//Hari Raya//
Perayaan,
tidak selalu harus identik dengan umbul umbul dan keramaian. Adakalanya kita
hanya perlu membubuhi sebuah kesan yang tak terlupakan. Begitulah keinginanku.
Sayang sekali, aku bukanlah tipikal orang yang selalu terlibat dalam euphoria
perayaan. Ketimbang membuat sebuah kejutan yang mengesankan, aku lebih pandai
merubah atmosfer sebuah kejutan menjadi hal yang konstan dan membosankan. I am good at ruining the mood. Aku punya predikat ahli dalam merusak suasana.
Tapi
kali ini muncul keinginan yang berbeda, aku juga ingin bisa menumbuhkan bibit
kebahagiaan yang mengesankan.
Drrrt..
drrrt. Ponselku bergetar tak lama setelah aku mengirimkan sebuah pesan.
Keterangan “online” yang tertera di bawah nama kontak, menunjukan bahwa dia
sedang siap siaga memegang ponselnya.
Hasa : [Lusa, kamu kesinii yaaaaa Aleey <3]
Aku
tak akan membantah demi perayaan berkesan di esok lusa yang menjadi hari
kebesarannya.
Aleya
: [ada request?]
Hasa
: [Cuma ingin kau kesini saja besok lusaaaaaa]
Hasa
: [Ah iya, tapi aku juga ingin makan
masakanmu]
Oke
baiklah. Aku bergegas mencari referensi di jejaring sosial.
“Leaa,
bagaimana menurutmu? Bagus tidak?” Sayup- sayup aku mendengar suara Ibu di
balik bilik ruang ganti. Sejenak aku menyimpan kembali ponselku lalu masuk ke
ruang ganti dengan cermin di segala sisi yang memproyeksikan bayangan tak
terhingga.
Esok
lusa adalah hari ketika Hasa tepat sudah 25 tahun muncul dari rahim ke
permukaan bumi, dan entah rencana kesengajan apa yang Tuhan ciptakan, Hari ini,
tepat Ibuku berusia 55 tahun. Hari
perayaan mereka berdua hanya rentang tiga hari.
Soal
ini Hasa pernah berujar dengan nada candaan “Ternyata Aley dicintai para domba Taurus ya hahaha” Dia merujuk pada zodiaknya dan
Ibuku.
Atau,
Hasa juga pernah berceloteh “Cocok! Berarti aku dan Ibumu bisa merayakan ulang
tahun bersama haha”
Aku
tersenyum simpul, entah kenapa, hal sederhana seperti ini justru membuatku
merasa punya harapan keterkaitan lebih dengan Hasa.
“Gimana
Lea?”
Ibu
mengkonfirmasi lagi soal busana pilihannya. Beliau memilih sebuah sweater putih gading yang di padankan
dengan rok katun berwarna caramel, dengan menggunakan flat shoes dengan model terbaru.
“cantik,
top deh, kelihatan sepuluh tahun lebih muda”
Jawabanku
membuat Ibu tertawa sipu.
“Ibu
ambil ini saja ya?”
Aku
mengangguk. Aku tak sanggup membuat kado yang manis dan romantis untuk Ibu.
Karenanya aku hanya “menculik” Ibu untuk berlibur seharian dari segala
kegiatannya yang padat. Tapi Ibu justru hanya meminta untuk dibelikan sweater saja. Meski pada akhirnya
berubah menjadi paket busana komplit hingga sepatu.
“Bagaimana
hadiah untuk Hasa? Sudah ada?”
Ibuku
tahu, Hasa juga berulang tahun di minggu yang sama. Aku menggelengkan kepala
“Sini,
bagaimana kalau ini? Dia bukannya suka pake jas ya? Tambah dasi biar lebih
keren”
Ibuku
seolah memancarkan sinar inspirasi. Aku langsung setuju dan memilihkan warna
yang bagus dan cocok untuknya. Sementara Ibu langsung beringsut pergi ke bagian
diskon buah buahan dan membiarkanku berusaha
memilih sendiri.
***
Pagi-pagi
sekali aku sudah kebingungan memilih baju. Sebersit penyesalan muncul sebab
hampir semua bajuku berada di asrama dan aku tak mau ringkih membawa baju di
ranselku. Setelah lama mencari, akhirnya
aku putuskan memakai pakaian kasual saja. Toh
Hasa juga mungkin tak akan terlalu memperhatikan, pikirku membela diri.
Misiku untuk terlihat cantik sudah otomatis terliminasi.
Usai
menyiapkan pakaian, aku mengecek kembali referensi makanan sederhana yang akan
kubawakan untuk Hasa. Aku tidak membuat kue, karena selain menghabiskan waktu
yang lama, Hasa juga tak terlalu suka
camilan yang manis-manis.
Aku
memilah resep-resep masakan yang tertera berasa seperti chef yang siap membuat
hidangan istimewa. Hanya saja, sambil menakar kemampuan memasakku, aku memilih
masakan yang lebih sederhana untuk dibuat. Pada akhirnya satu resep terpilih,
aku membuat masakan berbahan dasar jamur tiram dengan jagung dan telur puyuh,
lalu untuk bumbunya aku memilih rempah utama cabe hijau dan sedikit jahe.
Almarhum nenekku, sempat membuatkan masakan serupa versi sederhana sewaktu aku
kecil dan terkena flu, meski aku rasa yang kuingat hanya gurih dan hangat jahe,
tapi beliau sempat bilang masakan itu akan membuatku baikan. Kudengar Hasa juga
sedang flu, jadi menemukan resep itu dengan versi modifikasi, membuatku percaya
diri. This one is gonna be the best.
Aku
segera meluncur mencari si blue,
kendaraan pertamaku dalam segala mommen, pertama yang ku beli (meski tak
sepenuhnya uangku), pertama yang ku kendarai sendiri, pertama yang membuatku
kecelakaan, hingga kendaraan pertama yang pernah kubersihkan sendiri seumur
hidupku, pokoknya segala yang pertama.
“Ibu?
Si blue mana?”
“Blue?”
Aku
lupa, hanya aku dan kuro yang tahu soal sejarah panggilan blue itu.
“Motor”
“Oh..
tadi dipakai adikmu sebentar, entah mau kemana”
Aku
melirik jam dinding. Memastikan kalkulasi waktu yang tepat antara menunggu atau
pergi saja.
“Yasudah
deh, naik angkot saja, Ibu mau titip?
Aku mau ke pasar”
“Loh
tumbeen? Sesekali masak spesial buat Ibu kan haha”
“Jangan
kepasar, tadi tetangga bilang lagi ada yang ribut, demo angkot gitu.."
Aku
baru ingat, beberapa minggu ini, perubahan lajur angkutan umum di kotaku
membuat para supirnya kewalahan sedangkan para penumpang yang kebingungan
dengan lajur baru, lebih memilih menggunakan fasilitas angkutan berbasis
aplikasi online. Mau tak mau, banyak
supir yang mogok dan mengajukan demonstrasi.
Tadinya,
aku tak peduli. Tapi karena situasi mereka merantai hingga ke kesejahteraan
hidupku saat ini, mau tak mau aku ikutan mencibir kesal.
“Di
warung sayur sebelah saja belanjanya, pagi ini sepertinya belanja banyak mang pepen tuh”
Usul
Ibuku, merekomendasikan warung sayur langganannya. Dan ‘belanja banyak’ adalah
semacam kode bahwa di warung itu sedang ada bahan masakan yang lengkap. Kalau
Ibu bilang ‘sepi’ berarti segala bahan masakan di warung mang pepen sudah tinggal sisa.
Tanpa
ambil jeda aku langsung pergi ke warung yang direkomendasikan Ibu. Lalu berbelanja secepat kilat sebelum
tenggelam dalam lingkaran percakapan Ibu-Ibu di warung yang bisa menjebak
hingga berjam jam.
Matahari
mulai naik sepenggalan, lalu aku mulai memasak. Selain tumis jamur tiram, aku
juga memasak makanan lainnya untuk dihidangkan dirumah.
“Lah
kok itu dimasukan ke misting?” Adiku
protes, sebagian tumis jamur tiramnya aku pisahkan.
“Mau
kubawa untuk Hasa, hus.. sana jangan comot
comot, Ada perkedel sama tumisan
sawi tuh”
“Dih
aku mau itu dong!”
Tangannya
berusaha mengambil telur puyuh yang kujaga seolah permata berharga.
“Nih
sedikit saja” Aku menyendokkan tumisan itu pada adiku sebagian
“Dasar
pelit, kualat loh, makanan enaknya malah ngga dibagi” Dia mulai menyumpahi.
“hahaha
enak yaa? Baguslah” Sumpahnya tak masuk ke telingaku, justru celetukannya
membuat hidungku memanjang berbangga.
***
Menembus
dua kota, inilah mommen ke sekian kalinya aku akan berkunjung ke rumah Hasa.
Kali ini aku langsung berangkat dari rumahku. Perizinan dari Ayah dan Ibu,
bukan lagi hal yang sulit bagiku. Ayah bahkan bersikeras
mengantarkanku ke terminal bus, yang membuatku harus menunggunya
lebih lama karena ayah harus mengantarkan Ibu terlebih dahulu. Keputusannya
pakem bahwa hari itu aku harus diantar. Kurasa ini salah satu efek domino dari
keributan dan demonstrasi supir angkutan.
“Aku
pesan online saja yaah” aku merajuk, ingin segera meluncur.
“Tunggu
dulu. Kan Jaga-jaga kalau kak Lea salah naik bis” begitu katanya.
Padahal bis yang kutumpangi akan sama saja seperti bis biasanya.
Dan
aku menghabiskan waktu di perjalanan lebih lama dari yang kuduga.
0 komentar:
Posting Komentar