Keping 69



//Bertemu Riska//

Siang itu, aku kembali bertandang kerumah Hasa. Ini sudah kesekian puluh kalinya aku mengunjungi rumah Hasa, dengan dalih “rindu” aku mulai terbiasa mengubur dalam-dalam rasa canggungku bertemu dengan Ibu dan kakak-kakaknya Hasa. Tentu saja, tanpa diayal, ini juga adalah strategi cerdas Hasa yang mendekatkanku dengan keluarganya.

Berbincang dengan Ibu Hasa mengenai pengalaman hidupnya, selalu menjadi bagian favoriteku setiap kali mengunjungi rumah Hasa. Baik Hasa maupun Ibunya adalah pencerita yang sangat hebat. Aku tak terlalu peka untuk memahami situasi yang ku alami, tapi melalui cerita-cerita mereka ada banyak hal baru yang kupahami soal kehidupan ini. Kali ini Ibu Hasa menceritakan tentang perjalanan kisah cintanya sekaligus menunjukanku bentuk ketulusan dan kesabaran yang kukuh dan solid. Aku dan Hasa khidmat mendengarkan, sambil sesekali menanggapi. Well.. Hasa sih, yang lebih banyak menanggapi dan bercanda.

Menuju anti klimaks kisah Ibunya Hasa, lampu LED ponsel Hasa menyala, menandakan ada pesan masuk, Hasa membacanya lalu tersenyum. Siapa?

“Sudah hamper jam dua, mama sudah solat?” tanya Hasa mengiterupsi cerita.

“Oh iya.. astagfirullah, mama solat dulu” masih menyisakan cerita yang menggantung, Ibunya Hasa langsung beranjak dari tempat duduknya menuju kamar mandi yang hanya terjeda satu dinding dan kursi dari ruangan ini. Tak berselang lama, kepala Ibunya Hasa menyembul keluar dari dinding, berusaha melanjutkan cerita yang terpotong.

“Tapi… bagaimanapun juga, itu orang yang jahat ada saja balasannya, jadi—“

“cepat solat mama” ujar Hasa kembali mengingatkan.

“iya.. ini mau..” beliau masuk ke kamar mandi,

“bentar lagi keluar lagi coba” tebak Hasa membuatku tertawa, dan benar saja..tak berselang beberapa detik, kepala beliau kembali menyembul keluar.

“jadi, akhirnya dia juga sadar kalau—“

“segera bundaa”

“iya..iya”
Akhirnya beliau benar-benar masuk ke kamar mandi. Aku dan Hasa tertawa tertahan.

“haha, kejam, padahal ceritanya belum selesai.. aku juga masih ingin dengar lanjutannya..”

“hahaha.. kalau tak diingatkan, justru aku yang nantinya dimarahi… ceritanya lanjut nanti malam saja”

“kok malam?”

“sore ini kita keluar ya, hehe”
Hasa menampilan cengiran khasnya yang biasa sembari mengangkat ponselnya.

“kemana?”

“aku baru saja beli produk perawatan untuk wajah. Jadi sore ini kita mengambilnya”
Jawab Hasa tanpa menjawab pertanyaanku secara tepat.

“Beli online?”

“Aku titip dibelikan Riska, hehe. Jadi hari ini kita ketemu Riska ya..sekalian kau kenalan secara langsung”

“………”

Secara naluriah perempuan, tentu saja fakta pertama yang menjadi fokus utama pikiranku adalah : Hasa masih berhubungan, dalam artian meminta bantuan Riska. Apa dia masih bergantung padanya?
Baiklah, pemikiran itu terlalu negatif dan emosional, jadi kupikir lebih baik diabaikan saja.

“Riska sama temannya kok, kita ketemu di café coffee

“Oke..”

Usai Ibu Hasa menunaikan solat, Hasa dan aku meminta izin untuk keluar, tentu saja itu berarti cerita Ibunya Hasa harus bersambung dalam waktu yang cukup lama. Bahkan mungkin Ibu Hasa sendiri akan lupa hanca ceritanya dan memulai cerita baru. Tapi tak apa, pada akhirnya semua cerita Ibunya Hasa dan Hasa itu berkesinambungan seperti sequel movie.

Setelah pamit, Hasa dan aku langsung melaju menuju lokasi janjian dengan Riska melalui jalanan yang mulai macet. Sesampainya disana, aku menangkap dua sosok gadis yang sedang terduduk didepan café. Aku mengira-ngira apa itu Riska dan temannya, karena aku hanya tahu wajah Riska melalui foto-foto yang ditunjukkan Hasa lewat instragram. Benar saja, Hasa menghampiri dua sosok gadis itu dan menyapa mereka dengan ceria.

“Gapapa ya, dibawa nih Aleya” sahut Hasa bercanda sembari menyenggol lenganku, aku tersenyum canggung kearah mereka lalu mengulurkan tangan berbarengan dengan Riska dan temannya. Kami pun bersalaman.

“Hai, Riska”

“Aleya”
Wajah Riska terlihat lebih tegas dibandingka fotonya yang terlihat ramah. Sorot matanya pun lebih tajam daripada yang kukira, hanya saja senyum manisnya ditambah gaya berpakaiannya yang kasual dan modis membuat keramahannya terkesan lebih fleksibel dan ekslusif, seolah dia hanya akan menjadi ramah bagi orang – orang tertentu yang menurutnya pantas saja..

“Aku Indi”

“Aleya”
Senyuman Indi lebih terlihat ceria, dia sepertinya suka bercanda layaknya Hasa.

Dunia masih damai setelah kami bertatap muka. Tak ada perpecahan perang dunia seperti yang digambarkan sinetron drama seperti biasanya. Sampai Hasa menggeser tempat duduknya sedikit kearah Riska dan mengambil garpu yang terletak disamping piring berisi soufflé pancake milik Riska dan mencomot dessert manis itu seenak jidatnya. Dan lagi, karena Hasa kesulitan mencomot makanan penutup itu, akhirnya Riska membantunya dengan pisau kecil yang dipegangnya. Aku dan Indi saling bertatapan untuk seperempat ribu detik dalam hitungan kecepatan cahaya! Tentu saja, harga diriku tergores melihat cara Hasa lebih memesrakan diri dengan mantannya ketimbang denganku. Kedamaian pikiranku pun sedikit terusik dan perpecahan yang terjadi adalah diantara batin dan pikiranku. Jangan dibesar-besarkan Aleya… mereka memang sudah akrab dari sananya. Akhirnya aku mengeluarkan ponselku sebagai jurus andalan pengalihan perhatianku.
Hasa, Riska dan Indi kembali bernostalgia soal pertemanan mereka. Sesekali Riska berbaik hati mengajakku bercanda.

“Aleya, kok mau sih dengan Hasa? Haha”
Aku hanya tertawa.

“Tapi Hasa harusnya bersyukur, kurasa gak akan ada cewek yang mau lagi denganmu selain Aleya, haha, sabar ya Aleya”
Aku kembali hanya tertawa.

“Main hp aja, tertawa aja, ngobrol kek haha!”  canda Hasa kembali menyenggol bahuku, membuatku mengubah mode tertawaku (yang masih canggung) jadi hanya mode tersenyum.

Kupikir, kau lebih suka padaku karena aku tak banyak bicara kan… Batinku sarkastik.

“kau nggak pesan makanan Hasa? Jangan bilang kau diet hahaha” Indi menyambung kehangatan suasana bercanda diantara mereka bertiga.

“Iya, pesan gih Ley” Hasa memberikan dompetnya padaku.

“Mau pesan apa?”

“Apa aja, terserah, jangan yang mahal mahal ya haha”

“Dasar pelit haha” komentar Indi dan Riska hampir bersamaan.
Aku akhirnya berdiri dan melenggang pergi menuju kasir, sementara ketiga sohib SMA itu kembali seru dengan percakapan mereka.

“Mau pesan apa, kak?” sahut kasir café  itu dengan ramah setelah aku selesai membaca menunya. Sayang sekali tak ada preview gambar dari setiap nama menu yang disediakan, jadi aku harus menggunakan kemampuan bahasa inggris andalanku untuk menutupi wawasan kulinerku yang terbatas. Dasar kaum mileneal, kenapa nama makanan pun harus dibuat sedimikian ribet? Gerutu batinku sensitif.

“dua iced coffee latte dan….

“Ada lagi kak?” sahut si pemuda kasir masih dengan keramahan mode marketingnya, walaupun begitu aku tetap merasa sedikit berbangga karena dipanggil “kakak” olehnya.

“satu cheesy honey toast”
Aku memilih menu dessert yang kupahami sebagai roti panggang madu dengan keju. Karena semua menu café ini adalah menu dessert, jadi kupikir Hasa tak akan mau memakannya. Toh, dia tak suka yang manis manis.

“Baik kak, dua iced coffe latte dan cheesy honey toast, di meja mana kak?”

“Itu, yang diluar dekat jendela”
Aku menunjukan meja tempat Hasa, Riska dan Indi terduduk dan masih bercanda. Sejenak terbesit ingatan tadi ketika Hasa mencomot makanan Riska. Tunggu dulu… Hasa kan memang tak suka yang manis-manis..tapi tadi…

“Ah, mas, cheesy honey toast nya tambah satu lagi aja”

“Oke, baik kak”
Well, kalau memang Hasa sedang ingin yang manis-manis…yah…kuberikan. Daripada menghabiskan makanan Riska kan?
Seringai iblis tersungging dibibirku.

“ini di bayar langsung mas?” tanyaku menunggu bill yang tak kunjung diberikan.

“oh, tak apa, nanti saja kak kalau selesai”

“Oke baiklah”
Aku kembali ke tengah-tengah ketiga sekawan SMA itu tanpa menginterupsi pembicaraan mereka. Kali ini mereka mulai berbicara soal pernikahan Riska.

“Wah serius tahun ini Ris?” tanya Hasa intens.

“Iya dong, aku gak mau keduluan kamu tuh hahaha”

“Aih dasar pesaing! Nikah di gedung dong kamu?”

“Masih cari gedungnya sih”

“Kalau Riska sih, minimal gedung grande yang mewah itu laah” sindir Indi menggoda Riska.

“haha iya bisa, tapi ini Hasa gak usah diundang kali ya, bisa-bisa dia ngabisin perasmanannya, hahaha”

“ya, emang gak perlu diundang Ris, kan nanti aku nebeng di nikahan kamu, haha”

“Eh sialan, mana mau lah aku!”

“hahahaha” Mereka tertawa riang, dan aku latah ikut ikutan tertawa.
Ditengah gemuruh tawa yang menyenangkan itu, seorang pelayan mengantarkan pesananku dan Hasa.

“ini cheesy honey toast nya kak, dan dua iced coffee latte, satu lagi menyusul ya”

“oke”

Aku menanggapi sang pelayan dan mulai menata makanan dimeja sementara Hasa mulai asik membuat Indi sebagai bahan bercandaannya.

“pesan apa, Ley?”

“Roti panggang”

“manis banget ya kayanya” komentar Hasa padaku.
Aku mengangguk menahan seringaiku. Nanti juga kau akan coba kok..Kalau kau mau bagianku akan ku kasihkan juga…

“Coba ya?” sahut Hasa meminta izin padaku. Dia bersikap formal padaku, padahal biasanya tidak begitu, tapi malah bersikap akrab pada Riska. Dasar Hasa!
Aku menyodorkan piringku padanya. Saat mencoba makanan itu, Hasa mulai mengernyit mengomentari.

“dih, manis banget. Kenapa milih ini sih, enakan yang tadi Riska. Padahal samain pesannya kaya Riska”
Seandaianya aku ada dalam ilustrasi komik, ekspresiku saat ini adalah tersenyum dengan menahan lambang  kedut urat marah di keningku.

“Lah Aleya maunya itu kali”

“Iya ih, dasar maksa”
bela Indi yang disambung oleh komentar Riska. Lalu, meja kami menjadi hening ketika pelayan yang tadi kembali membawa menu yang sama yang baru saja di kritik Hasa.

“permisi, kak ini satu lagi pesanannya”

“Loh, kamu pesan dua?”

“Iya, hehe” Aku tersenyum semanis-manisnya kearah Hasa. Semangat ya sayang!

“padahal pesan satu aja!”

“ya.. kupikir kau juga mau ngemil hehe”

Mau tak mau, Hasa menyantap makanan itu meskipun sambil menggerutu soal makanannya yang terlalu manis buatnya. Seandainya Hasa tak menghabiskan dessert itu, mungkin aku akan merasa kecewa padanya. Tapi Hasa masih menghargai makanan itu, terlebih lagi dia masih menghargaiku yang memesankan makanan untuknya.

“Sebagian lagi kau yang habiskan ya, dikit lagi kok” Hasa menyodorkan piringnya padaku.  
Aku merasa lucu melihatnya yang terus mengkritik makanan yang dimakannya, tapi disisi lain, aku sendiri merasa bersalah karena sudah memaksanya memakan makanan yang tidak dia suka.

Sementara Hasa sibuk memprotes habis habisan makanannya, Riska pun sedang memprotes pengantar makanan online yang ia pesan bersamaan saat aku memesan makanan ini ke kasir.

“Duh ini makanan kombinasinya gini amat sih, mana ada coba keju digabung dengan madu, ditambah lagi ada susunya, terlalu manis! Kamu pesannya gimana sih Ley?”

“Duh, mas, saya sudah nunggu lama nih, saya ngga mau tahu, saya gak akan cancel pesanannya…terserah mas saja mau dibagaimanakan...kalau macet bisa cari jalan lain kan mas?”

Melihat mereka berdua yang mudah menaikan nada suaranya di berbagai situasi… yah, mereka memang selaras. Tapi tidak serasi. Aku jadi membayangkan bagaimana mereka bertengkar saling membentak ketika pernah berhubungan dulu…pasti bising sekali.  

Setelah urusan protes memprotes mereka selesai, akhirnya kami memutuskan untuk bubar. Riska dan Indy berpamitan untuk pindah tempat makan, sementara Hasa entah mau membawaku kemana lagi.

“Aku ke kasir dulu”

“Loh? Belum bayar? Dih malu maluin…”
Baru saja aku membuka mulut bermaksud menanggapinya, Riska sudah menjawabnya.

“Emang diakhir bayarnya, Hasa”

“Oh? Haha, kukira tadi”

Dasar Hasa. Sensitif sekali sih kalau padaku.

“Kau mau sekalian bayarin punya kita juga? hehe”
Riska tertawa menggoda, tapi ternyata Hasa serius menanggapinya.

“Oke deh, sekali kali traktir kalian”

“Wah, tumben sekali kau baik Hasa haha, karena ada Aleya ya..”

“Haha, iya dong, pencitraan”

“Hati-hati Aleya, Hasa itu matre, haha”
Aku kembali dan lagi-lagi hanya tertawa menanggapinya. Aku tahu Hasa memang cermat dalam berhitung, tapi Hasa tak pernah perhitungan. Tak pernah aku temukan sisi ke-matre-an nya terselip dalam kecermatannya berhitung soal banyak hal.

Setelah bubar,  aku kembali duduk di belakang kuda besi yang biasa dikendarai Hasa. Selama perjalanan, Hasa masih mengomentari soal makanannya.
“Aduh, jadi harga roti panggang tadi 20 ribu!?”

“Iya!”

“udah terlalu manis, mahal pula! menyebalkan! Kenapa kamu pesan dua sih Lea!”

“hehe.. maaf..”

“hah? Apa?”

“ngga deh!”

“Bilang apa sih, bicara yang jelas dong Lea!”

“Maaf…..! Kukira kau mau juga”
Sebenarnya bukan itu yang ingin kukatakan, tapi membicarakannya di motor tentu bukan hal yang tepat. Selain itu, aku juga belum berani mengatakannya kalau aku sengaja memesannya karena kesal terhadap hal akan dianggapnya sepele, bisa-bisa aku diamuk Hasa!

“Maksudku buat pesanan itu buat kamu aja! Aku gak terlalu suka yang manis..”

“Iya.. aku tahu.. sih”

“apa? Ngga kedengaran..!”

“aku bilang ‘Iya’…!
***

Malamnya, Hasa dan Ibunya kembali berbincang soal kehidupannya. Akupun sudah siap menjadi pendengar setia.

“Ma, tadi Aleya bertemu dengan Riska” ujar Hasa malah berbangga pada Ibunya. Ibu Hasa menatapku sambil tersenyum heran, pasalnya Ibu Hasa tahu kalau Riska adalah mantannya yang juga pernah dikenalkan pada beliau, aku hanya mengangguk pada beliau untuk mengonfirmasi bahwa kalimat yang diucapkan Hasa memang benar adanya.

“Oh… bagus dong, Neng Riska yang itu..?”

“Iya ma, tapi bagus, Aleya justru terkesan biasa saja, malah bisa mengobrol biasa dengan Riska”
Biasa saja ndasmu! Rutuk batinku pada Hasa.

“Ya, memangnya harus bagaimana, kan berteman bisa dengan siapa saja ya..” sahut Ibu Hasa berbicara dan tersenyum kearahku. Aku mengangguk lagi, tanda setuju.

“Berarti kalau akur bisa ya ma?” goda Hasa mulai bercanda lagi.

“Bisa apa ah! Jangan macam macam!” Kali ini senyum ibu Hasa berganti menjadi rona tegas. Hasa hanya tertawa melihat kedua wanita di depannya merengut menunjukan ekspresi protes.

“Hahaha, becanda kok, lagipula dia mau menikah ma”

“Ohh.. ya syukurlah, semoga yang terbaik untuknya”

Kemudian… ketimbang melanjutkan cerita Ibu Hasa yang masih menggantung siang tadi, akhirnya pembicaraan Hasa dan Ibunya sedikit demi sedikit menceritakan soal Riska dan keluarganya yang terkenal, keluarga pengusaha Raksa Perdana.

Hahaha mungkin ini karma karena aku sudah membuat Hasa makan makanan yang tidak disukainya.

Tapi, malam itu aku diajari tentang kesederhanaan melalui cerita Riska. Kesederhanaan dalam berfikir, kesederhanaan dalam merasa dan kesederhanaan dan bertindak bahwa sederhana tidak selalu berarti sedikit. Kesederhanaan adalah adalah kecukupan yang tak berlebihan. Pertanyaannya, apa tindakanku hari ini berlebihan…? Sepertinya aku berhutang maaf pada Hasa.

0 komentar: