Gadis Porselen


            Jumat, 1 Juni 2012-- 02.03 PM
Aku masih ingat pertama kalinya mataku begitu tertarik menatap seseorang. Saat OSPEK (Orientasi Program Studi dan Pengenalan Kampus) sebuah kegiatan yang memiliki kesenangan tersendiri bagiku—sebagai senior— dan penyiksaan bagi para murid baru, Waktu itu kedua bola mataku dengan cerdasnya menangkap seseorang yang tidak begitu aktif, namun tidak juga pasif. Setiap gerak-geriknya, tingkah lakunya, caranya berbicara hingga caranya menatap para senior, entah kenapa secara otomatis terrekam oleh otak kecilku. Tapi tetap saja, aku masih punya harga diri untuk menyimpan rasa tertarikku itu. Sebelumnya, kupikir ketertarikan  ini hanya terjadi padaku, sayangnya tidak. Beberapa orang yang juga bermata jeli ternyata menyadari kehadirannya dan saling berbisik membicarakkannya, bahkan ada seorang temanku yang mendefinisikannya dengan satu kata : memesona. Saat itu aku tak meng-iya-kan pendapatnya, tapi aku juga tidak bisa  menyangkalnya.
Waktu itu mungkin sudah lima tahun yang lalu. Aku sudah mengenalnya sekarang bagaimana tidak, jalan hidupku sering kali bersimpangan dengannya. Mungkin ini karena aku memang sering mengikutinya (dan aku menolak dipanggil stalker) atau yang paling memungkinkan ialah bahwa ini memang jalan takdir yang sudah Allah tuliskan untukku (ya, dan aku lebih suka statement yang ini). Aku memanggilnya gadis porselen. Kau tahu kan boneka antik dari porselen yang menjadi khas orang eropa?  Yah seperti itulah dia. Sementara aku akan membeli sebuah boneka porselen, akan ku beri tahu kau tentang persamaan gadis itu dan boneka porselen.
Aku menyusuri jalan braga, sedikit merasakan sensasi kota-kota di negara eropa yang entah sedang musim apa disana sekarang ini, mungkin musim semi? musim dingin?  musim gugur? atau musim panas? Aku tak tahu. Tapi yang pasti sekarang sedang musim hujan di kota kembang ini, jadi tak aneh jika gerimis di jalan ini sedikit membuat cekikikan beberapa mahasiswi berubah menjadi rutukan-rutukan pelan, membuat sebagian pedangan koran sibuk menutupi koran-korannya dengan plastik, juga membuat para pedagang asongan bergeser tempat sekedar untuk berteduh dan menyelamatkan dagangan mereka dari kebasahan hujan. Sementara aku, no problem saja! toh gerimis ini tak akan mengahalangiku. Aku tetap menyusuri tempat-tempat penjual boneka, mencari boneka yang jarang ada di Indonesia. Bukan hal yang mudah memang, sudah hampir tiga tempat aku datangi, tapi tak ada tanda-tanda boneka porselen disana. Mungkin ini catatan pertamaku tentangnya dan boneka porselen, mereka sama-sama sulit dicari. Begitu Langka.
Matahari sudah mulai turun perlahan, tapi boneka itu masih tetap terasa langka, mungkin karena ini di Indonesia. Tapi, di penghujung jajaran pertokoan jalan braga, sebuah toko antik terlihat begitu mencolok dengan nuansa warna coklat dan kuning emas gaya dekorasinya khas Belanda, tempat ini sedah seperti situs peninggalan sejarah Belanda dulu.
Aku masuk. Nuansanya tempat ini memang agak kuno, tapi barang-barangnya tetap modern seperti boneka, pajangan, aksesoris ponsel, dan beberapa benda −yang sepertinya− hanya diketahui fungsinya oleh para perempuan.
“Ada boneka porselen pak?” aku bertanya pada seorang pria yang terlihat lebih tua dariku, dia tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya di belakang meja kasir “Oh.. ada kang, sebelah sini!”  setelah tersenyum ramah, ia membawaku kesebuah ruangan lain, lebih kecil dari tempat sebelumnya dan tempat ini tersekat sebuah rak boneka-boneka lembut umumnya. Catatan keduaku tentangnya dan boneka poreslen, sama-sama berada di tempat yang khusus.
Aku melihat boneka-boneka porselen yang berjajar rapi di tiga baris rak. Di rak pertama boneka porselen yang berbentuk binatang dijajarkan, ada angsa, merpati, lumba-lumba dan yang lainnya. Kata bapak penjaga toko tadi, hewan-hewan ini adalah simbol yang memiliki makna tertentu. Aku tak begitu mengerti penjelasannya yang secepat kilat. Di rak kedua kebanyakan boneka porselen ini seperti menggambarkan sebuah kisah, ada boneka yang sedang duduk berpasangan, ada boneka seorang gadis yang sedang menangis, ada boneka wanita tua yang sedang duduk di bangku taman,  ada juga boneka anak yang sedang membawa keranjang bunga. Mereka terlihat begitu nyata, tapi belum ada yang menarik perhatianku. Sampai di rak ketiga, kulihat jajaran boneka porselen gadis-gadis dengan berbagai macam gaya, pakaian dan ekspresi. Aku mulai memilih.
Satu persatu, aku tatap boneka-boneka itu seolah akan mewawancarai mereka. Mata mereka pun seperti berbicara padaku, saling menarik perhatianku meminta diajak pulang. Dan sepasang mata cokelat dari sebuah boneka porselen menarikku mundur.
Sabtu, 16 Desember 2006
Aku melihatnya sedang menoleh kesana kemari, seperti mencari sesuatu. Tapi ekspresinya masih saja tenang. Sesekali ia melihat jam tangannya, mungkin khawatir kesiangan. Aku memberanikan diri menghampirinya.
kamu jurusan kimia ya? Gedungnya di sebelah sana” percakapan pertamaku dengannya. Dia terdiam, menatapku agak tajam dengan bola mata coklatnya. Ck sombong sekali, aku kan seniornya, lagi pula aku hanya ingin membantu. Eh? tunggu, apa dia benar-benar sedang membutuhkan bantuan? Aku kalut sendiri melihat bola mata cokelatnya.
“Hm..ya..makasih ka afkar” dia tersenyum tipis sekali, menundukan kepalanya dengan hormat, lalu melenggang pergi. Begitu angkuh tapi anggun! Satu hal saja yang tertangkap otakku waktu itu : dia tahu namaku. Mungkin tadi dia menatapku tajam karena mengingat-ingat namaku, hanya itu alasan paling rasional −dan narsis− yang kumiliki. Ah sudahlah!
“sama-sama Lyan”  balasku pelan, masih mempertahankan harga diri. Dia sedikit menoleh, mengagguk lagi, (tak tahu apa maksud anggukannya) lalu berjalan lagi. Meskipun percakapan pertamaku dengannya tak begitu jelas, minimal aku bangga karena dia tahu namaku. Terang saja dia tahu, toh kau seniornya waktu OSPEK  Pernyataan sisi pikiranku yang lain itu, sedikit membuat kebanggaanku melempem lagi.
kang! mau yang ini?” bapak penjaga toko tadi memegang bahuku, mengembalikan arah waktu. Dia terlihat heran dengan tingkahku yang mematung begitu saja.
“ah! iya pak ....yang ini saja..” kataku menunjuk sebuah boneka porselen bermata cokelat dengan ukiran rambut yang agak ikal berwarna hitam legam. Kepalanya sedikit menoleh kearah kanan sambil tersenyum bahagia seolah baru saja melihat orang yang telah lama ia tunggu, badannya yang anggun berpakaian putih khas gadis eropa di zaman pertengahan dengan banyak renda di pinggiran lengan bajunya, sambil terduduk di batang pohon yang cokelat dengan anggunnya.
Bapak penjaga toko –yang namanya belum ku ketahui– itu mengambilnya perlahan menuju meja kasir. Ah iya! dan aku baru sadar semua boneka poreselen ini ada didalam kotak bening seperti kaca (meskipun sebenarnya itu adalah plastik mika) yang tertutup rapi dan terdapat pintu pembuka diatasnya, mungkin untuk mengeluarmasukkan bonekanya.
“kenapa dikurung di kotak kaca seperti ini pak?” tanyaku iseng
“bukan dikurung atuh kang, justru ini supaya bonekanya bersih.. gak cepat kena debu” jawabnya dengan logat sunda yang semakin terasa.
“hm....”
Selasa, 13 maret 2007
Sudah setahun dia berada di tempat ini. Dan hari ini, genap sudah delapan orang yang menyatakan perasaannya padamu secara terang-terangan (tidak tahu berapa banyak yang sembunyi-sembunyi), namun semuanya mendapatkan penolakan mentah yang lembut. Kau menolak mereka dengan tegas, tanpa ba-bi-bu ataupun tenggat waktu. Anehnya, kau masih menghargai usaha juga harga diri mereka, membuat sebagian orang semakin gigih mendekatimu, sebagian lain mulai menyerah. Bagaimana aku tahu?  jangan tanya. 
Temanku (yang juga mengagumimu) pernah bilang, Kau itu seperti benda dalam etalase yang terlihat jelas dan menarik perhatian, tapi tak boleh sembarangan di pegang. Ya! dan itulah catatan ketigaku tentangnya dan boneka porselen, sama-sama terlindung selubung kaca. Orang seperti apa yang bisa menembusnya? Belum ada jawaban akurat, apalagi yang terbukti secara ilmiah! Karena itu aku berniat menanyakannya langsung.
“Hei, Lyan...ini sudah kedelapan kalinya kau menolak orang”  satu waktu setelah rapat organisasi, aku berkesempatan untuk bertanya.
“Hn..ya..” jawabnya irit! mengesalkan sekaligus menggemaskan.
“Kau itu terlalu pilih-pilih” kataku spontan, dia hanya tersenyum.
“Harus!”
“memangnya yang seperti apa yang mau kau pilih?”
“yang siap menanggung resiko”
“hah? resiko apa?” dia diam tak menjawab, malah pura pura tak mendengar.
“jika resiko yang kau maksud itu sikapmu yang sombong, angkuh, cuek, mengesalkan juga sok pintar, maka akan ku tanggung.”  ku lihat dia menoleh kearahku, kmatanya membulat kaget, dan terdiam cukup lama, aku tersenyum penuh makna padanya.
Dia membalas senyumku dengan senyuman yang lebih manis dari sebelumnya! Wajahnya yang putih terlihat agak merah, tapi dia langsung melenggang pergi. Catatan keempat, sama-sama misterius!
Kang! melamun wae, ini bonekanya untuk hadiah bukan?” Bapak penjaga toko kembali menarik waktuku dengan pertanyaannya.
“eh..? iya pak.. untuk hadiah...”
“mau di bungkus atau pake pita?” katanya tersenyum padaku
“gratis biaya tambahan lah buat akang mah!” tambahnya lagi dengan senyum  yang semakin lebar.
“ah.. pakai pita saja, makasih pak” aku tak tega wajah boneka porselen itu terhalang kertas kado. Aku membalas senyum bapak itu, atas kebaikan penawarannya dan “usahanya” mengembalikanku dari kenangan manis.
Aku membiarkan mataku menjelajahi ruangan toko antik ini, tanganku pun sesekali iseng memegang benda-benda pajangan lain yang berada di rak, meski pada akhirnya tanganku kembali menyentuh boneka jelita itu. Si bapak penjaga toko sedang mengambil pita yang cocok untuk hiasan ditempel di kotak bening pelindung boneka porselen ini. Aku mengambil boneka porselen itu keluar dari kotaknya. Aku ingin membiarkannya mengenal udara segar juga agar dia bisa melihatku, calon pemiliknya dari dekat.
“Pitanya yang ini gimana kang?” Si bapak penjaga toko datang tiba-tiba di depan, membuatku kaget dan mengendurkan pegangan tanganku pada boneka porselen itu..
“aaaah!”
Jumat, 19 September 2009
“BRAKKK!”  tubuhnya tumbang nyaris membentur jajaran bangku depan jika tak segera ku tangkap. Semua panik.
Baru saja aku akan memberi ucapan selamat dan “hadiah” atas puncak harinya di tempat ini. Tapi yang kulihat kini adalah wajahnya yang pucat pasi tanpa senyuman, dan tangannya sedingin boneka porselen yang bertahun-tahun dibiarkan terselimut salju. Putih, dingin, kaku. Keluarganya bergegas menghampiri, meminta di tunjukkan rumah sakit terdekat. Baru kali ini aku bertemu keluarganya, dan kini aku satu mobil dengan mereka diantara kecepatan yang dipaksakan. Yang terpenting adalah rumah sakit! itu saja yang tercetak dibenakku, dan kurasa di benak keluarganya juga.
Sudah hampir sebelas jam dan dokter maupun perawat masih berlalu lalang di ruangannya, melakukan rangkaian pemeriksaan yang panjang tanpa memberi kabar apapun. Ibunya, memintaku juga sahabatnya (yang ikut menemani) untuk pulang saja, dan kami menolak.Aku menolak. Sampai aku mendapatkan informasi tentang “pengacau” hari wisudanya. Aku akan tetap disini.
Esok paginya, dokter baru memberikan kabar pada orang tuanya. Aku tak tahu kabar semacam apa itu, tapi aku yakin itu kabar buruk, kulihat Ibunya hanya menangis dan menangis setelah mendengar kabar itu. Setelah keluarganya keluar ruangan perawatan, akhirnya aku dan sahabatnya diizinkan untuk melihat keadannya.
Aku masuk. Bau tajam obat-obatan mulai menyerang indra pembau-ku, wajahnya yang putih pucat mulai senada dengan tembok-tembok rumah sakit yang juga dicat putih, belum lagi seprai kasur, sarung bantal dan selimut tipis berwarana putih semakin menyamarkan keberadaannya. Bola matanya saja yang masih coklat pekat dan –masih juga– berbinar, dia tersenyum, sahabatnya menangis.
“terima kasih” gumamnya sambil tersenyum menatapku, kalau saja bibirnya tidak sepucat kini, mungkin senyumnya itu sudah membuatku berbunga-bunga, bukan merasakan kepiluan yang teramat sangat. Aku hanya bisa membalas senyumnya.
Aku membuka mata dan kudapati boneka porselen itu selamat diantara kedua tanganku. Aku bernafas lega, Bapak penjaga toko pun ikut-ikutan bernafas lega.
“untung saja akang cekatan, kalau saja boneka itu jatuh pasti langsung pecah....” sementara aku berdiri dan mengembalikan boneka porselen itu ke kotaknya, aku mendengar bapak penjaga toko itu menjelaskan bahwa boneka porselen itu terbuat dari keramik kaca. Meskipun terlihat kokoh dan kuat sebenarnya akan mudah retak dan pecah jika terbentur sedikit saja.Rapuh. Makanya kotak mika ini juga tidak hanya melindunginya dari debu. Dan penjelasan itulah yang menjadi catatan kelima tentangnya dan boneka porselen.
“Ini untuk hadiah apa kang?” Bapak penjaga toko itu kembali tersenyum dan berbasa-basi untuk menenangkan rasa kagetku
“ulang tahun”
            Rabu, 1 Juni 2011
            Hari ini aku melihatnya begitu cantik. Rambutnya yang hitam begitu kontras dengan kulit putihnya, senyuman tipis khasnya tersemat rapi di bibirnya, bola mata cokelatnya masih saja berbinar. Baju terusan cokelat yang senada dengan matanya menambah kesan Anggun untuknya. Maka Catatan utama tentangnya dan boneka porselen, sama-sama cantik.
            Di acara reuni kampus ini, aku baru tahu kalau hari ini hari ulang tahunnya..
            “yah... aku gak bawa kado tuh” kataku pada Lyan
“tenang, masih ada tahun depan, aku tunggu hadiahnya he..he..” baru kali ini aku mendengar kalimat Lyan sepanjang itu, senyumanya pun lebih cerah. Entah memang karena dia sedang senang atau mungkin malah sedang menyembunyikan sesuatu.
Jumat, 1 Juni 2012—05.07PM
Gerimis mulai reda, dan matahari pun sudah mulai jatuh ke barat. Di perjalanan pulang, aku banyak bercerita dengan boneka porselen itu. Catatan-catatan tentang mereka berdua semakin banyak.  Kenangan-kenangan pun semakin banyak berdatangan. Tapi waktu tetap tak berkenan mengembalikan kesempatan. Aku pun hanya membawa boneka porselen itu berziarah. 

0 komentar: