Mozaik Empat

//Tantangan Pertama//

Aku mulai tak bisa mendefinisikan hubungan mereka. Lea menganggapnya interaksi mutualisme (entah teori ngawur mana yang dia comot) Tapi aku yakin, dia sendiri tak paham posisinya.

"Hei Lea, aku penasaran. Kenapa kau mau menerimaku?" Suara Hasa terdengar dari ponsel Lea, baritone dan jelas. Aku dan Lea mengdengarkan suaranya bersama sama dalam mode loudspeaker.

"Haha entahlah." Lea tertawa menyebalkan. Tapi ketimbang merasa sebal, Hasa justru merasa tertantang. Menurutku, Dia bisa dua kali lebih menyebalkan daripada Lea.

"Tentu saja pasti karena kau jatuh cinta hahaha. Makanya kamu tak tau alasannya"

Lea cemberut, lalu tersenyum menatapku.

"Aku cuma cinta Kuro"

"Ahh! Kuro lagi. Ck! Kuro sialan"

"HEH!!!"
Aku dan Lea reflek berseru padanya. Kamu yang sialan, harusnya kamu berterima kasih padaku. Toh aku yang meyakinkan Lea buat menerimamu. Ah apa keputusanku salah ya?

Aku nyaris saja mencakar ponsel Lea kalau saja Lea tak memelukku.

"Dih! Ga sopan! Awas aja kalau kau merutuki Kuro lagi"

Rasanya jadi ingin memamerkan senyum puasku pada Hasa ketika Lea membelaku begitu.

"Hehe maaf..hmmm..Aley aku ingin ketemuuu" Suara baritone nya yang dibuat manja terasa menggelikan. Tapi Lea malah tertawa. Akhir akhir ini Lea lebih sering tertawa. Aku suka melihatnya.

"Hmm... gini deh.. gimana kalau kita meet up aja? Kudengar Yura dan Rani ada di Jakarta. Bagaimana kalau ketemuan disana?" Usulnya lagi. Aku tahu dia sedang berusaha. 

Meskipun mereka sudah berkomitmen, tapi sebenarnya mereka tak pernah bertemu lagi setelah program summer camp itu. Mereka seolah sedang menjalin hubungan virtual saja. Long Distance Relationship begitulah bahasa zaman sekarangnya.

"Oke deh."

Kali ini aku baru kaget, dia memutuskannya secara kilat tanpa bertanya padaku.

***
Mereka akhirnya bertemu tanpa Yura ataupun Rani : hanya berdua. Hasa memang cerdas memilih situasi. Saat itu Yura terlalu sibuk hingga harus batal ikut meet up, dan Rani entah kenapa justru mengekor keputusan Yura. Batal datang.

Hasa : [Aku jemput kamu ya Lea 😆, tunggu di stasiun!]

Lea : [ok. thanks]

Lea sudah membaca pesan itu ribuan kali untuk memastikan apa Hasa memang benar benar akan menjemput kami. Pasalnya, sudah hampir sejam aku dan Lea terdampar di stasiun.

Aku sebal melihat Lea bahkan tidak protes sedikitpun. Padahal aku sangat tahu, Lea benci menunggu. Aku menyembulkan kepalaku dari selempangnya : mau komplain. Tapi, tiba tiba kudengar suara klakson motor.

"Hehe maaf lama. Ayo" Lea tersenyum manis, dia terlihat senang bisa melihat cengiran Hasa lagi.

Tapi dimataku, Hasa justru terlihat amat berbeda dari pertama kali aku melihatnya.

Dia terlihat lebih dewasa dan mencolok. Perawakannya yang besar dan tinggi membuatnya terlalu mudah dikenali. Belum lagi jam tangan besar dan cincin ali mengkilatnya membuat dia terlihat lebih mentereng. 

Padahal Lea, sejak subuh tadi lama menghabiskan waktunya untuk memilih pakaian dengan amat hati hati dan cermat agar tak mudah dikenali, namun tetap menarik hati. Tapi, sia-sia lah usahanya saat berjalan beriringan dengan Hasa.

Dari balik selempang aku mengintip mereka. Ya memang, dua orang yang amat berbeda.

"Silahkan nona hehe" canda Hasa sambil membawa nampan berisi nasi dan minuman. Agenda mereka berdua kali ini hanya makan malam.

"Tapi pesanan lauknya kamu yang bawa ya, hehe" katanya lagi, masih memasang cengirannya. Apa pipinya tidak pegal cengir cengir begitu terus!?

Lea menurut saja dan tak banyak bicara, khas Lea sekali. Tapi Hasa bisa membuatnya lebih banyak merespon dari biasanya.

Di mataku, mereka terlihat seperti remaja SMA (dengan wajah boros) yang baru saja saling mendekati. Pasti tak ada yang menyangka kalau mereka telah membuat komitmen tersendiri. Aku bahkan ragu mereka tahu makna kata "komitmen" itu sendiri.

Aku menatap Lea pasrah. Dia yang paling membuatku ragu.

"Kita selfie yuuk" sahut Hasa masih dengan cengirannya.

Lea menggeleng. Aku menepuk jidatku. Lea tidak suka kegiatan selfie -selfie, Lea bahkan tak suka melihat foto close up dirinya sendiri. 

"Ayolah. Kenang kenangan kan...tapi fotonya pake hpmu Aley"

Hasa mulai merajuk, tapi Lea masih menggeleng.

"kenapa? kamu takut fotomu terlihat tua!?" tantang Hasa. Aku tertawa. Nampaknya dia tau caranya bicara dengan Lea.

Tak butuh waktu lama bagi Hasa untuk membujuk (baca :menantang) Lea, hingga akhirnya ia mengalah juga.

[Satu photo disimpan]

[Dua photo disimpan]

[Tiga photo disimpan]

[Empat photo disimpan]

[Lima photo disimpan]

[Enam photo disimpan]

[Tujuh----

"Sudah sudah! Kebanyakan!" Protes Lea

"Hahaha"

"Kapan kapan aku ingin foto studio deh" Gumam Hasa pelan.

"Hah!?"

"Hehe.. ngga, ayok pulang. Aku antar..em..ngomong ngomong makasih ya untuk hari ini"

Lea hanya tersenyum mengangguk. Lea tetap Lea yang biasanya hingga Hasa mengantarnya pulang. 

Sesampainya dirumah, Lea langsung masuk ke kamarnya dan memelukku erat. 

"Harusnya aku juga bilang makasih ya?" gumamnya pelan.

"Tentu saja"

"duuhh...bodooh" gumam nya lagi tidak jelas, tapi dia tak bisa menyembunyikan sumringahnya meskipun dia menutup wajahnya dengan bantal. 

Malam ini Lea mengizinkanku tidur di tempat tidurnya. (Artinya dia sedang senang.)

0 komentar: