Mozaik Lima

//Tantangan Kedua//

"Challenge?" Tanyaku pada Lea. 

Itu adalah permainan favoritku dan Lea. Permainannya sederhana. Kita hanya perlu membuat sebuah tantangan dan berlomba lomba untuk menyelesaikannya. Pemenangnya bisa meminta apapun dari yang kalah.

Lea mengangguk. Dia meng-iya-kan bahwa Hasa mengajaknya melakukan permainan yang sama. Aku agak cemburu.

"Tantangannya?"

"Membaca 30 novel pendek dalam sebulan dan mereviewnya"

"Kau menang?"

Lea menggelengkan kepalanya. Dia kalah? Padahal dia selalu memenangkan permainan itu dariku. Lea selalu ambisius. Tapi kali ini dia kalah!?

"Dia minta apa?"

"Minta dikirimi hadiah. Juga di traktir nonton"

Serius. Entah kenapa, anak itu tau caranya menghadapi Lea. Akan sulit sekali mengajak Lea menonton secara langsung. Dia membuat Lea tak punya pilihan lain. Tapi tunggu, dia tidak sedang meanfaatkan Lea bukan?

Sebenarnya, sikap Hasa membuatku sedikit berharap agar dia juga bisa paham bahasa anehnya Lea. Maksudku, Lea tak bisa berbicara dengan jelas, dia punya isyarat lain untuk mengungkapkan perasaannya.

"hei Kuro, jadi bagaimana?"
Lea mulai tak sabar melihatku lebih banyak diam memikirkan Hasa.

"Jadi kau mau beli hadiah untuknya?"

Lea mengangguk sambil membawa tas selempang khasnya. Aku meringsek masuk ke tas itu sambil mengeong keras.

"Baiklah aku ikut!!"

Mau tak mau Lea harus membawaku, dan aku benar-benar harus ikut dengannya.

***

"Horror!"

"Disney!"

"Action?"

"Disney!"

Mereka berdebat soal pilihan tayangan yang akan mereka tonton di bioskop. Lea selalu bersikeras menonton film Disney. Itulah mungkin alasan skill sosialnya tak pernah berkembang di dunia nyata. Dia terlalu sering berkhayal.

"Kita tonton yang lain aja Aley. Akan aku download semua film Disney untukmu. Sekarang ini, yang menang challenge game kan aku"

Lea langsung bungkam. Hasa memilih film horror, dan Lea semakin bungkam. Aku tahu, dalam hatinya dia sedang mengutuk Hasa.

Lea sebenarnya bukan tipikal penakut. Dia hanya mudah kaget jika harus mendengar suara ghaib semacam jeritan tiba-tiba. Dan saat itu, Lea lupa membawa earphone di tasnya. Sepanjang menonton di bioskop, ia harus menutup telinga dengan tangannya.

"Hei. Pulangnya temani aku tengok temanku ya!"  bisik Hasa sambil mencolek lengan Lea.

"Haah!?" 

"Temani aku tengok temen!!!"

"Ap--!?"

Hasa menarik lengan Lea yang bertengger di telinganya. Dia mendekatkan wajahnya ke telinga Lea.

"Nanti temani ke temen!"

Lea mengangguk lalu cepat cepat menarik lengannya kembali ke telinga. Dari dalam tas aku bisa merasakan degup jantung Lea berirama. 

"Shit" gumam Lea amat pelan.

Lea, benar-benar tidak berpengalaman dengan anak laki-laki. Hal semacam ini jelas akan membuatnya gugup luar biasa. Tapi berani-beraninya anak itu memegang tangan Lea! 

***
Pembicaraan Hasa dan Genta (teman Hasa) berlangsung lebih lama daripada durasi gibah ibu ibu sosialita. Lea sesekali ikut berbicara, namun lebih banyak mendengarkan. Seperti biasa. Lea berulang kali melihat jam tangannya. Sepertinya, kali ini ia akan menabrak jam malam asramanya. Satu peraturan ia langgar : tidak pulang larut.

Aku ingin sekali menyela dan membubarkan pembicaraan mereka. Tapi Lea menahanku.

"Aku pun pasti begitu kalau rindu pada temanku" Bisik Lea padaku. Aku paham, tapi bagaimana dia tidur malam ini jika tidak pulang ke asrama? Lea bodoh. Ah sepertinya aku yang bodoh, membiarkan Lea bergaul dengannya.

Di perjalanan pulang, Hasa baru bertanya.

"Sudah jam sembilan, asrama mu masih dibuka?"

Tentu saja tidak, bodoh.

"Kurasa sudah dikunci"
Lea tetap tenang. Padahal aku tahu dia sedang panik. Sejak tadi dia menghubungi kawannya yang hanya bisa dihitung jari. Berharap ada tempat untuknya menginap"

"Apa kau mau menginap di rumah saudara perempuanku?"

Tentu saja relasi Hasa lebih luas daripada Lea. Tapi Lea terlalu canggung untuk menginap di rumah orang asing.

"Tidak. Kurasa, ada temanku yang mengizinkanku menginap"

"Oke. Aku antar kesana. Tapi kita beli camilan dulu ya. Kita belum makan"
Sahut Hasa.

Lea menurut saja. 

Hasa memacu motornya agar melaju dengan kecepatan maksimal. Kurasa dia merasa bersalah karena membuat Lea terlalu lama menemaninya.

"Aley, aku lapar. Minta camilannya dong!"
Hasa berteriak di tengah laju motornya

"Hah!?"
Lea yang sedang asyik dibonceng sambil ngemil nyaris saja tersedak.

'Maksudnya kita harus berhenti dulu atau gimana!?
Lea menatapku bingung. Sialan sekali anak bernama Hasa ini. Sepertnya dia benar-benar tahu caranya berurusan dengan wanita.

"Aley! Minta camilan!" 

Lea sekali lagi menatapku bingung. 'Tangan Hasa sedang memegang kendali motor, gimana caranya dia pegang camilannya?'

"Aleeey!!!?"

Lea reflek menjulurkan tangannya yang memegang camilan kedepan. Hasa memakannya dari tangan Lea. Dia menyuapi Hasa!

Aku ingin sekali mencakar muka Hasa saat itu juga. Sayang sekali, aku bisa membunuh Lea juga jika melakukan itu. Mereka bisa kecelakaan.

Lea memalingkan mukanya yang merah padam. Meskipun aku yakin, tak ada yang melihatnya karena laju kecepatan motor dan pencahayaan malam hari yang minim.

Lea berulang kali menarik nafas dan mengembuskannya, menarik nafas lagi lalu menghembuskannya lagi seperti orang yang terkena serangan panik mendadak.

"Kau baik baik saja Leaa!?" 
Teriakku dari tas selempangnya.

"Tidak!"

Lea menggeleng keras dengan wajahnya yang semerah kepiting rebus. Lea mulai menyadari ada tantangan lain yang harus dihadapinya dari Hasa.

0 komentar: