Skizofrenia

Aku lupa, bagaimana caranya aku bisa berada di rumah ini lagi. Seingatku, tadi Aegis mengajakku berjalan-jalan. Aku melihat suasana ruang tamu yang tak asing di memoriku, banyak orangbermuka tegang yang duduk disana, termasuk mama dan papa. Aku mundur beberapa langkah, urung untuk masuk.
“ayo maju, Karlin!” Aegis mendorong punggungku kencang.

“Hentikan Aegis! Aku tidak akan kesana!” Aku kembali melangkah mundur. Di ruangan itu, papa mulai meninggikan suaranya, urat lehernya menegang. Aku menutup telinga, kepalaku terasa berat dan berdesing nyaring “Ayo kita pergi saja Aegis!!” aku semakin mundur. Tapi, pemuda itu malah menahan tubuhku dari belakang. “Kau harus maju! Pecundang!” Aegis justru semakin mendorongku, aku hampir melewati batas pintu itu. “Kumohon Aegis! Aku benci tempat itu! Semua orang hanya berteriak semaunya!”
Di dalam ruangan itu, mama hanya berteriak sambil menangis, satu orang asing berwajah dingin, menyerahkan berkas berkas yang tak mau dan tak akan pernah ku pahami isinya. Paman melempar berkas itu, kertas yang berhamburan dia injak-injak. Mata paman melotot, jarinya begitu tegas menunjuk pada papa. Suara teriakannya yang paling kencang, hingga urat lehernya menonjol keluar. Aku takut. Aku menutup telingaku erat. “Ayo maju!” Aegis kembali mendorongku.
“AKU BILANG TIDAK! HENTIKAN AEGIS!” Aku mendorong Aegis hingga terjembab jatuh. Aegis hanya memandangku jengah sambil menghela nafas “maafkan aku Aegis, aku… aku takut” Aegis berdiri, membersihkan tanah yang menempel di celananya, lalu tersenyum menyeringai padaku. “Aku tau, kau ketakutan, itu sebab nya kau harus maju. Aku janji, setelah ini, kau tidak akan pernah merasa takut lagi” di memegang bahuku, seolah mengalirkan keberanian yang terasa aneh bagiku. Perlahan, dia mendorongku melintasi batas pintu. Aku pun melangkah mengikuti irama kakinya, hingga memasuki sebuah pintu.
Sekilas, aku justru melihat sosok diriku diruangan itu. Aku yang disana, terduduk menunduk sambil menahan air mata. Setelah itu, seluruh ruangan itu menjadi kabur dan hilang, bergantikan pemandangan langit yang biru. Anehnya, aku tak lagi merasa takut. Kini, aku hanya merasa melayang jatuh. Semaunya menjadi gelap setelah aku melihat Aegis berdiri dengan senyuman khasnya di atas tebing yang tinggi. Sepertinya Aegis benar, aku tak perlu lagi merasa takut.
***
Sarapan pagi baru saja siap, dan seluruh penghuni villa terpencil ini sudah gempar dengan teriakan seorang wanita. “Karlin? Karlin!!” wanita itu berwajah pucat pasi. “Ada apa nona, Tria?” Bi Inah juga seluruh pekerja di villa itu menghampiri wanita yang sedang berjalan jalan gelisah, dikamar bernuansa cokelat. “Apa ada yang melihat Karlin?” Tak ada satu orang pun yang menjawab. Mereka hanya saling menatap dengan wajah yang mulai khawatir. Wanita itu semakin kalut, mengira bahwa tak satupun dari pekerjanya tahu dimana Karlin. Dia panik mencari Karlin diruangan cokelat itu.
“Aku baru mau membangunkannya! Dan dia tidak ada di kamarnya! Kalian tahu kan dia sedang sakit? Bagaimana mungkin dia lepas dari pengawasan kalian!” Bentaknya pada para pekerjanya. Mereka semua hanya tertunduk diam sementara dia masih mencari-cari Karlin. Tepat di sebuah meja belajar, dia menemukan secarik kertas, lalu tanpa jeda langsung membuka dan membaca isinya.
Ibu, aku pergi bermain sebentar bersama Aegis. Tak usah khawatir mencariku.
Karlin
Bukannya merasa tenang, wanita itu malah semakin meracau. Dia bergumam tak jelas dan berlari keluar kamar, tak peduli bahwa saat itu masih pagi buta, tak peduli dengan semua pekerjanya, tak peduli dengan gaun tidur tipis nya yang belum di ganti, tak peduli dengan alas kaki, bahkan tak peduli dengan sarapan, di hanya berlari ke arah tebing curam yang terletak tak jauh dari villa itu “ya tuhan, jangan Aegis.. jangan muncul lagi…” gumamnya berulang kali.
Semua pekerja di villa ikut panik mengikutinya, kecuali seorang pemuda. Dia pekerja baru di villa itu. Dia hanya berdiri di depan meja belajar, dia hanya menatap tajam kearah sebuah kertas kosong dan foto berbingkai silver. Dia begitu terpaku menatap foto itu. Foto seorang gadis 8 tahunan yang terlihat tomboy, gadis itu tengah tertawa ceria sambil memegang sebuah bola. Pada bingkai foto itu, terukir sebuah nama dengan pelat yang juga berwarna silver.
Menyadari seorang pekerja Villa yang tertinggal, mamang Tito, seorang pekerja kebun kembali ke ruang cokelat tadi. “Agi! Sedang apa kamu?” Mang Tito, menarik keponakannya keluar kamar Karlin. Tapi, meskipun badannya sudah ditarik, matanya masih tetap lekat menatap foto itu.
“Sebentar Mamang!” kini dia mulai bersuara, masih menatap foto itu. Mang Tito sempat kaget menangkap maksud dari raut keponakannya itu, namun, ia lantas menatapnya serius.
“Apa kau…” suara mamang terdengar lemah. Dia menarik nafas lalu menghembuskannya dengan berat.
“…………”
“Apa kau..tahu? Bahwa Nona Tria….Nona yang kau layani itu, bernama Aegistria Karlina?”

0 komentar: