//Lagu//
Siang ini, aku, Zahra dan Gamtina
sedang khidmat menelaah menu makanan di sebuah café ramen yang baru saja
buka. Tempat ini cukup sepi untuk sebuah café
yang sering di rekomendasikan bayak
orang.
Tapi bagiku, ini sebuah keuntungan. Suasana yang tenang dengan dekorasi monochrome dan suara musik pop berbahasa
inggris yang mengalun, membuat
masing-masing dari kami merasa dimanjakan dan dijadikan pelanggan eksklusif
saat ini. Jika sudah begini, kami sanggup berlama-lama menduduki café ini. Lagu yang terdengar kali ini
adalah sebuah lagu lawas westlife, flying without wings. Gamtina tiba-tiba tertawa.
“Kenapa? Ingat zaman SMA ya?
Hahaha” Zahra ikut tertawa. Tawa Gamtina
otomatis terkoneksi pada sebuah nostalgia yang kita bertiga tahu :
Saat itu sedang pentas seni sekolah,
ketika seorang pemuda dari kelas sebelah, tiba-tiba maju lalu mempersembahkan
sebuah lagu untuk Gamtina. Dia bernyanyi dengan khidmat sambil menatap Gamtina,
hingga di penghujung lagu. Dia menyusun sebuah skenario manis untuk menyatakan
kekagumannya pada Gamtina lewat kata kata berbahasa inggris. Sayang sekali, dia
lengah karena terlalu gugup. Atas permintaan Gamtina, aku dan Zahra sudah lebih
dulu menyembunyikannya. Dia agak kelabakan ketika sosok Gamtina lepas dari pandangannya.
“Hahaha, padahal dia manis” sahut
Zahra.
“Iya sih. Tapi aku malu”
“Tipe cowo seperti itu lebih cocok
untukmu, Ra” aku masih tertawa.
“No!
Tapi.. yah… aku memang suka sih di kasih lagu. Jadi ada kenangan tersendiri
gitu ketika dengarnya, hehe. Memangnya kalian tidak merasa begitu?”
“yaa.. suka sih, tapi ngga harus di
depan umum juga kali” serobot Gamtina. Aku hanya mengangguk saja.
Lagu yang diputar di café mulai sampai pada Reff nya. Dan Zahra ikut menyanyikannya
dengan gaya persis seperti si pemuda kelas sebelah, membuat Gamtina mendaratkan
sebuah cubitan di lengannya.
“Kalau lagu kenanganmu apa Lea?”
“Let it go..?” jawabku malah balik
bertanya.
“Itu mah lagu favoritmu!” Gamtina memasang wajah gemas.
“Lah kalian sendiri apa?”
“Marry
your daughter, Brian McKnight! Hahaha” Jawab Zahra semangat.
“Waktu itu aku sedang marah pada
Leo, gara – gara dia cuek. Malamnya dia telpon aku. Tapi karena sedang
marah, akunya jadi diam saja. Eh
tiba-tiba lewat telpon, dia nyanyi lagu itu sambil main gitar. Manis kan?”
Tanpa ditanya, Zahra mengeluarkan
kenangan soal lagu itu dengan sendirinya.
“Tapi kau sudah putus
dengannya” Tegas Gamtina, kali ini Zahra yang dibuat merengut olehnya.
“Yaa, tapi manis sih hehe”
“Kalau kau, Tina?”
“Yah, lagu kenanganku dan didi sih
lagu Jason Mraz, Lucky”
“hahaha, karena kalian sahabat sejak
kecil?”
“Yaa.. karena kita berdua suka lagu
itu juga sih”
“Hahaha, kita bertiga gak ada yang nasionalis yah.. lagu barat
semua pilihannya” komentarku mengalihkan pembicaraan. Tapi Zahra dan Gamtina
tetap menatapku lekat, jika ditelaah, mata mereka berbicara jelas menanyakan
jawaban giliranku.
“Gak punya girls”
“Bohong. Masa gak satupun cowok yang
pernah pe-de-ka-te pake lagu padamu?”
Zahra menelisik.
“Terlalu banyak Ra, sampe dia sendiri
ngga ingat kayanya.. aw!”
Jawaban Gamtina membuatku refleks
menendang tulang kering kakinya.
“Hasa? Dia ngga kirim-kirim lagu
gitu?”
“Hahaha memangnya zaman radio!”
“Jangan ngeles, Lea. Jawab aja
Zahra”
“Hm… pernah sih dia kirim lagu, tapi
aku tak tahu lagunya apa, dan belakangan aku tahu, yang nyanyinya bukan dia
tapi temannya. Jadi yah… gitu deh, there’s
no song represent him”
“Haha terlalu sulit digambarkan
lewat lagu?”
Tawa kita terjeda ketika seorang
pramusaji datang dengan makanan yang tadi di pesanan. Lalu kita mulai khidmat
dengan hidangan masing-masing. Suara lagu yang di putar si pemilik café kembali terdengar lebih jelas di telingaku.
Sambil mengunyah, perlahan ada ingatan yang ditarik keluar dari pikiranku.
Take me where I’ve never been.
“Jadi ini mau kemana?” teriakku
pada Hasa dari jok belakang motornya. Dia hanya mengedikkan bahu, selalu
begitu. Dia menghentikan motornya tepat disebuah warung kopi, yang ternyata
milik temannya.
“Belum pernah ke tempat seperti ini kan? Hehe. Sekalian ku kenalkan pada
temanku”
Di lain waktu aku bertanya lagi. “Kemana ini?” dia tetap konsisten
dengan diamnya yang membiarkanku menebak sendiri. Setelah sampai, dia baru
menjawab. “Ini rumah makan baso paling enak dikota, aku berani bertaruh kau tak
pernah main ke kota selama kuliah! Habis ini kita jalan-jalan ya Haha” Kalimatnya
menyebalkan memang, tpi dia memang benar, satu-satunya tempat di kota yang aku
tahu hanyalah perpustakaan..
“Aku selama kuliah, justru lebih sering mengunjungi banyak tempat
ketimbang masuk kelas”
“Dasar. Tukang mabal”
“Besok kita ke rumahku ya”
Help me on my feet again. Show me
that good things come to those who wait.
Ingatan lainnya muncul.
“Kuat ya Aley!” Dia mengacak acak
rambutku saat wajahku mulai merengut sebab kalut karena ulah Darso.
“Coba tanyakan padanya Aley! Jangan diam saja” ujarnya lagi
menyemangatiku. Tingkah kekanakan Darso berimbas pada pekerjaanku. Aku hanya
mengangguk mengikuti setiap instruksinya dengan layu.
“Kalau tidak, kita cari jalan lain Aley, berarti kau harus coba cari
pilihan pekerjaan lain, tenanglah kalau kita berusaha pasti ada jalannya.”
Tell me I’m not on my own. Tell me I
won’t be alone. Tell me what I’m feeling isn’t some mistake.
“Beritahu Kuro …Aley, baik baik ya perginya. Gak apa gak kembali juga. Kan
ada aku” Katanya saat kita membicarakan
Kuro sebab aku merindukannya.
“Haha, memangnya kau siapa?” aku tertawa menggodanya
“Masa depan mu lah haha” dia menjawab dengan enteng. Sedang aku justru
merasa wajahku memanas.
“Cerdik juga jawabannya ya!” ucapku sarkastik.
“Kau nya saja yang bodoh Aley haha”
Aku ingin menimpuknya dengan benda apa saja yang ada.
“Jadi sekarang, kalau ada apa –
apa bilangnya padaku. Kau kan nggak sendirian.Oke Aley? Kau boleh melampiaskan marahmu
padaku atau menumpahkan kesedihanmu padaku. Terserah, asal jangan diam. Kau
masih manusia Aley, wajar kalau perasaanmu bermacam-macam”
Baru kali ini dia bicara seserius itu dalam konteks yang agak panjang.
Aku terharu.
“haha. waw bijak sekali” sahutku menyeringai.
“emang aku bilang apa tadi?” dia
memasang wajah sok innocent
nya yang menyebalkan.
Cause if anyone can make me fall in
love. You can.
“Hahaha,rupanya kau sudah jatuh cinta padaku ya Aleya!” Aku melihat wajah Hasa yang tertawa jahil
sekaligus bangga sebab mendapatiku menyebutnya seorang yang manis.
Save me from myself. You can
And it’s you and no one else. If I
could wish upon tomorrow. Tonight will never end.
Aleya : Hei, aku rindu.
Pendek memang, tapi itu pertama kalinya aku bilan begitu pada seorang
laki – laki. Meskipun ingin, tapi aku benar-benar malu mengirimkan pesan itu.
Aku tak tahu sepanas apa wajahku jika harus mengatakannya langsung.
Hasa : hehe. Aku juga. Tak sabar bertemu denganmu besok!
Benar, malam ini rasanya panjang sekali.
If you asked me I will follow. But
for now I just pretend.
“Kau ini keras kepala ya Ley, kubilang katakan sesuai dengan yang
kukatakan. Kau harus tegas!”
Suara Hasa mulai meninggi gemas, ketika seseorang meremehkanku.
“Kau tau, Aley, apa yang kubilang dan kuminta untuk kau lakukan, itu
buat kebaikanmu juga”
Aku tahu, karena pada akhirnya aku selalu mengikuti apa yang
dikatakannya. Tapi untuk saat ini aku ingin mengikuti egoku dulu. Sebab pada waktunya,
semua perkataan Hasa akan menjadi mutlak buatku.
Cause if anyone can make me fall in
love. You can.
Lirik-lirik itu menelisik mengiringi
ingatan-ingatanku. Selesai kunyahan terakhir, tanpa sadar aku mulai mengikuti
lagu itu.
“Baby when you look at me tell me what do you
see? Are these the eyes of someone you could love….?”
Zahra nyaris tersedak, sedangkan
Gamtina menyeringai melihatku.
“Haha, kau bernyanyi Lea?”
“Cause everything that brought me
here~ Well now it all seems so clear~ Baby you’re the one that I’ve been
dreaming of~”
Aku meninggikan suaraku karena sudah
terlanjur. Zahra dan Gamtina mulai tertawa melihat tingkahku
“Cause If anyone can make me fall in
love….. you can”
Aku berhenti sementara lagu itu
masih mengalun jernih memancing memoriku.
“Hahaha, lagu siapa tuh Le?”
“David Archuleta”
“Kayaknya di hayati banget
nyanyinya, hahaha”
Aku menelungkupkan wajahku di kedua tanganku
yang terlipat diatas meja.
“Ketimbang Hasa yang memberiku lagi,
sepertinya malah aku yang ingin menyanyikan lagu ini untuknya”
Gelak tawa Zahra dan Gamtina semakin
menggelegar.
“Jangan, bisa mati dia kalau dengar
suaramu, hahaha”
“kau benar. Jangan sampai deh”
gumamku merinding.
Zarha mengusap kepalaku sementara
Gamtina menepuk lenganku.
“haha, senang deh, bisa melihat sisi
Lea yang seperti ini”
“seperti apa maksudmu?”
Aku mendongakkan kepalaku kearah
mereka dan melemparkan tatapan tajam dengan kening yang mengernyit. Lagi - lagi mereka hanya membalasnya dengan tawa
0 komentar:
Posting Komentar