Gadis Pelanggan : Reality

Hujan di siang hari, dan aku terjebak karenanya. Mau tak mau, aku harus mencari tempat berteduh yang cukup nyaman karena aku yakin hujan ini tak akan berhenti hanya dalam waktu lima menit. Sebuah café di ujung jalan, terlihat cukup meyakinkanku untuk menunggu hujan reda disana.

“Klining”
Aku memasuki café itu dan mendapati ada banyak pelanggan disana, café ini cukup ramai untuk ukuran café yang temaram. Tapi, hal ini membuatku sulit menemukan tempat duduk yang strategis. Terlebih lagi, semua pelanggan café ini duduk berkelompok dan berpasangan. Agak sulit, menemukan tempat yang tidak terlalu mencolok, aku tak ingin terlihat seperti seorang sociopathyang sedang dikucilkan.
Usai memesan makanan, akhirnya aku menemukan sebuah tempat, di dekat jendela besar. Kupikir tempat ini tak buruk juga. Beberapa pasangan yang duduk berduaan melihatku berjalan kearah tempat duduk itu. Aku sendiri tak mau menebak apa yang sedang mereka pikirkan. Pikiranku terlalu penat mengkhawatirkan ponselku yang baru saja jatuh ke lubang gorong-gorong di dekat kampus.
“haaaaah”
Harusnya tadi aku memasukan ponselku ke dalam tas. Sekarang aku jadi tak bisa memakainya dan harus memperbaikinya.
Aku melihat keluar jendela, melihat air yang jatuh berhamburan begitu deras, lalu sesekali melihat jarum jam tanganku yang bergerak setiap detiknya. Aku mencoba sok pintar, dengan menghitung seberapa cepat waktu yang dibutuhkan untuk air yang menetes dari genting untuk sampai di tanah. Ternyata, aku memang kurang kerjaan.
Kurasa hujannya tak akan cepat reda. Sayang sekali, hari ini aku tak membawa notebook ku. Padahal di depan café ini terpampang kalimat motivasi yang sedernaha namun indah : ‘Free Wifi’
“haaaaah”
Tanpa sadar aku mengeluh lagi.
Sambil menopang daguku karena kebosanan tingkat dewa, aku kembali menghitung kecepatan air yang jatuh ke tanah, kali ini dengan menggunakan rumus andalan E = mc2 milik tuan Einstein. Tapi sia-sia. Aku bahkan tak paham sama sekali rumus itu. Apalagi, rumus itu tak akan membuat pelayan café ini bekerja lebih cepat.
“Permisi kak, saya benar-benar minta maaf terlambat mengantarkan kopi nya, saya masih baru di sini kak, jadi mohon di maklumi, maaf juga makanan yang kakak pesan akan lebih lama, jadi…..”
Ujung-ujungnya pelayan itu curhat padaku. Aku hanya tersenyum seadanya sambil mengucapkan ‘tak apa terima kasih’ agar pelayan itu tidak sampai bercerita soal kisah hidupnya. Meski begitu, tetap saja perutku jelas sekali keroncongan.
“hmmmm” aku menghela nafas entah yang keberapa kalinya.
Masalahnya, kalau meminum kopinya sekarang, cita rasa gabungan kopi dan kue yang aku idamkan tak akan tercapai. Dan aku tak mau kalau harus memesan kopinya dua kali. Terlalu mahal. Akhirnya aku hanya bisa menatap kopi itu penuh hasrat keinginan. Membiarkannya tak tersentuh untuk sementara.
klining
Segerombolan pemuda kantoran masuk ke café ini, dan aku mendapati wajah yang tak asing diantara mereka. Aku yakin aku pernah bertemu dengannya, tapi siapa ya? dimana pula? Aku menatapnya sambil mengingat-ingat. Dan tiba-tiba dia balik menatapku. Seperti kucing yang tertangkap basah memerhatikan ikan asin, aku segera memalingkan wajahku.
Aku kembali melakukan kegiatan ‘kurang kerjaan,’ dari menghitung jumlah mobil yang berlalu lalang diluar, menebak pakaian dalam anak SMA yang hujan-hujanan, menebak berapa kali tukang parkir meniup peluitnya dalam satu menit, menghitung kedalaman genangan air dan bahkan menghitung jumlah rintik hujan. Tapi aku tetap merasa bosan.
Ah… iya, makananku belum juga muncul. Kue pesananku…
Aku melihat gerombolan pemuda kantoran yang datang setelahku, sudah mendapatkan makanan pesanannya. Bagaimana mungkin…. Kali ini perutku benar-benar sempurna sedang keroncongan, dan meja para pemuda kantoran yang penuh makanan itu terlihat seperti surga. Aku hanya bisa menatapnya kosong. Bagaimana mungkin MAKANANKU BELUM SAMPAI PADAKU?
Akhirnya aku mencoba mengalihkan rasa laparku membaca daftar menu di mejaku. Eh? Membaca? Tunggu dulu.. kalau tidak salah Lili tadi meminjamkan novelnya padaku. Aku tersenyum senang.
Aku segera mencari buku yang Lili berikan padaku, dan ternyata memang ada sebuah novel berjudul ‘Death-Cure’ Aku agak menyesal karena baru ingat ada novel di tasku, jika sejak tadi aku ingat, mungkin aku tidak perlu melakukan hal-hal ‘kurang kerjaan’ itu. Aku membuka novel itu dan penyesalanku (karena baru ingat ada novel di tasku) sirna seketika. Sialan, novel ini berbahasa inggris! Aku tahu Lili sedang menyindir nilai C ku di mata kuliah bahasa inggris. Dasar!
Tak lama, pelayan muda tadi muncul kembali dengan ribuan ucapan maafnya, sekaligus curhatnya (lagi). Tapi aku tak begitu menyimak. Aku lapar. Akhirnya aku tetap berusaha tersenyum dan mengatakan ‘terima kasih’ untuk menutup pembicaraan. Setelah itu aku tak ingat apapun lagi selain makan.
Aku berusaha makan setenang mungkin, meski rasa laparku tak begitu bisa tertahan. Sedangkan otakku sudah berencana akan memesan makanan lagi untuk kumakan di rumah. Hujan deras pun mulai berubah menjadi gerimis. Kurasa, tak masalah jika aku langsung pulang sekarang saja.
Usai makan, aku membawa novel Lili dan memesan makanan lagi. “Daging steaknya satu ya! Tempat ini cukup segar ya mba! Oh ya, pelayan yang muda itu baru ya mba? Baik ya” Aku berbasa basi sambil menunggu kembalian. Aku melihat para pemuda kantoran itu juga selesai makan, lagi-lagi pemuda yang sepertinya ku kenal itu memergokiku sedang menatapnya. Tapi, biarlah. Sepertinya aku agak kesulitan dalam mengingat.
“Klining”
kulihat mereka pun keluar dan berpisah.
…………
“klining”
Aku pun keluar dengan bahagia, setelah mendapatkan kembalianku plus bonus porsi daging karena pemilik café nya tahu aku terlambat mendapatkan makananku tadi.
Aku menahan senyum kegiranganku.
Yah beginilah hidup normal.

0 komentar: