Mozaik Sepuluh

//Sembuh (?)//



Perjanjian sekaligus hubungan Lea dan Hasa berakhir sudah. Tak ada lagi yang saling berkomitmen satu sama lainnya.

0 komentar:

Mozaik Sembilan

//Jatuh//




Aku selalu bilang pada Lea, bahwa suatu saat, dia harus jaruh cinta. Dengan begitu, dia akan mempelajari emosi terbesar dalam hidupnya. Tapi kurasa aku menyesali hal itu. emosi itu terlalu besar untuk Lea yang bahkan tak bisa mengenali emosinya sendiri.

0 komentar:

Mozaik Delapan

//Runtuh//



Tidak semuanya selalu akan berjalan baik-baik saja. Aku tahu, pada akhirnya akan seperti ini. Aleya, aku menjadi satu-satunya orang yang di permainkan Hasa.

Saat ini emosi Aleya begitu kacau balau. Jika sudah begini, aku yakin bahwa Aleya sudah menumpuk banyak emosi sebelumnya. 

"Hei, Kuro. does death feel better?" gumam Aleya, mata kosongnya berkaca kaca menatapku. Aku selalu benci sisi Lea yang seperti ini, dia bahkan tak menghargai kehidupannya sendiri. 

"Kau tau, aku paling benci kalau kau bertanya begitu"

"hahaha,  sayangnya aku lebih benci lagi pada diriku sendiri"
Lea tertawa sarkastik, padahal dia sedang menangis. Ekspresi yang menyebalkan. 

Seandainya saja Hasa tak berulah, mungkin Lea tak akan begini lagi. Sumpah! Kurasa kesalahan besar aku mendekatkan Lea pada Hasa. Aku tak memperhitungkan nya dengan cermat, kalau Hasa, jauh lebih cerdik dan picik dariku.

"hubungi Tana" perintahku pada Lea.

"dia sibuk" Lea bangkit dari posisinya, mencoba kembali mengerjakan pekerjaannya. Ini akan jadi hal yang buruk kalau Lea mengabaikan kemarahannya lagi.

"jangan kerjakan apapun! hubungi zahra! ya tuhan Lea! berhenti bertingkah seolah tidak ada apa apa! keluarkan saja emosimu!"
Kali ini justru aku yang mulai menangis membentak Lea. Semakin Lea menumpuk emosinya, semakin aku bisa merasakan rasa sakitnya.

Sejak tadi ponsel Lea tak berhenti berdering.

Hasa : [tadinya ini hanya main main saja. tapi aku kecewa]

Hasa : [bagaimana bisa kau seakrab itu dengan orang yang tak dikenal? kau memberi orang kesempatan!]

Hasa : [kau merasa senang jika banyak yang menyukaimu? aku kecewa]

"DIA PIKIR DIA YANG HARUS KECEWA? DIA SUDAH MERENDAHKAN LEA KU! DIA BAHKAN TIDAK MENGHARGAI PRIVASI LEA DENGAN MEMBOHONGI LEA! KENAPA DIA YANG MARAH?" 

Aku melempar ponsel yang dipegang Lea. Kemarahan Lea sudah sempurna berpindah kepadaku. Aku amat murka pada Hasa.

Pertama, karena dia menjadikan Lea bahan permainan. Bagaimana bisa dia memata-matai ponsel Lea hanya untuk taruhan dengan teman-temannya?

Kedua, karena dia membalikkan keadaan. Kali ini dia yang justru marah pada Lea hanya karena ada percakapan dari teman laki-laki Lea. Lalu dia meragukan Lea semaunya! Apa salahnya jika ada orang yang menyukai Lea hah? Lea bahkan tak pernah memikirkan siapapun kecuali dia! Seandainya dia mau, aku bisa saja membuatnya memilih orang yang lebih baik dari dia!

Jika sudah begini, hanya ada emosi putus asa yang tersisa pada diri Lea. Aku melihat matanya semakin gelap setelah menangis dan mengadu pada Zahra. Ini bukan hal yang baik.

"sudahlah, aku tak peduli" 
sahut Lea tenang (yang menurutku justru menakutkan). Seharusnya aku tak mengambil alih kemarahan Lea.
Seharusnya Lea marah saja.

Hasa : [kau kalau mau marah marah saja! meskipun aku kecewa, aku juga mau tahu]

Hasa masih mendesak Lea bicara rupanya. Aku ingin mengutuknya saja.


***

"hhh..aku tidak bisa marah padanya, Kuro. dia tak sepenuhnya salah"

Keesokan harinya, Lea sudah kembali seperti biasa. Tapi bagiku ini sesuatu yang tidak biasa.

"Tentu saja dia salah! kau cuma tak bisa membela diri, kau cenderung menyalahkan dirimu sendiri!"

Lea tersenyum padaku, dia mengelus kepalaku dengan lembut.

"iya kita berdua memang salah, tapi kita berdua sudah membicarakannya"

Pertengkaran mereka selalu berakhir begitu. Hasa selalu mencari masalah dengan Lea, dia memancing kemarahan Lea lalu dia meredamnya begitu saja. Hanya saja dia selalu meninggalkan rasa bersalah pada Lea.

Aku merasa Lea sudah terbiasa dengannya.

Tapi aku menduga itu bukan hal yang baik. Ada sesuatu yang salah pada Lea. Dibandingkan menghancurkan dinding pembatas yang ada pada dirinya, Lea justru sedang meruntuhkan dinding kepercayaan yang sudah dia miliki.

Seharusnya tak begini.

0 komentar:

Mozaik Tujuh

//Hadiah Kedua//

Aku terdiam memandangi si hati perunggu di lemari kaca Lea. Tak ada sapu tangan sakura lagi disana. Sejujurnya tak ada yang meminta Lea sampai seserius ini. Termasuk aku sendiri yang "mengakui" Hasa. Hanya saja...

"Itu yang namanya komitmen, Kuro"
Gumam Lea ketika memergokiku memandangi lemari kacanya.

"Kau serius Lea?"

"Terlambat untuk bertanya begitu, Kuro"

Lea selalu menjerumuskan dirinya sendiri hanya karena rasa ingin tahu. Aku tak suka sisi Lea yang seperti itu. Kali ini dia benar benar mengabaikan logikanya.

"Apa baiknya dia, Lea?"

Pertanyaan konyol. Bukankah aku sendiri yang lebih tahu soal Hasa dibandingkan Lea? 

"Emmm..dia cukup ramah dan pintar"

"Itu deskripsi umum! Apa yang membuatmu mau berkomitmen dengannya?"

"Kenapa kau baru menanyakannya sekarang? Bukankah sudah tak penting lagi memikirkannya?"

Lea melempar balik pertanyaan yang membuatku mati kutu. Skakmatt.
Lea benar, sudah hampir setahun dia berkomitmen dengan Hasa. Kenapa aku yang jadi ragu?

"Ta..pi.."

"Sudahlah, toh aku dan Hasa baik baik saja kan selama ini"

Kalimat Lea kali ini justru memicu sesuatu dalam diriku.

"Itu dia!!! Justru karena hubunganmu terlalu baik baik saja!! Bukankah hubunganmu yang sebelumnya pun sangat baik baik saja!?"

Lea terdiam. Aku tahu aku benar. Lea belum membuka dirinya. Bagiku jika Lea terlihat sangat baik baik saja, berarti itu adalah hal yang tak baik. Semoga saja aku salah!

"Hei Kuro, bulan depan Hasa ulang tahun"

"Terus? Apa kau akan memberi hadiah terakhir padanya seperti hubunganmu yang sebelumnya!?"

Aku panik sedangkan Lea malah tertawa.

"Bantu aku pilihkan hadiah lagi."
Lea tak menghiraukan rasa panikku.

****

Semalaman ini Lea sibuk dengan laptopnya untuk mencari referensi Hadiah ulang tahun. Dia menahan diri untuk tak bertanya pada Hasa soal hadiah yang diinginkannya. Kali ini dia berusaha menyiapkannya sendiri.

"Hei kuro, bagaimana menurutmu soal couple things ?" Tanya Lea di sela sela kesibukannya mencari referensi.

Aku menghampiri Lea yang sedang tengkurap menghadap laptopnya. Kulihat dia sedang memilih sesuatu di toko online.

Aku naik ke bahu lea dan merebahkan diriku di punggungnya untuk melihat lebih jelas tampilan di laptopnya. Kulihat dia sedang memilih jam tangan.

"Tunggu dulu.. kau mau membeli jam tangan couple!?" Aku memekik tepat di telinga Lea.

"Sshhh! Berisik. Hm.. kurasa dia suka jam tangan"

"Ck. Itu kau Lea! Kau yang suka jam tangan dan mengkoleksi jam hingga bangkai bangkainya"

"Dih! Aku tak suka koleksi jam tangan Kuro! Aku cuma suka memakainya. Kalau mati ya.. aku ganti"

"Ya, dan jam tanganmu yang sebelumnya sudah mati.. jadi sekarang kau ingin beli lagi.. dan supaya hemat, kau mau beli sekalian untuk hadiah Hasa?" 
Aku yakin analisisku benar.

"Supaya hemat? Haha entahlah. Tapi sudah kuduga ini bukan ide yang bagus."

Lea akhirnya menyerah. Dia memutar badannya dan memelukku.

"Mungkin memang harus ditanyakan saja, dia maunya dapat hadiah apa"

Lea lalu tertidur, tanpa menutup halaman gawainya. Sudah jadi kebiasaannya berlama lama di depan laptop lalu tertidur begitu saja.

Aku mengintip laptop Lea. Satu item sudah ada dalam daftar pembelian Lea. Bahkan sudah lunas dibayar.

"Kau serius membeli jam tangan couple!?" Gumamku kosong. Tentu saja Lea yang sudah pulas tak akan mendengarku.

Aku memandang Lea yang terpejam. Dia cantik. Tapi bukan itu masalahnya! Baru kali ini aku tak bisa tahu jalan pikirannya.

Apa dia sedang merencanakan sesuatu? Apa dia sedang taruhan dengan rasa penasaran? Atau dia sedang tak sadar kalau dia merasakan emosi yang baru? Jatuh cinta misalnya? Semua tingkahnya saat ini, terlulah seperti tingkah gegabah dimataku.

***

"Sudah kutanyakan, dan aku sudah beli hadiah sesuai yang dia inginkan"
Jawab Lea saat kutanya soal hadiah ulang tahun Hasa.

"Bukannya kau sudah membeli jam tangan?" Tanyaku sarkastik, aku melempar seringai pada Lea.

"Darimana kau...!? Ah iya, aku lupa matikan laptop lagi ya"

Aku semakin tajam menatap Lea, menyelidik alasan apa yang akan ia berikan.

"Iya, rencananya itu yang akan jadi hadiah, tapi kudengar laki laki tak begitu suka couple things. Memalukan. Lagipula kurasa memang menggelikan dan berlebihan. Jadi aku cancel aja" Suara canggung Lea membuatku begitu tersentak. Dia terlihat manis saat ini.

Tapi aku sudah terlalu kaget ketika Lea memutuskan membeli jam tangan sepasang. Kenapa sisi manisnya itu muncul selain didepanku!?

"Bukannya sudah kau bayar?" 
Entah kenapa aku merasa agak kesal saat ini.

"Ya. Untungnya masih bisa di cancel, dan dapat refund"

"Hei Lea. Dia itu tak cocok jadi suamimu loh!" Kali ini mulutku tak bisa di kontrol. Aku kesal sampai ubun ubun. Seharusnya Lea tak terlalu jauh terlibat dengannya. Bagiku, Hasa cukup jadi "pemicu" karakter Lea saja.

Tapi Lea malah tertawa.

"Haha padahal sebelumnya kau bilang dia baik buatku"

"Iya! Hanya sebagai teman dekat yang bisa merubahmu jadi lebih baik! Dia punya semua sisi yang berlawanan denganmu, kau bisa belajar banyak darinya"

"Hahaha, kau cemburu?"

"Ugghh! Tentu saja! Tapi aku juga ingin yang terbaik buatmu! Dia itu.. aaah! Sudahlah!"
Ekorku mulai berdiri.

"Menurutmu apa dia bisa lebih baik dari sekarang?"

"Bisa saja, semua manusia pasti bisa berubah jika berusaha. Tapi---"

"Yasudah kalau begitu. Hehe, Berarti aku akan baik baik saja. Lagipula aku punya kamu" 
Lea memelukku sambil tersenyum geli. Dia menempelkan hidungnya pada hidungku dan mengelus kepalaku lembut. Sialan. Inilah sisi manis Lea yang tak bisa ku abaikan.

"Oh ya, kurasa aku juga akan buat cerita tentangnya. Sebagai bonus hadiah"

"Tak usah!"

Lea tertawa.

"Yah aku cuma bisa menulis sih. I'm not expertise in making things so special for a special moment"

Kata Lea mengangkat bahu. Dia tidak menggubris laranganku.

"Kubilang ga usah! Kamu yang spesial Lea. Bukan dia!!"

Lea lagi lagi tertawa. 

***

"Hei, ini" Hasa memberikan sebuah plastik berisi bungkusan kado. Setelah Lea menyodorkan hadiahnya.

"Apa ini?" Lea mengubek isi plastik itu.

"Hadiah buatmu juga. Oh. tunggu sebentar"
Dia mengeluarkan sebuah kotak hitam, di dalam nya terdapat sepasang jam tangan hitam. Dia mengeluarkan salah satunya

"belum punya jam kan?"

Aku terdiam membatu. Aku menatap Lea yang juga membatu.

0 komentar:

Mozaik Enam

//Hadiah pertama//

Saat ini Lea sedang mengendarai motornya menyusuri jajaran pertokoan di pusat kota. Dia menandai tempat - tempat yang akan dikunjunginya sebelum akhirnya dia memarkirkan 'zura' motor kesayangannya.

0 komentar:

Mozaik Lima

//Tantangan Kedua//

"Challenge?" Tanyaku pada Lea. 

0 komentar: