Kepingan 79


//Hari Raya//

Perayaan, tidak selalu harus identik dengan umbul umbul dan keramaian. Adakalanya kita hanya perlu membubuhi sebuah kesan yang tak terlupakan. Begitulah keinginanku.

0 komentar:

Kepingan 80

//Nyata//

Choosing between love and life is like choosing between fantasy and reality.

0 komentar:

Kepingan 81

//Diari Aleya 2//
Rasa panas itu menjalar dari mata ke wajah hingga ke dada. Pemandangan yang baru saja kutemukan menggelembungkan buih buih kekesalan yang akhirnya tumpah ruah menjadi air mata tanpa suara. Saat itu aku yang sedang berada di ruang tamu keluargaku, aku langsung beralih posisi : mengunci diri di kamar. Aku menarik nafas. Seharusnya aku tak se emosional ini.

0 komentar:

Kepingan 82


//Cinta lainnya : Ibu bagian 4//
Pagi itu, lagi-lagi Hasa mengirimiku kejutan listrik yang memicu jantungku. Sebuah pesan perintah dari Hasa masuk ke inbox ku.

0 komentar:

Kepingan 83

//Cinta lainnya : Ibu bagian 3//

Malam ini, keluarga Hasa berkumpul di ruang tengah. Ada Ibu Hasa, ada Kak Redi dan Istrinya Kak Renren, kak Kiki dan istrinya kak Nia juga anak-anaknya Jafi dan Rafi. Suasana yang ramai menentramkan.

0 komentar:

Kepingan 84

//Cinta Lainnya : Ibu Bagian 2//

Kali ini, aku dan Hasa berada di perjalanan menuju rumahnya lagi. Ini kunjunganku yang kedua dalam sebulan terakhir, dan aku masih saja gugup. Sebab kali ini aku akan menginap dirumah Hasa, dan tidur bersama Ibunya. Hasa selalu punya cara untuk membuat jantungku bekerja lebih ekstra dari biasanya.

0 komentar:

Kepingan 85


//Cinta Lainnya : Ibu Bagian 1//

Bagiku, sosok Ibu adalah sosok paling powerfull yang berada dalam tatanan ‘kerajaan rumah tangga.’ Sosok yang bahkan hawa keberadaannya begitu meresap ke akar kehidupan.

0 komentar:

Kepingan 86


//TANGANNYA//
Waktu melesat dengan lambat sekaligus cepat. Dua bulan sudah terlewati sejak Deklarasi Darso soal Takdir Tuhan. Dua bulan itu terasa lama karena banyak yang terjadi. Sudah tak terhitung seberapa kali Darso menganggu waktu liburku dengan pesan pesan singkatnya. Tak terhitung pula perdebatanku dengan Hasa karenanya. Tapi pada akhirnya dua bulan itu sudah berlalu.

0 komentar:

Kepingan 87


//ADA//

Alarm ponselku berbunyi amat nyaring dan aku bergegas menekan tombol sonooze. Lalu kembali melipat diri di dalam selimut yang hangat. Pagi yang tenang dan sunyi membuatku betah berada di alam mimpi. Tak ada suara cerewet yang selalu ribut soal bangun di pagi hari. Aku terlelap lagi.

0 komentar:

Kepingan 88

//PINDAH//

Darso masih belum menyerah. Aku dipanggil ke kantornya hanya untuk (lagi-lagi) membahas takdir Tuhan. Sesekali, di sela-sela bicaranya soal penyerahan diri pada Tuhan, dia tertawa garing menyebalkan. Dia mencekokiku dengan kalimat-kalimat manipulatif.

0 komentar:

Kepingan 89


//KURO//
Aku tak pernah ingat sejak kapan Kuro ada. Aku hanya tahu dia benar-benar bagian terpenting dalam hidupku. Saat aku menangis, dia yang memelukku, saat aku marah dia yang melampiaskannya untukku, dan saat aku ketakutan dia yang akan maju melindungiku. Hanya dengan memikirkan bahwa dia tak ada di sisiku, sudah akan membuatku kalut.

0 komentar:

Kepingan 90

//DIANTARA EGO DAN PERCAYA//

Tingkah Darso mulai menampakkan taringnya. Dia memanggilku keruangannya dan bulu kuduku dibuat berdiri mendengarkan kalimat-kalimatnya.

0 komentar:

Kepingan 91

//TITIK DIDIH//

Hari ini, aku melihat Darso tertawa, sedangkan aku naik pitam dibuatnya. Aku baru menyadari, beberapa hari sebelumnya, dia selalu melakukan hal yang tidak seperlunya dia lakukan. Tentu saja itu hal baik, seperti sering mengajak makan bersama tim, sering memperhatikan makanan dan kesehatan bahkan hingga memenuhi keperluan timnya. Kebaikan yang dia lakukan, aku pikir hanya berdasarkan basis kekeluargaan yang memang di terapkan di timku. Bahkan Aira selalu bilang, dia memang terlalu perhatian pada rekan kerjanya.

0 komentar:

Kepingan 92

//DIARY ALEYA 1//

-Lelah, Januari 2018-

0 komentar:

Kepingan 93


//Bayangan Masa Depan//
Dan tiba-tiba kisahku menjadi padu tentangmu.
Suara-suara penghuni alam mulai terdengar menenangkan di kepalaku juga Zahra. Akhir minggu ini aku dan Zahra pergi bersama menuju taman konservasi burung. Tujuan kita sederhana saja: Demi relaksasi. Kita sama-sama mahluk introvert yang perlu waktu untuk mengasingkan diri dari hiruk pikuk dan bisingnya manusia bumi.

0 komentar:

Kepingan 94


//Waktu Bersama//

Kedekatan kita mulai terambang begitu saja.


Aku melihat Hasa sudah stand by tersenyum di depan pagar asramaku. Ini weekend, kita memang berencana menghabiskan waktu bersama. Tapi, tak pernah ada rencana detail soal apa yang akan kita lakukan untuk menghabiskan waktu.

0 komentar:

Kepingan 95


//BARU//

“Istirahatlah, besok kau kan mulai bekerja di tempat baru. Kehidupan baru, hehe”

0 komentar:

Kepingan 96


//Restart//

Seandainya di setiap kehidupan ada tombol restart..

Malam sudah larut, aku dan Hasa sedang berada di penghujung perjalanan terakhir kita. Teori distrorsi waktu mulai bekerja, perjalanan tiga hari ini terasa hanya tiga jam. Aku tak tahu harus bagaimana. Bola mataku tertarik untuk meliriknya sesering mungkin. Apa yang sedang dia pikirkan?

0 komentar:

Kepingan 97

//JALAN LAINNYA//

“Naik perahu ayo!”

0 komentar:

Kepingan 98

//JALAN//

Aku tak pernah mau mengutuk takdir sebab ia berputar dan berjalan begitu menyebalkan; ia mampu mengacak-acak skenario manusia lalu menggantikannya dengan skenario yang amat tak terduga. Ia bisa menarik garis diantara manusia, memutuskannya dan menariknya lagi sekehendaknya. Perjanjian ku dengan Hasa secara resmi telah berakhir. Kita berdua telah merusaknya dengan ego dan cara kita masing masing. Tapi sialnya, kita memaksa takdir untuk menarik garis diantara kita berdua (lagi).

0 komentar:

Kepingan 99

//LENGAH//

Pada dasarnya, semua fase yang  dialami manusia ketika patah hati adalah sama saja. Tahap pertama setelah merasakan kesedihan, adalah “penyangkalan”. Denial. Menyangkal situasi bahwa hubungan yang dimilikinya sudah berakhir. Mungkin aku sudah ada pada tahap pertama, sebab tanpa sengaja aku sudah meruntuhkan semua harga diriku untuk menghubunginya. Aku masih ingin kembali.

0 komentar:

Kepingan 100

//PATAH//


Aku terbangun dengan perasaan terberat yang baru saja kualami dalam hidupku. Perasaan ini lebih memuakkan dibandingkan kemarahan dan bahkan lebih menyedihkan dibandingkan kesepian. Kalaupun aku bisa membedah diriku sendiri dan mencabuti organ-organ tubuhku agar tidak merasakan sakit, itu tak akan berguna. Perasaan ini tak sebanding! Dan bahkan tak adil bagiku untuk bisa merasakannya.

0 komentar: