Kepingan 70

//Senyawa Polar//
Seperti halnya pada senyawa polar, dua kutub berbeda pun bahkan dapat membentuk sebuah ikatan.

Saat ini, aku dan Hasa sedang menarik diri masing masing pada kutub yang berbeda. Hasa terdiam bangku paling pojok di sebelah selatan taman, sedangkan aku berdiri terdiam dan bersandar di sebuah lampu yang diposisikan di paling utara dari taman ini. Sudah hampir lima menit kami terdiam berjauhan dan saling memunggungi dan membuang tatapan. Hawa udara taman yang hangat dan cerah bagi pengunjung lainnya, justru terasa sedingin kutub utara bagi kami. Padahal beberapa puluh menit sebelumnya, kami sedang riang-riangnya menebar aroma dimabuk cinta.


Beberapa puluh menit sebelumnya...
Aku dan Hasa sudah sepakat akan menghabiskan waktu bersama di akhir minggu ini. Agenda yang bisa dibilang kencan ini, tidak direncanakan secara muluk-muluk, bahkan aku dan Hasa akan tetap beraktifitas seperti biasanya. Pertama, kita hanya akan makan pagi ditempat rekomendasi Hasa.

“warung Mister English”  sebut Hasa menamai tempat makan itu semaunya, hanya karena pemilik tempat makan itu selalu menyisipkan bahasa Inggris di setiap percakapannya.

“ada menu ikan dabu dabu yang lezat dan murah!” testimoni Hasa soal menu tempat itu. Yah... walaupun dari testimoni itu kata “lezat” dan “murah” yang paling menggodaku. Iya, terutama kata murah. Bagaimanapun juga, aku dan Hasa harus berhemat.

Kedua, kita akan mengunjungi sebuah taman yang baru diresmikan minggu lalu oleh Bapak Walikota. Sebuah taman yang disebut sebut sebagai tempat instagramable karena gaya arsitekturnya. Sebenarnya aku dan Hasa tak bermaksud berfoto demi konten instagram di taman itu, kita hanya bermaksud menghindari jam-jam macet pagi karena setelah berdiam dan cuci mata di taman itu, Hasa harus mengantarku pergi ke pertemuan pengajar bahasa. Lebih tepatnya sebuah evaluasi mikroteaching untuk pengajar baru. Sementara Hasa akan berkunjung ke tempat temannya yang tak jauh dari tempatku mengajar.

Lalu pulangnya kita akan menutup kencan manis ini dengan masak makan malam bersama ditempatku. Sempurna bukan? Yah.. seharusnya.
Setelah berusaha merapikan diri agar bisa terlihat secantik mungkin, aku menunggu hasa di halaman parkir kosku. Tanpa berselang lama, motor Hasa memasuki gerbang dan aku bersiap mengambil “si batok”  helm khusus yang Hasa pinjamkan padaku. Aku menghampiri Hasa yang terlihat kasual dan wangi. Apa dia juga berusaha dandan untukku ya?

“Bajumu seperti ibu-ibu tua deh” komentar Hasa sambil tertawa. Aku menyikut lengannya sambil merona antara malu dan kesal. Cih, selalu sia sia lah prosesi dandanku dimata Hasa.

“cantik kok..” sahutnya lagi, sengaja mengawangkanku.

“ibu-ibu tua yang cantik ahahaha” koreksinya lagi. Tanpa ba-bi-bu, aku langsung duduk di belakang motornya.

“Berangkat ah, keburu macet tar!”

“Siap nona”
Sepanjang perjalanan aku dan Hasa banyak berbicara dan banyak tertawa. Setelah topik yang loncat kesana – kemari, topik pembicaraan Hasa akhirnya bermuara pada cerita soal teman-temanku. Inilah cara Hasa memberiku jatah untuk ‘bercerita’. Awalnya Hasa hanya menanyakan kabar Tana, lalu keluarlah semua cerita-cerita yang selalu kusimpan soal teman-temanku. Aku tahu, Hasa bukan tipe penggosip, jadi bukan masalah kalau Hasa tahu soal teman-temanku. Justru aku ingin Hasa lebih kenal dengan mereka.

“hahaha. Kalian perempuan memang drama ya!” komentar Hasa menanggapi ceritaku

“teman-temanmu unik juga ya, karakternya macam-macam. Tapi sih, bagaimanapun juga kurasa aku pasti bisa mendekati mereka haha” sahut Hasa mulai menyombong soal skill sosialisasinya.

“ya..ya..ya. Perayu handal memang bisa dekat dengan siapa saja” sindirku sambil memutar bola mata.

“iya benar sih hahaha” tawa Hasa menarik perhatian beberapa pengendara yang juga sedang terdiam menunggu lampu merah.

 “Apalagi untuk orang dengan karakter banyak diam sepertimu, haha, aku pasti terlihat seperti matahari..kan? menarik dan menyenangkan. Hehe. Kebanyakan perempuan kan mencari yang begitu”
Aku terdiam tertohok. Apa menurutmu aku semudah itu jatuh cinta? Pikirku dengan mood yang mulai mengeras, sekeras arus lalu lintas yang pada akhirnya mulai padat sebelum jam yang kami prediksikan.

“Lihat, didepan sudah macet. Kita skip makan di warung Mister, langsung ke taman saja.” Ujarku pada Hasa agar mengambil jalur memutar, bagaimanapun juga, lokasi taman lebih dekat ke tempat mengajarku, kalau harus ke tempat makan dulu, kita akan terjebak macet dua kali.

“wah.. iya.. oke. Cari makan di sekitar taman aja gak apa apa? Tar makan siang deng di warung misternya”

“ya, lain kali juga ga masalah”

Aku menghela nafas pendek, tepat saat Hasa memarkiran kendaraannya disekitar taman. Aku tak boleh menghancurkan hari ini hanya karena pikiran sensitifku.

“kenapa? Lapar?” 

“hm.. belum lapar sih aku”

“haha dusta, yuk sambil cari jajanan saja”
Kami akhirnya berjalan memutari taman sambil kembali bercanda sok mesra. Tapi akhirnya tak ada satupun jajanan yang mengguggah selera. Aku dan Hasa memutuskan untuk duduk di bangku panjang sebentar sembari kembali mengabsen jajanan yang kami temukan untuk kemudian diseleksi mana yang paling nikmat dijadikan sarapan pagi. Saat itu jam menunjukan pukul 9.20, sedangkan jam microteachingku adalah jam 10.30.. masih banyak waktu untuk menikmati kencan manis ini.

“jadinya mau beli apa nih” sahut Hasa melihat-lihat jajanan di sekeliling kami.

“bentar dong rehat dulu”

“wah.. banyak juga ya pasangan yang datang kesini” kali ini dia melihat-lihat situasi taman. Benar-benar tipikal observer!

“haha, iya dan kita malah nambah jumlahnya”

“coba kalau kita bertiga, kan jadi anti-mainstream ahahaha” mulai lagi dia dengan candaan nyelenehnya. Aku mengangkat alisku.

“bertiga?”

“ya.. kan jarang pasangan yang istrinya dua jalan jalan bertiga gitu ke taman”

“dimana-mana pasangan ya dua”

“iya kan.. berpasangan memang berdua, nih ya.. laki laki satu, berpasangan dengan perempuan A, misalnya, disebut pasangan bukan?”

“iya”  jawabku sambil memijat keningku. Aku tahu kemana arah pembicaraan ini.

Hhh...mulailah dia dengan argumen logikanya.

“terus laki-laki itu berpasangan dengan perempuan B,  disebut pasangan bukan?”

“haha yah.. kau pikir senyawa polar? Bisa berikatan kemana saja asal berbeda kutub dan saling melengkapi?

“aku cuma tanya, disebut pasangan bukan, Lea..”

“hhh...iya”

“legal kan?”

“iya”

“terus apa masalahnya?”

“gak ada, siapa yang bilang ada masalah”
Hasa tertawa melihatku menjawab ketus tanpa memandangnya, tapi entah naluri pria memang selalu bersemangat membicarakan hal seperti itu, atau memang Hasa ingin menjahiliku, dia malah melanjutkan pembicaraannya.

“ya... berarti bisakan punya dua cewek? Sebenarnya ini imajinasi terliarku saja, haha tapi sepertinya seru punya dua cewek dan dua duanya bisa akur”

Deg.

“haha gak lucu” Kataku sinis.
Sebenarnya aku lebih ingin membisu. Tapi Hasa tak bisa diam.

“Apa aku coba dekati satu lagi ya? Hehehe.. atau aku dekati temanmu saja deh.. gimana.. hehe.. jadikan kamu juga sudah kenal. Gak akan canggung nantinya. Sama Lala bakal seru kayanya.. haha, dia juga pasti mau kalau aku dekati..”

Deg!
“nggak bakal seru lah.” Komentarku lagi

“tapi kan nanti juga kau gak akan cape.. semisal ak—“
Aku meliriknya dengan seringai yang dipaksakan.

“oke, kalau gitu dibalik, aku saja dengan dua cowok, temanmu misalnya­—“

“GAK LUCU ALEYA!”
Hasa tiba-tiba bangkit dengan emosi yang sudah memuncak. Aku nyaris terjembab karena dia menggeserku yang terduduk didekatnya.

“kan misal, lagipula sama kan”

“BEDA! KAU BICARA BEGITU BERARTI KAU MERENDAHKAN DIRIMU SENDIRI!”
Suara Hasa meningkat tinggi beberapa oktaf, ikut meninggikan titik didih emosiku.

Kau pikir kau tidak sedang merendahkanku dengan bicara begitu? Apa aku benar-benar segampang itu buatmu!?

Kalimat sepanjang itu hanya berujung pada kata

“terserah”

Setelah itu Hasa berpindah tempat menjauh dariku, begitupula aku.

Saat ini....

“Haaaaaaaaah!”
Aku menghela nafas panjang, memahami situasi kali ini, Hasa sama sekali tak bergeming dan membeku di seberang taman sana. Perdebatan nuraniku sejak tadi berkemelut tak kunjung usai.

KENAPA HASA YANG MARAH!? HARUSNYA AKU! DIA YANG SUDAH BERCANDA SEMAUNYA TANPA MEMENTINGKAN PERASAANKU!
Sahut egoku membahana.

Tapi bagaimanapun juga Hasa hanya bercanda..kita tak bisa begini terus. Sebaiknya aku minta maaf..tapi bagaimana..

MINTA MAAF? OH AYOLAH. HARUSNYA DIA YANG MINTA MAAF! UCAPANNYA KETERLALUAN.

Mungkin kita sama sama emosi begini karena kita lapar.. belum sarapan..
Sisi lembutku masih saja mencari pembenaran keadaan yang sebenarnya cukup masuk akal juga.

MANA MOOD MAKAN. DIA BAHKAN MENDORONGKU SAMPAI NYARIS TERJEMBAB.
Yah.. mungkin saja itu tak sengaja. Kurasa lebih baik cari makan dulu.

DIA TAK AKAN PEDULI SOAL MAKANAN
Akhirnya, dominasi kedua sisi itu menimbulkan pikiran keisengan dalam diriku. Aku memutuskan untuk membawa si batok dan membeli makanan. Aku tahu, Hasa akan khawatir.. dan  tepat saat Hasa mencariku, aku akan muncul di hadapannya sambil membawa makanan dan tara... aku akan menggodanya yang sedang marah.
Aku menyeringai.

Setelah membawa helm di tempat parkir, aku memutuskan untuk membeli bubur ayam, walapun bukan kesukaan Hasa, tapi kurasa bubur ayam adalah menu yang tepat untuk sarapan. Setidaknya semoga itu bisa memperbaiki mood kita berdua.
Aku cukup lama mengantri, lalu tiba-tiba ponselku bergetar seiringan dengan Bapak tukang bubur ayam yang menanyakan pesananku.

“dua, yang satu pakai telor yang satu pakai ati ampela, jangan pakai kacang ya pa”

Aku membuka ponselku dan muncul nama Hasa disana.
[Hasa <3 : Kau pergi?]
[Hasa <3 : Yasudah aku pulang!]
[Hasa <3 : Makasih buat semuanya.]
[Hasa <3 : jaga diri baik baik]

Emosiku kembali bergejolak, perasaan antara panik, kecewa dan marah bercampur aduk dalam diriku.

[Leya : Sedang beli bubur]

Usai memberikan uangnya, aku bergegas kembali ke taman, Hasa sudah tak ada. Aku lalu mencarinya ke parkiran, motornya pun sudah tak ada.

[Leya : dimana?]
[Leya : setidaknya sarapan dulu]

[Hasa <3 : tak butuh!]
[Hasa <3 : aku merencanakan untuk menghabisakan waktu denganmu bukan hanya untuk sarapan!]

Aku menarik nafas dan membuangnya dengan kasar. Akhirnya, aku terduduk lemas di tempat kita berdua tadi sempat bercanda.

Bodoh kenapa jadi begini.

LIHAT! DIA BAHKAN TAK KHAWATIR DAN MENCARI TUH, MALAH MENINGGALKAN.

Diantara marah dan sedih, ketakutanku kembali menguar.

Bagaimana jika peristiwa dulu terulang lagi...? Dia benar-benar pergi.
Aku mendongakan kepalaku, demi menahan air mata. Tak boleh menangis, ini tempat umum. Aku duduk ditempat itu cukup lama, berharap Hasa melunakan sedikit kemarahannya dan kembali. Diambang antara harapan dan ketakutan adalah bukan sesuatu yang menyenangkan.

“Sini”

Tiba-tiba dari arah samping Hasa menarikku menjauh dari taman menuju tempat yang tak banyak orang berseliweran.

Dia kembali..

“APA MAKSUDMU PERGI MEMBAWA HELM MU?”

Bentak Hasa.

Aku hanya ingin membuatmu khawatir bodoh.

“KAU MAU MENINGGALKANKU!?”

“Aku cuma mau beli bubur”
Jawabku sambil membuka bungkus bubur untuk kita berdua. Hasa tak peduli soal buburnya.

“BOHONG. KAU MAU MENINGGALKANKU KAN!?”
Bentakan Hasa semakin menjadi, aku mendongakan kepalaku menatap kearahnya. Ada kemarahan dan perasaan takut disana.. sama... denganku?

“KAU PIKIR AKU BODOH? JANGAN BOHONG! KALAU MAU BELI BUBUR KENAPA HARUS BAWA HELM!?”
Kalau mau meninggalkanmu, saat ini aku mungkin sudah di kendaraan lain, bodoh. Bahkan mungkin sudah hampir sampai di tempat microteaching.

“DENGAR YA! SEKALINYA KAU MARAH, LALU PERGI BEGITU SAJA, SETERUSNYA KAU AKAN BEGITU. LALU TIBA-TIBA KAU BENAR-BENAR AKAN PERGI!!!! AKU SUDAH TAHU WATAK SEPERTI ITU. KUPIKIR KAU AKAN BERBEDA DENGAN PEREMPUAN LAIN TERNYATA SAMA SAJA!”

DEG!

“Aku.. tak.. akan pergi kok”
Kataku mulai terisak, aku berusaha memakan buburku untuk mengalihkan perhatianku.

“TERUS APA MAKSUDNYA PERGI BEGITU!? KALAU MAU AKHIRI SAJA SEKARANG HUBUNGAN KITA”
Untuk sepersekian detik duniaku berhenti.
Kalimat itu.... Bagaimana bisa kau mengucapkannya seringan itu? Sekalipun marah...setidaknya..
Aku mulai menangis. Aku kembali dipeluk rasa takut yang sudah lama kusimpan.

“Aku cuma mau beli bubur.” Jawabku berulang-ulang.  
Aku memberanikan diri menatap Hasa demi melihat sorot kesedihan dan ketakutan yang tampak sebersit tadi. Apa sorot itu masih ada disana? Atau dia sungguh-sungguh..

“AKU TAHU, POLA SEPERTI INI KARENA AKU SUDAH SERING MENGALAMINYA! SEKALINYA KAU TERBIASA PERGI, MAKA KAU AKAN PERGI!”

Sorot itu masih ada, timbul-tenggelam diantara rona ekspresi kemarahan Hasa.
Padahal kau yang...

“Maafkan....aku... tak... seharusnya aku.... membuatmu... khawatir”
Kataku terbata-bata. Air mataku sudah tak bisa lagi kukendalikan. Beruntung tak ada orang yang melihat situasiku yang memalukan ini.

“Kalau kau marah, bukan begitu cara menyelesaikannya. Bukan dengan pergi....”
Setidaknya kau tahu.. aku marah... tapi kenapa..

“Maafkan...aku..”
 Semua ocehan egoku runtuh oleh rasa takutku kehilangannya. Lagi.

Akhirnya Hasa berhenti bicara. Dia menarik nafas dalam dalam seolah sedang menarik ketenangan agar masuk kedalam dirinya.

“Jangan menangis... jelek”
Aku malah semakin terisak. Sambil membiarkanku tenggelam dalam tangisan, Hasa menghabiskan bubur yang sudah mulai dingin. Lalu Hasa mengusap kepalaku dan berusaha tersenyum.

“Jangan begitu lagi ya!”

“maaf..”

“sudah, cuci muka sana, kau harus microteaching bukan? Wajahmu jelek kalau nangis, gak ada cantik cantiknya”
Tanpa menggubris candaannya aku pergi mencari toilet umum untuk mengkondisikan kembali wajahku. Meskipun sudah tenang, masih ada kemarahan yang tersisa dalam diriku. Aku masih menyalahkan Hasa, seandainya dia tidak bercanda keterlaluan. Aku menatap wajahku dicermin, ekspresiku dengan Hasa, tak ada bedanya. Rasa takut, Kemarahan, Kekecewaan juga Ego tergambar jelas di ekspresi itu.

“Haha.. tentu saja, senyawa non polar, dengan kutub yang sama, akan susah terlarut” gumamku tiba-tiba ingat penjelasan guru Kimia SMA ku.

***
[Hasa <3 : aku tak jadi bertemu temanku, aku akan menunggumu sampai selesai, semangat ya, microteaching nya! <3]

Aku tersenyum sendiri membaca pesannya.
***
“Aley, ayoo belanjaa!”

“Aley kau suka spaghetti? Kita buat yang banyak ya!”

“Kita buat dagingnya yang banyak ya!”

Hasa terlihat ceria seperti sebelumnya. Dia benar-benar berusaha mencairkan suasana. Aku ingat, dia pernah bilang padaku bahwa dulu dia adalah tipikal pemarah yang tak pandang bulu. Entah perempuan ataupun laki-laki, jika sudah membuatnya marah dan kecewa.  Dia tak mau peduli.

Seberapa besar energi yang kau butuhkan untuk peduli padaku..?

“hehe makasih”

Untuk hari ini dan semuanya..
***

Aku dan Hasa tersenyum bangga setelah makanan hasil kita berdua telah tersaji dan tertata. Aku mulai foto-foto spaghetti hasil buatan kita untuk dipamerkan ke sosial media. Setelah itu, kami mulai berebut untuk menyantap mie ala italia itu. Aku dan Hasa makan sepiring berdua, karenanya dentingan antar garpu dan piring benar benar menjadi irama perebutan yang seru. Tapi akhirnya kita tertawa bersama, menikmati saat –saat itu.  
Setelah spaghetti itu ludes tak bersisa dan hanya menyisakan piring yang bersih dan licin. Hasa terdiam lama menatapku. Lalu dia mengulurkan tangannya untuk mengusap kepalaku selembut-lembutnya.

“Maafkan aku ya..”

Perasaanku langsung mencelos luluh, air mataku nyaris meleleh lagi.

“maafkan aku juga”

Hubungan adalah juga tentang menyeimbangkan polaritas yang dimiliki, antara positif dan negatif, antara panas dan dingin, antara marah dan ramah. Sebab seperti halnya senyawa polar yang memiliki dua kutub berbeda, ia justru akan lebih mudah melarutkan diri dalam ketenangan.

"Minggu depan kita kencan lagi ya, haha"

"Eh?"

"Kan belum sempat ke warung Mister English"

"hahaha, siaap" 

0 komentar: