Mozaik Delapan

//Runtuh//



Tidak semuanya selalu akan berjalan baik-baik saja. Aku tahu, pada akhirnya akan seperti ini. Aleya, aku menjadi satu-satunya orang yang di permainkan Hasa.

Saat ini emosi Aleya begitu kacau balau. Jika sudah begini, aku yakin bahwa Aleya sudah menumpuk banyak emosi sebelumnya. 

"Hei, Kuro. does death feel better?" gumam Aleya, mata kosongnya berkaca kaca menatapku. Aku selalu benci sisi Lea yang seperti ini, dia bahkan tak menghargai kehidupannya sendiri. 

"Kau tau, aku paling benci kalau kau bertanya begitu"

"hahaha,  sayangnya aku lebih benci lagi pada diriku sendiri"
Lea tertawa sarkastik, padahal dia sedang menangis. Ekspresi yang menyebalkan. 

Seandainya saja Hasa tak berulah, mungkin Lea tak akan begini lagi. Sumpah! Kurasa kesalahan besar aku mendekatkan Lea pada Hasa. Aku tak memperhitungkan nya dengan cermat, kalau Hasa, jauh lebih cerdik dan picik dariku.

"hubungi Tana" perintahku pada Lea.

"dia sibuk" Lea bangkit dari posisinya, mencoba kembali mengerjakan pekerjaannya. Ini akan jadi hal yang buruk kalau Lea mengabaikan kemarahannya lagi.

"jangan kerjakan apapun! hubungi zahra! ya tuhan Lea! berhenti bertingkah seolah tidak ada apa apa! keluarkan saja emosimu!"
Kali ini justru aku yang mulai menangis membentak Lea. Semakin Lea menumpuk emosinya, semakin aku bisa merasakan rasa sakitnya.

Sejak tadi ponsel Lea tak berhenti berdering.

Hasa : [tadinya ini hanya main main saja. tapi aku kecewa]

Hasa : [bagaimana bisa kau seakrab itu dengan orang yang tak dikenal? kau memberi orang kesempatan!]

Hasa : [kau merasa senang jika banyak yang menyukaimu? aku kecewa]

"DIA PIKIR DIA YANG HARUS KECEWA? DIA SUDAH MERENDAHKAN LEA KU! DIA BAHKAN TIDAK MENGHARGAI PRIVASI LEA DENGAN MEMBOHONGI LEA! KENAPA DIA YANG MARAH?" 

Aku melempar ponsel yang dipegang Lea. Kemarahan Lea sudah sempurna berpindah kepadaku. Aku amat murka pada Hasa.

Pertama, karena dia menjadikan Lea bahan permainan. Bagaimana bisa dia memata-matai ponsel Lea hanya untuk taruhan dengan teman-temannya?

Kedua, karena dia membalikkan keadaan. Kali ini dia yang justru marah pada Lea hanya karena ada percakapan dari teman laki-laki Lea. Lalu dia meragukan Lea semaunya! Apa salahnya jika ada orang yang menyukai Lea hah? Lea bahkan tak pernah memikirkan siapapun kecuali dia! Seandainya dia mau, aku bisa saja membuatnya memilih orang yang lebih baik dari dia!

Jika sudah begini, hanya ada emosi putus asa yang tersisa pada diri Lea. Aku melihat matanya semakin gelap setelah menangis dan mengadu pada Zahra. Ini bukan hal yang baik.

"sudahlah, aku tak peduli" 
sahut Lea tenang (yang menurutku justru menakutkan). Seharusnya aku tak mengambil alih kemarahan Lea.
Seharusnya Lea marah saja.

Hasa : [kau kalau mau marah marah saja! meskipun aku kecewa, aku juga mau tahu]

Hasa masih mendesak Lea bicara rupanya. Aku ingin mengutuknya saja.


***

"hhh..aku tidak bisa marah padanya, Kuro. dia tak sepenuhnya salah"

Keesokan harinya, Lea sudah kembali seperti biasa. Tapi bagiku ini sesuatu yang tidak biasa.

"Tentu saja dia salah! kau cuma tak bisa membela diri, kau cenderung menyalahkan dirimu sendiri!"

Lea tersenyum padaku, dia mengelus kepalaku dengan lembut.

"iya kita berdua memang salah, tapi kita berdua sudah membicarakannya"

Pertengkaran mereka selalu berakhir begitu. Hasa selalu mencari masalah dengan Lea, dia memancing kemarahan Lea lalu dia meredamnya begitu saja. Hanya saja dia selalu meninggalkan rasa bersalah pada Lea.

Aku merasa Lea sudah terbiasa dengannya.

Tapi aku menduga itu bukan hal yang baik. Ada sesuatu yang salah pada Lea. Dibandingkan menghancurkan dinding pembatas yang ada pada dirinya, Lea justru sedang meruntuhkan dinding kepercayaan yang sudah dia miliki.

Seharusnya tak begini.

0 komentar: