Gadis Pelanggan : Paranoiac

“I saw a girl today at a café. She had no smartphone, tablet, or Laptop. She just sat there drinking her coffee. Like a psychopath.”

“Klining”
Aku memasuki sebuah café bersama teman-teman kantorku. Sudah sejak lama, mereka ‘meraung ingin makan siang gratis di café terkenal. Akhirnya, disinilah aku, di depan kasir, melihat mereka meributkan menu makanan yang dipilih, sementara aku memegangi dompetku erat-erat. Aku menatap sekeliling café untuk mencari tempat kosong yang cukup banyak untuk kami semua. Suasana café ini sedikit gelap, karena cuaca yang mendung dan hujan deras. Desain café yang didominasi kaca dan memperlihatkan pemandangan luar yang jelas membuat suasana tempat ini seolah menyesuaikan dengan musim. Karena itulah, hari ini café nya terlihat mendung, agak kelam dan abu-abu. Seperti musim hujan.
Sejenak, mataku terhenti pada sebuah bangku. Aku melihat seorang gadis sekilas menatap tajam ke arah kami. Dia kemudian memalingkan wajahnya kearah lain untuk menatap keluar jendela. Hanya beberapa detik pandangan kami bertabrakan, dan aku sudah merasa merinding. Tatapannya begitu tajam.
Aku mengalihkan pikiranku, dan segera menemukan tempat yang cukup untuk kami semua. Jarak tempat kami duduk, tenyata hanya terpisah dua bangku secara diagonal dari tempat duduk gadis bermata tajam itu. Ini membuatku bisa melihat gerak geriknya dengan jelas.
Gadis berambut legam itu begitu aneh. Dia hanya duduk dikursinya sambil menatap hujan dengan (tentu saja) tatapannya yang tajam. Secangkir kopi yang berada di depannya pun hanya terlihat sebagai pajangan saja. Hampir dua puluh menit berlalu, dan dia bertahan dengan posisi diamnya yang menopang dagu.
“Psst..Ian, liat sana deh” aku menyenggol teman sebelahku sambil menujuk gadis itu.
“wih, bening, jeli juga matanya” katanya sambil mengunyah steak dimulutnya.
“bukan gitu! Ini makanan kita udah hampir habis, tapi dia ngga bergerak sama sekali loh!”
“wah, tak bergerak? Jangan-jangan dia mati?” katanya bercanda sambil tertawa.
Candaan yang menurutku tak lucu, tapi kata ‘mati’ justru menarik perhatian teman-temanku yang lain. Mulailah mereka tertawa dengan jokes ‘kematian’ nya yang tak lucu. Aku menoleh sedikit kearah gadis itu dan menjadi begitu kaget karena mendapati dia sedang menatap balik kearah kami dengan tatapan mata yang begitu kosong.
Ya Tuhan, apa dia mendengar apa yang kita bicarakan?
Aku semakin merinding melihat caranya menatap. Kini, dia menatap daftar menu di depannya, namun sejenak kemudian, dia tersentak seolah ingat sesuatu. Lalu dia…. Menyeringai? Dia membuka resleting tas abunya dan mengeluarkan buku bersampul hitam pekat, sepekat rambut dan bola matanya. Aku menarik nafas perlahan, lalu mengalihkan pandanganku kearah teman-temanku. Meski ternyata, ekor mataku diam-diam masih mengawasinya.
Aku melihat dia menutup kembali bukunya lalu menghela nafas pendek. Tak berselang, seorang pelayan muda datang membawakan makanan untuknya. Dia tersenyum aneh. Senyumnya begitu ramah namun dipaksakan, sementara matanya jelas memicing kearah pelayan café itu. Lalu dia kembali menghela nafas.
Dia sedang makan dengan ketenangan yang tidak biasa. Dari caranya makan, dia seolah hanya sedang menahan diri untuk terlihat lebih ‘normal’. Tak membutuhkan waktu sampai lima menit untuk dia selesai makan lalu melewati meja kami, dia berjalan kearah kasir dan membawa hawa dingin yang membuatku semakin merinding saja. Dia makan terlalu cepat, untuk orang yang bisa berdiam diri terlalu lama!
Di kasir, dia memesan sesuatu untuk di bungkus, aku mendengar samar samar kata “danging…segar….. pelayan muda….”. Aku dan yang lainnya langsung berjalan melewatinya menuju pintu keluar, sementara dia membayar di kasir. Pandangan kami lagi-lagi bertabrakan dan tatapan kosongnya yang tajam tetap membuatku merasa kedinginan.
“Klining”
………
“Klining”
Tanpa jeda yang lama, aku melihatnya menyusul kami, keluar dari café itu. Tepat saat dia menutup pintu café, aku melihatnya menyeringai dengan buku bersampul hitam bertuliskan “death” di tangannya. Pandangannya mulai bergerak kearahku.
Dan sebelum pandangan kami beradu lagi, aku buru-buru menutup pintu taksi yang kutumpangi.

0 komentar: