Mirror-Mirror III : Cerita Pagi Tadi

“mirror..mirror the miracle of ours..”
Satu lagi koneksi virtual tersambung. Tanpa kabel, tanpa internet.
Kali ini mika berbaju  biru gelap, duduk manis di meja belajar sambil menanti serpihan-serpihan bayangan yang membentuk serupa dirinya. Ya. Serupa tapi tak sama.

“Halo, sayang~” sapaan yang ceria, seperti biasanya.

“Haii ...” Mika menatap sosok lain dirinya, kemudian membalas tersenyum. Ah! Bukan. Senyum ini bukan senyum kalem nan dewasa yang seperti biasanya. Mungkin temperatur suhu udara pagi ini yang minus sekian derajat, sedikit membekukan senyumnya. Belum lagi salju yang turun.

“Mika tidak pakai sweater??” intonasi manja-manja-perhatian terdengar dari si gadis cermin.
Mika kembali tersenyum, menggelengkan kepala. Pagi ini tidak terlalu dingin kok. Kira-kira begitulah senyumnya berbicara.

“Kau terlihat lebih kurus deh..” canda si gadis cermin—ingin menghangatkan pagi ini.
Lagi, lagi mika hanya tersenyum dengan makna yang berbeda. Aku kan sedang diet haha..Dia mencoba ikut bercanda dalam senyumnya.
.....

Beberapa menit, tidak terjadi percakapan diantara mereka. Si gadis cermin bertanya, Mika hanya tersenyum ini dan tersenyum itu. Sungguh, mungkin ini yang dimaksud sejuta makna senyuman. Senyuman Mika terlihat berbeda-beda! Seolah memang disetting untuk menjawab pertanyaan si gadis cermin.
Kali ini, Mika sungguh sulit untuk di baca keadaannya.  Dia tersenyum dalam diam, bahasa matanya pun begitu diam. Tidak menyiratkan apapun, tidak menceritakan apapun.

“Baiklah, kalau kau tak ingin bersuara.. ayo kita lakukan itu saja..” desah si gadis cermin mengalah, dia menyimpan telapak tangannya di permukaan cermin tersenyum manja seperti biasanya.

Mika kembali tersenyum setuju, setelah menganggukkan kepala, dia pun meletakan telapak tangannya di permukaan cermin, diposisi yang bersejajaran dengan tangan si gadis cermin. Dan....Wusssshhh!

Sebuah proyeksi imajinasi memutar ulang semua rekaman kehidupan Mika di pagi ini. Jika kau melihatnya, ini seperti kau tengah melakukan perjalanan teleportasi keangkasa, mendekati satu benda lalu melewatinya dengan laju yang cepat; mendalami satu kejadian, lalu melintasinya tanpa terhambat. Kemudian ketika kecepatan itu berhenti, tiba-tiba saja kau merasa ada di dalam sebuah cerita yang tidak nyata.

Wussh! Satu berkas cahaya bergerak :

Terlihat sebuah siluet buku novel yang terbuka—Novelnya Tere Liye dengan judul  Sunset bersama Rosie— setiap halamannya dibalik oleh jari-jemari yang tidak terlalu lentik, berhenti sejenak—membaca— lalu di balik lagi. Di satu bagian, sebuah kulipan bisa terbaca jelas.

Kata orang bijak, kita tidak pernah merasa lapar untuk dua hal. Satu karena jatuh cinta. Dua, karena kesedihan
mendalam. Aku pernah merasakan dua hal itu sekaligus. Cinta dan rasa sedih. Jadi bayangkanlah betapa tidak pentingnya urusan makan.

Si gadis cermin tertawa “Kurasa ini bukan alasan untuk membuatmu jadi terlihat kurus kan?” candanya dan Mika ikut tertawa. 

BRAK! Proyeksi buku itu tertutup  begitu saja. Kali ini adegannya berpindah pada screen Ponsel. Muncul sebuah Pesan SMS yang menyebalkan. Mika mendesah.

Si gadis cermin mulai tahu kemana cerita ini akan dibawa. Mungkin ada dua, tiga atau lebih dari tiga alur cerita. Semuanya bercampur aduk, berkemelut menjadi padu. Sepertinya ini yang membuat Mika terdiam, dia terlalu bingung untuk menceritakan semuanya.

Agaknya, ini akan menjadi cerita yang panjang. Baiklah aku singkat saja cerita intinya. Kita kembali ke proyeksi imajinasi mereka :

Alur  1
Pesan Keluhan. Sungguh, seolah tidak ada ucapan selamat pagi yang lebih indah dari pada pesan itu. Mika membacanya, lalu melenguh tertahan.
Dengan melempar handponenya keatas bantal, itu sudah cukup membuatnya kembali tersenyum. Tidak boleh ada yang menganggu pagi hari miliknya.
Tapi, dengan melempar handpone bukan berarti Mika tidak menanggapi pesan itu. Dia hanya akan mengawasi situasi dulu. Nanti-nanti, kalau kepalanya sudah dingin, baru dia akan membalasnya.
Meski faktanya, Kepala Mika tetap tidak bisa berhenti khawatir. Ini soal orang banyak, soal kebijakan yang berat dan mengganggu, soal letupan-letupan propaganda, soal cerita the little riding hood dan the wolf soal keputusan Merida di tengah dilemma kerajaan yang kehilangan ratunya. Pesan Keluhan itu tampaknya memiliki mantra ajaib tersendiri.  Itu memang tidak memengaruhi ekspresi Mika —setidaknya belum— tapi siapa yang tahu apa yang Mika pusingkan?
Tuhan dan si gadis cermin tahu.

 Alur 2
Lupakan soal keluhan. Senyum Mika kembali terkembang, setidaknya hari ini Mika masih bisa bertemu dan bercanda dengan temannya.
Proyeksi kembali ke novel lalu ke layar ponsel. Kali ini bukan pesan, tapi page facebook.  Demi, menatap proyeksi kali ini, mata si gadis cermin membulat.  Menatap Mika lamat-lamat, Mika mengangguk meng-iya-kan.

“Sudah selesai bukan?” kali ini akhirnya Mika bersuara sambil tertawa (miris), teringat Cerita Kemarin Sore.

“kalian menyelesaikannya dengan cara masing-masing. Payah” si gadis cermin merajuk, bibirnya ia majukan beberapa sentimeter.

“haha” tawa Mika getir.

Si gadis cermin tahu, pagi itu, sementara di alur pertama tidak ada keputusan, di alur ini justru keputusan telah di ambil. Keputusan yang di tentukan oleh alur cerita. Ini bukan lagi soal Merida atau the little riding hood  bersama serigala. Ini soal keputusan pocahontas yang cerita akhirnya telah ditentukan. Seperti cerita caramel milk tea dalam versi  endingyang berbeda.

Alur 3

Tuhan berbaik hati untuk menghibur Mika pagi ini. Kau tidak selemah yang kau kira, tidak pula sepincang yang kau duga. Kau masih bisa berdiri, masih bisa bersandar diatas kaki.Begitulah kira-kira cara pagi hari menyampaikan semangat pada Mika.

Bersama, temannya Mika kembali bercanda, berbincang, lalu tertawa. Lupakan soal keputusan. Senyum Mika kembali terkembang. Sedang bulir salju mulai turun perlahan, mendinginkan suasana pagi.

Sejenak, proyeksi imajinasi mereka terfokus pada canda tawa, lalu kembali ke ponsel. Pesan Keluhan kembali datang, tidak satu, tapi menyeruak meminta diperhatikan. Berpindah ke page facebook lagi, minta diperhatikan lagi.

Soal cerita the little riding hood dan serigala kembali berlanjut, pun demikian dengan cerita Merida dan beruang Mor’du.

Geraman itu muncul tiba-tiba. Kenapa harus sekarang! Mungkin itu maksudnya.
Terlambat, pagi itu terlalu emosional untuk Mika. Logikanya sedikit luluh. Menggeram, menghentak, menjerit dalam bantal. Mika melupakan sesuatu, teman-temannya.

Alur 4

Tarik nafas-keluarkan.. Mika menempelkan kepalanya yang panas di permukaan jendela. Yah, setidaknya dinginnya salju yang bertengger di jendela bisa ikut serta mendinginkan kepalanya bukan?
Sayang, salju tidak hanya mendinginkan pikiran di kepalanya, tapi juga senyumannya, matanya, hatinya, terlebih lagi suaranya.

Meski  Mika mencoba kembali kepada candaan bersama kawannya. Sungguh! Jatuhnya justru akan menjadi sesuatu yang mengerikan.  Dia harus menjauh. Sebelum dia menyebarkan hawa dingin—yang menyebabkan hiotermia— pagi ini pada teman-temannya.

Alur 5 dan sisanya.

Tidak berselang lama, lewat pesan ponsel yang sama, page facebook yang sama bermunculan alur 5, alur 6 alur 7 dan seterusnya. Memang mengalur kecil-kecilan sih, tapi cukuplah..

timingnya sangat tepat” Mika bergumam, lalu tersenyum, lalu terkikik geli—Merasa ada dalam cerita-cerita fantasi lucu yang terbolak balik.

Saking lucunya, Mika sampai-sampai ingin melempar ponselnya ke tembok demi membuat senyuman lagi. Tapi tunggu, ponsel itu memang menyebalkan, tapi masih berguna. Jadi Mika urungkan niatnya melempar ponsel, menyimpannya di saku baju. Dia tertawa geli melihat tingkah bodohnya sendiri lalu merebahkan diri.
Sisanya, proyeksi imajinasi mereka menampilkan guratan langit-langit kamar yang lenggang. Lalu mengabur.
---

Mika tersenyum manis menatap si gadis cermin.
“Aku yakin, kau pasti akan baik-baik saja”

Mika mengangguk lalu tersenyum lagi.

“Terima kasih”

Kali ini suaranya mulai kembali normal. Satu butiran sajlu meleleh di bingkai jendelanya.

Mereka berdua saling bersitatap penuh arti. Lalu mulai merapal lagi

“mirror-mirror the miracle of ours

Perlahan,  si gadis cermin mulai membayang seperti asap

“Ah Mika! Jangan lupa makan!” teriaknya ceria sebelum sempurna menghilang.

Mika hanya tertawa mendengarnya, “aku tak pernah lupa!” gumamnya di sela-sela tawa.

Hari itu matahari mulai merangkak naik menggantikan nama pagi dengan siang. Butiran-butiran salju mulai meleleh lalu mengembun di jendela.

Selesaikan soal keluhan, selesaikan soal keputusan (ah! Ini kan memang sudah selesai?), selesaikan soal teman, selesaikan soal pesan ini pesan itu. Tenang saja. Hari esok masih ada. Biarkan esok tetap menjadi misteri. Siapa tahu esok Mika akan tertawa geli mendengar ceritaku ini. Ya, siapa tahu kan?