Mozaik Sembilan

//Jatuh//




Aku selalu bilang pada Lea, bahwa suatu saat, dia harus jaruh cinta. Dengan begitu, dia akan mempelajari emosi terbesar dalam hidupnya. Tapi kurasa aku menyesali hal itu. emosi itu terlalu besar untuk Lea yang bahkan tak bisa mengenali emosinya sendiri.


"sudah jatuh cinta Kuro, kurasa aku sedang mengalaminya"
katanya sambil mengalihkan pandangan dan menutup sebagian ekspresinya yang sedang tersipu. Manis, tapi aku khawatir.

"aku tak setuju Lea.. Hasa tidak benar benar menyukaimu!" 
Aku salah, Lea tak seharusnya menyukai Hasa.

"Dia memperlakukanmu sama saja dengan perempuan yang lainnya, Lea. Tapi sedikit saja kau ramah pada laki-laki, dia menuduhmu macam macam"

"Dia mengujimu berulang kali Lea, dia bahkan tak mempercayaimu, Tapi dia berulang kali meragukan kepercayaanmu!"

"Dia sombong. Dia bahkan yakin bisa mudah mendapatkanmu Lea."

"Dia hanya menganggapmu target rasa penasarannya"

"Dia merokok!"

"Dia berandal!"

"Dia tak pernah mau benar-benar mendengarkanmu!"

"Masa depannya bahkan tidak jelas!"

Aku menyebutkan sederetan kesalahan kesalahan fatal yang dilakukan Hasa dan membuatku kesal. Dia bahkan tidak bisa membuat Lea lebih baik seperti dugaanku.

"Kau seperti sedang membicarakanku, Kuro."

Kali ini, Lea punya keberanian menatapku lebih tajam dari biasanya. Ini pertama kalinya Lea terlihat marah padaku. Dia bahkan tak lagi mendengarkanku akhir-akhir ini. 

"Kau tidak merokok dan bukan berandal, bodoh!"

"Tapi bukan berarti aku lebih baik darinya bukan?"

"Tentu saja kau yang terbaik Lea!"

Kau tahu Lea? Kau benar-benar terlihat dibodohi olehnya saat ini..

"besok aku akan bertemu keluarganya, akan kupastikan kalau kali ini, aku benar Kuro. Hasa juga yang terbaik"

Lea lalu terdiam, menutup pembicaraanku soal Hasa.

***

Sore itu Lea mematung di terminal bis, menunggu jawaban dari Hasa. Sedangkan Tana menemani di sampingnya.

Hasa : [sudahlah. pulang saja. kita batalkan saja pertemuan kita]

Kepalaku mulai mendidih. Yang benar saja? Dia mengusir Lea? Pertama, dia membuat Lea harus datang ketempatnya. Lea sudah datang sejauh ini,  lalu dia membuang Lea begitu saja karena Lea terlambat?

Kulihat Lea menahan nafas.

"ayo Tana, kita makan saja. Kurasa dia marah, liburan kita dibatalkan"

"kau baik baik saja Lea? Bagaimana dong? urusan kerjaannya terlalu lama ya?"
Tana justru terlihat lebih panik dari Lea. Lea mengangguk biasa saja.

Hari ini (tadinya), Lea akan pergi kerumah Hasa di kota seberang. Tapi, Lea harus mengurusi kepindahan pekerjaanya terlebih dahulu. Hasa sudah setuju.

Tapi semuanya tiba-tiba menjadi berantakan.

Lewat chat pribadi, kemarahan demi kemarahan terlempar dari Lea dan Hasa. Hingga akhirnya puncak kekesalan Hasa meledak begitu saja.

"Sudahlah Lea, aku lelah menghadapimu"

Kalimat itu terlalu fatal untuk Lea.

'Ibu lelah Aleya, ibu tak paham apa maumu'

'Aku menyerah Lea, mengejarmu itu bikin lelah'

'lelah...' 'lelah...' 'lelah...'

Serpihan ingatan Lea meringsek pikirannya sekaligus. Bagi Lea, semua orang selalu menyerah padanya. Sama saja. Hasa pun sama saja.

Air mata mulai menggenang dan mengalir tanpa aba-aba.

"Aleyaa...? kau menangis? bagaimana dong? aduh.. kau pulang duluan saja, biar aku yang ambil pesanan makananmu!" Di tengah keramaian tempat makan, Aleya lupa harga dirinya, dia hanya menangis begitu saja. 

"duh maaf" gunam Lea pelan. Dia mendengarkan usulan Tana lalu meninggalkannya. Dia tak tahu lagi soal beberapa pasang yang melihatnya. Air matanya tak mau berhenti mengalir. Dan dalam posisi seperti ini, Lea bahkan tak bisa menyadari keberadaanku.

***
"GILA! APA APAAN DIA!? BERTINGKAH SEOLAH DIA YANG TERLUKA!? PRIA MACAM APA YANG MENYURUH PEREMPUANNYA MENGHAMPIRINYA! HE DOESN'T EVEN TREAT YOU LIKE A LADY! KEMARIKAN HAPEMU BIAR KU KASIH TAHU!" 
Tana dan Nura tak berhenti mengeluarkan umpatan untuk Hasa. Sedangkan Lea masih di posisi nadir nya. Kesadarannya saat ini bahkan entah berada dimana. Benar-benar baru kali ini aku melihat Lea sekosong itu.

"Lea, jangan libatkan teman temanmu. tenangkan dirimu dulu!"
Aku berteriak, tapi percuma. Lea benar benar tak bisa menyadari keberadaanku. Lea hanya menangis dan menangis. Kepercayaannya sudah jatuh sekaligus. 

Keberadaan Tana, seperti pedang bermata dua, satu sisi ia melindungi Lea yang terluka. Disisi lain ia juga membuat Lea terpuruk dengan menyudutkan Hasa.

Beruntung, untuk beberapa saat, Lea mulai sadar. Dia mengunci ponselnya rapat rapat dan mengabaikan kemarahan Hasa dan Tana. Dia mendinginkan kepalanya dan memutuskan untuk pergi.

"kurasa aku akan ke Bogor. Zahra bisa menetralkan kondisiku" gumam Lea di stasiun

"kau gila Lea!? kau bisa sampai disana tengah malam! pulang saja kerumah!"
Lagi lagi percuma. Lea tak mendengarkan.

Aku frustasi. Lea tidak sedikitpun bisa menyadari keberadaanku. Pada malamnya Lea tidak pulang kerumahnya. Dia pun tidak datang ke tempat Zahra. Dia menjebakkan dirinya sendiri di sebuah tempat asing. Dia tak ingin bertemu siapapun.

Hasa masih mendesak Lea untuk bicara. Dia bahkan tak membiarkan Lea untuk menenangkan pikirannya. Sedangkan aku bisa apa? aku hanya terkulai mengikuti Lea kemana mana. Suaraku mulai parau karena memanggil manggilnya. Lea tetap tidak bisa mendengarkanku.

0 komentar: