“Selamat Ulang tahun ya”
Ucapku pelan sambil menyodorkan
bungkusan kecil. Aku terdengar sangat standar dan biasa ketika mengucapkannya.
Tak ada kesan yang ditekankan. Aku hanya gugup sendirian.
“hehe..apa ini? Thank youuu yaaa”
Cengir Hasa basa basi, padal dia
sendiri yang selalu mengingatkan agar tidak lupa memberinya kado.
“Apa itu?”
Tanya Ibu Hasa mendapati anaknya
memengang bungkusan kecil
“Kado doong, kan ulang tahun”
“Aduh repot-repot neng Aleya”
“Ngga repot doong, kan emang
tugasnya pacar gitu Bu.. Makanya aku punya pacar itu biar ada yang kasih kado
tiap tahunnya, Yak an Aley?”
Ibu Hasa menggeplak sikut Hasa,
mewakili keinginanku.
Pacar apanya. Padahal kita tak punya nama yang resmi untuk hubungan ini.
“Eh sore ini main kerumah ka Renren
yaa” ajak Hasa, aku mengangguk saja mengikuti keinginan tuan yang ber-Hari
Raya.
Tapi, tak ada kesan yang bisa
kuciptakan untuk membuat Hari Raya Hasa menjadi berbeda. Tak ada jalan-jalan
berdua, tak ada kejutan romantis, tak ada perayaan istimewa. Selama seharian
ini aku dan Hasa menghabiskan waktu untu mendengarkan pengalaman Ibunya di
Tanah Suci. Dan justru akulah yang dibuat merasa senang karenanya.
***
Hari raya Hasa belum usai, tapi tiba-tiba Darso muncul
merusak suasana. Pesan-pesannya yang bertubi tubi begitu mengganggu sekaligus
mengingatkanku bahwa aku belum membuat Hasa bahagia, setidaknya aku tak ingin
merusak suasana hari kebesarannya. Aku berusaha mengabaikan pesan Darso, dan
dia mulai menjadikan dalih pekerjaan sebagai senjatanya.
Hasa merebut poselku, dengan gemas
dia membalas pesan Darso sebagai dirinya sendiri. Ini pertama kalinya mereka
berhadapan langsung di dunia Maya.
Wajahku mulai berubah kusut,
seharusnya Hasa tak perlu sampai menghacurkan mood hari perayaannya sendiri.
Perebatan mereka memuncak tanpa
henti, Darso berulah seperti netizen nyinyir yang bersikap sok dewasa, deangkan
Hasa sendiri membalasnya berapi-api penuh emosi, meskipun wajah aslinya justru
tak menampakkan sedikit pun emosi.
“Ketika masuk kerja, kau ada
kemungkinan di panggil Darso Aley, tak apa apa?”
Aku menahan eskpresiku sebisa
mungkin sejak tadi, tapi di hadapan hasa ekspresiku selalu lolos terlepas
begitu saja.
“Hei, kau nangis? Jangan nangis, ini
kan dirumah kak Renren, tar aku disangka ngapa-ngapain
kamu!”bisik Hasa bercanda.
Aku tidak menangis bodoh. Mataku hanya berkaca-kaca.
Aku kesal setengah mati dan Darso sudah pasti menjadi salah satu
penyebabnya. Hanya saja ketimbang soal urusan kelakuan Darso yang menyebalkan,
aku lebih kesal lagi sebab aku bukannya menjadikan hari ini lebih baik dan
menyenangkan, aku justru membuatnya biasa saja. Lebih buruk lagi, justru
diakhiri dengan Hasa yang terlibat perdebatan dengan orang konyol macam Darso.
“Really?!”
Gumamku geram pada diri sendiri.
Predikatku yang baik dalam merusak
suasana ternyata tak bisa terlepas begitu saja.
0 komentar:
Posting Komentar