Anak Hujan


                Hari ini, hujan turun agak keterlaluan. Saking lebatnya, orang-orang yang berpayung pun memilih berteduh ke emperan toko, kios-kios jajanan lebih memilih tutup untuk menyelamatkan aneka makanan dari cipratan hujan, kucing-kucing saling mengeong khawatir di gang sempit dan pemuda-pemudi dengan tidak eloknya saling merapatkan diri. Tapi aku mendapati anak kecil itu masih berjalan seperti biasa, bahkan, langkahnya lebih riang dari hari-hari sebelumnya. Anak itu justru asyik sendiri di tengah hujan lebat. Melihatnya, aku terhipnotis untuk membuka payungku (lagi), lalu mengikutinya.
                Setiap hari aku selalu melihat anak kecil itu melewati jalan yang sama denganku. Di pagi hari, dia selalu mengenakan baju kodok dengan menggendong tas biru. Sedangkan sore harinya, dia pulang dengan mengenakan dress putih selutut, tanpa membawa apapun. Entah dimana dia menyimpan tasnya, entah apa yang dilakukannya sepanjang hari, entah pula dimana rumahnya.  Aku hanya selalu beriringan jalan hingga perempatan jalan raya. Hari ini pun sama, dia melewati jalan yang sama denganku.
Ditengah hujan lebat, baju dress putihnya basah kuyup, tapi dia tetap meloncat-loncat riang melewati genangan air. Kenapa harus meloncati genangan air? Padahal bajunya dan sepatunya sudah basah semua. Entahlah. Aku tetap mengikutinya. Dan seperti biasanya, ketika melewati  jembatan itu, dia selalu terdiam sejenak menatap ke arah sungai. Tatapannya kosong dan tajam, setelah itu dia akan menghela nafas panjang  sebelum kemudian berjalan lagi. Selalu seperti itu, setiap hari. Kini pun dia tengah terdiam sejenak, memandang sungai yang mengalir deras di bawah jembatan. Lalu dia….menyeriangai?
Dia kembali berjalan lagi tak peduli, sesekali dia menggumamkan lagu kanak-kanak yang rasanya pernah aku dengar. Dan itu, membuatku tetap mengikutinya. Kali ini aku tidak mengambil jalan untuk kembali ke rumah.
Jalanan yang kulalui mulai berubah menjadi jalan setapak yang berlumpur dan licin, tak ada lagi aspal ataupun trotoar, hanya ada hamparan sawah yang diterpa hujan lebat di sisi kanan kiriku. Aku kenal jalan ini, rasanya sudah belasan tahun aku tak melewati jalan ini. Hanya saja aku tak ingat kenapa dulu aku pernah melalui jalan ini. Apa anak itu tinggal di sekitar sini?
Tiba-tiba anak kecil itu menghentikan langkahnya dan berbalik badan kearahku, mungkin dia mulai curiga kalau dia sedang diikuti. Aku malah kaget mematung, melihatnya tiba-tiba berhenti melangkah.  Dia menengadahkan kepalanya untuk melihatku, dan dia…. tersenyum?Kenapa? Seketika itu, hujan lebat mulai menjadi rujan rintik-rintik.
Tangisan awannya mulai mereda’ potongan sebuah memori tiba-tiba muncul di otakku.
Tanpa peduli padaku yang tengah bingung, anak itu berbelok dari jalan setapak itu menuju sebuah rumah kosong yang tua. Dan aku malah mengikutinya lagi. Di depan rumah kosong itu ada dua kursi duduk, dan anak kecil itu duduk di salah satu kursinya sedangkan aku mulai melipat payungku dan duduk di kursi lainnya. Anak itu menatap hujan gerimis seolah menunggunya hingga reda. Kenapa baru berteduh sekarang? Bukankah bajunya sudah basah kuyup? Tak satupun dari pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalaku, meluncur keluar mulutku. Mereka menggelayut di kerongkongan.
Aku menoleh kearah anak kecil itu, kulihat badannya mulai menggigil kedinginan dan bibirnya agak membiru. Aku mendadak panik. Aku ingat! aku membawa sebuah jaket di tasku. Dengan terburu-buru, aku memaksa membuka resleting tasku dan mengacak-acak isinya untuk menemukan jaket. Butuh tiga menit untukku agar jaket itu keluar tas dengan sempurna. Aku menyodorkannya ke arah anak itu.
“I…ni..?”
Aku terhenyak mendapati tak ada siapapun di sampingku, hanya ada udara dan sisa hujan gerimis di sekitarku. Aku melihat di sepanjang jalan setapak yang baru kulewati, hanya ada jejak sepatuku, seorang.  Aku  mematung, dan hujan pun reda sepenuhnya.

0 komentar: