Pen and Paper Clip


Oktober 2015
Selera.
        Aku tak pernah paham mengenai konsep ‘selera’ manusia. Beberapa orang menyukai sesuatu hal yang justru tidak disukai oleh orang lain. Beberapa orang menyukai hal umum, beberapa yang lainnya justru menyukai hal random yang aneh. Wajar memang, hanya saja sulit di prediksi. Tapi ternyata menyukai sesuatu hal, sesungguhnya tak pernah membuatmu rugi.
          “Kenapa pula aku suka benda remeh seperti ini?” aku menggerutu pada diriku sendiri. Merutuki sekotak tempat pensil yang hanya penuh dengan pena dan paper clip.  Aku (terlalu) menyukai dua benda itu. Sayangnya, itu membuatku lupa membeli type-x, penghapus, pensil, rautan bahkan penggaris. Ah, biarlah, toh dua benda itu yang paling penting. Akhirnya aku memasukkan tempat pensilku kedalam koper. Membawanya pergi ke Kediri.

November 2015
'Selamat datang.'
          "Ih, tinta pena nya habis! Orang itu menjahilimu!” Protes teman sekamarku, Airin. Airin meminjam pena oranye yang baru saja di berikan seseorang—secara tidak jelas—padaku. Aku hanya tertawa menanggapinya, toh aku sudah menduganya. Orang itu pasti tidak sungguh-sungguh memberikan pena oranye itu padaku, bahkan pena oranye itu pun belum pasti miliknya. Makanya dia meng-over­-nya padaku.
               “Pinjam pena lain dong!” Airin mulai mengacak-acak tasku, mencari pena.
            “Percuma, kotak pensilku hilang kemarin.” Kataku frustasi. Aku kehilangan semua koleksi pena dan paper clip ku sekaligus.
             Akhirnya malam itu, kami mogok belajar hanya karna tidak ada pena yang berfungsi. Lihatkan? Pena itu (sangat) penting. Aku melihat Airin sudah terdampar di tempat tidurnya. Buku-buku yang (tadinya) akan dipelajari dia biarkan berserakan semaunya. Aku mulai membereskan buku-buku itu dan mataku tertuju pada pena oranye itu lagi. ‘Ah! Aku tidak suka warnanya yang mencolok’ pikirku sambil iseng mencoret –coret kertas kosong dengan pena itu.
                “Eh? Ini ada tintanya? Ah dasar Airin.”  
             Aku menuliskan ucapan “Selamat datang" pada sepotong kertas, melipatnya dan menyelipkannya pada sebuah buku. Lalu, aku melanjutkan acara belajar yang sempat tertunda.
 Selamat datang. Selamat berjumpa di titik perpotongan garis kehidupan kita. 

April 2016
'Selamat tinggal.'
           Aku sudah punya kotak pensil baru, kali ini tidak hanya berisi pena dan paper clip. Hanya saja, dua dari penghuni terlama di kotak pensil itu adalah pena oranye dan paper clip kuning lusuh yang agak bengkok. Aku tidak pernah menggunakan dua benda itu. Satu, karena aku tak suka warnanya. Dua, karena… aku tak mau saja. Lalu untuk apa aku menyimpannya?
            Baiklah, sejujurnya mendapatkan dua benda itu cukup berkesan untukku. Bagaimana tidak?  Karena aku maniak , maksudku, karena aku sangat menyukai pena dan paper clip. Dan orang itu “menyampaikan” dua benda itu ke tanganku, tepat setelah aku kehilangan kotak pensil yang berisi pena, pena, pena, pena, pena, pena dan puluhan paper clip favoritku.  Itu terasa seperti : Nice timing dude! Dia terlihat seperti sejenis pahlawan yang menyelamatkan dari rasa kehilangan. Ah. Kesan yang berlebihan, memang.
 Meski pada akhirnya, aku tetap membeli pena baru. Sebab aku masih tidak suka warnanya yang mencolok. Tapi, apa aku masih harus menyimpannya? Bukankah tak baik terlalu menyimpan kesan memori yang dramatikal?
Aka! Kubilang minta satu pena nya lah! Kan aka punya banyak!”  teriak sepupuku dengan logat sok melayu nya.
“Iya, iya sebentar!” aku mencari pena oranye itu di tempat pensilku.
Dalam pikiranku, aku sudah memegang pena itu dan sedang merangkai kata 'selamat  ting—'
“Ah! Lama lah aka ni!” sepupuku itu merebut tempat pensilku, mengambil pena secara acak sekehendak hatinya.
           “Aku ambil ini! Makasih!” serunya sambil membawa pena polkadot berwana hijau muda, lalu melengos pergi begitu saja. Aku menepuk jidatku, melihat tingkahnya.
            Tak berselang lama, ponselku berbunyi pendek. Satu chat masuk :
            Hei. Apa kabar?
            Aku kembali menepuk jidat. Tertawa.

Mei 2017
          Kali ini, aku punya kotak pensil baru lagi, dan isinya lebih beragam lagi. Tapi pena oranye itu sudah tidak ada. Menguap entah kemana. Apa mungkin pena itu berubah warna? Aku tak yakin. Hanya saja aku mendapati pena yang sama, tapi kali penanya berwarna biru, warna favoritku. Ah tapi, paper clip kuning itu masih saja ada, menempel di buku jurnalku, mengapit manis potongan-potongan catatan tentangnya.
             Kali ini, aku menggunakan pena biru. Menulis kalimat berucap selamat yang lainnya:


'Selamat Ulang Tahun untukmu'

0 komentar: