Kepingan 71


//Liburan//

Lagi – lagi aku ditarik kedalam atmosfer kehidupannya. Hasa mengajakku untuk menghadiri pernikahan Rasha, sahabatnya di daerah pantai selatan. “Sekalian liburan ya” ujarnya semangat.
Dan akibatnya, kini aku sedang duduk satu mobil dengan Enam kawan Hasa Lainnya; Noa, Kiki dan pacarnya,Tata, juga kakak beradik Angga dan Purno. Mereka kawan Hasa yang lainya.  Kawan Hasa sangat banyak dan beragam, tapi Rasha dan Noa adalah yang paling sering dia ceritakan.
Seperti saat bertemu dengankawan Hasa di kafetaria, disini pun aku lebih banyak diam dan menyimak perbicangan mereka yang dimulai dari rencana usil untuk mengganggu akad Rasha hingga mengomentari mobil yang berjalan lamban di depan kita.
“Eh, sialan, jalan lamban malah ditengah” Hasa menggerutu sambil gemas memegang kendali setir mobilnya. Kawan yang lainnya memanasi.
“Salip aja bang! Pepet terus! haha”
“Serempet aja dikit lah, biar kaget, kebiasaan sih!”
“Berasa jalan punya ibunya tuh
Oh begini ya, jika laki-laki dengan laki-laki lainnya sedang bergaul. Batinku tertawa melihat tingkah kekanakan mereka. Mereka terus silih mengomentari hal random selama perjalanan, hingga dititik jalan yang lebih berkelok. Masing masing dari mereka mulai bungkam. Sebagian mulai bosan dan tertidur, sebagian yang lainnya sedang fokus mengendalikan lambungnya yang terkocok hebat ; berusaha membujuk isi lambung agak tidak keluar sebagai muntahan. Tentu saja demi menjaga gengsi.
Sesampainya di tempat pernikahan, semua langsung meregangkan badan lalu mencari tempat berganti baju dan berdandan. Aku dan Hasa yang sudah memakai baju couple sejak keberanngkatan, menunggu dengan santai, meski baju kami sendiri lebih kusut masai.
Aku melirik pacar Kiki yang juga ikut rombongan kami. Dia tidak banyak bicara denganku karena lebih sering berada di samping Kiki. Sulit bisa mengobrol, padahal dia satu satunya teman perempuan yang ikut di perjalanan ini. Pacar Kiki mulai mengoles make up nya dengan terampil. Dari mengolesi foundation, bedak, eyes shadow berwarna merah muda, kemudian menggurat eye liner  dan mascara hingga lipstick di bibirnya. Aku iri. Dalam bayanganku, jika aku berjalan dengannya aku bisa terlihat seperti cumi. Tapi aku tak pernah bisa berdandan dan tak punya make up kit semacam itu.
“Hei, aku mau ke toilet ya”  uajrku pada Hasa yang akhirnya ikut mengekor.
“Mungkin perlu di bedak lagi dan pakai sedikit liptik biar gak pucat” ujarku melihat bayangan di cermin mini milikku.
Setelah urusan hajat keciluk selesai, aku berusaha memperbaiki riasanku yang sejak awal memang super minim. Aku mengoleskan bedak dan tiba-tiba Hasa mengetuk pintu.
“Aley, sudah!?”
Karena kaget, aku terhentak menabrak keran yang kemudian langsung patah, airnya membasahi sebagian wajah dan jilbabku.
“Sial. Sepertinya aku memang tidak diizinkan berdandan”
Aku keluar dengan posisi yang lebih berantakan.
“Ayoo” Ajak Hasa tak peduli.
Di belakang mobil akhirnya aku membenarkan bedakku dan jilbabku yang kusut disana sini.
“Aleya mana?”
“eh tadi dibelakangku”
Sayup-sayup ku dengan percakapan Hasa dengan temannya, Hasa mencariku ke belakang mobil. Aku sedang memasangkan jarum di kepalaku demi mematenkan jilbabku. Meliatku Hasa justru tertawa.
“Haha sedang apa? Pakai jarum warna-warni?” ledeknya, teman di belakangnya tertawa.
“Biar ada aksesoris berwarna ya di kepala” Hasa mulai membully ku lagi. Menyebalkan.
Terserah sih kalau kau tak malu membawaku yang berantakan. Rutukku dalam hati. Padahal pikiranku sederhana, aku cuma ingin terlihat lebih cantik dan cocok saja jika berjalan dengannya.
“Kau ini seperti Ibuku, Ley. Mau bagaimanapun juga lebih baik tidak usah berdandan.” Gumam Hasa pelan padaku.  Entah itu pujian atau bukan, tapi saat ini kalimat itu terdengar mengesalkan. Aku terdiam sejenak, menarik nafas dan menghembuskannya dalam dalam.
“Ayo cepat”
Tau tau Hasa sudah ada di depan danbergegas menuju pesta. Dia tak sabar melihat Rasha mungucapkan akad dan duduk di pelaminan.
***
Selama akad berlangsung, Hasa berdiri di jajaran paling depan merekam dengan cermat setiap detik mommen yang berlangsung. Aku memperhatikannya dari belakang. Usai akad, dia langsung berhambur menarikku ke meja prasmanan. Seperti biasa, dia akan memintaku untuk bergiliran membawa satu2 kudapan yang ada di berbagai stand.
“Habis ini langsung pulang nih?” Tanya Angga sambil memegang bahunya yang ngilu karena terjatuh saat upacara saweran.
“jalan-jalan dong bro”  Noa menimpali.
“Ke gudang seafood dulu ya! Aku ingin beli lobster” sahut Hasa sambil menatapku. Ternyata dia ingat, janjinya untuk memenuhi rasa penasaranku soal lobster. Pasalnya aku belum pernah sekalipun mencicipinya. Aku mulai tersenyum cerah. Moodku bisa dibalikan oleh lobster seketika.
“Sekalian mantai nih?” Tanya yang lainnya.
“Ah ribet mandi di pantai,”
“Gimana kalau kita ke Lubuk indah? Kudengar tempatnya bagus” usulan Hasa lagi-lagi membuatku tersenyum. Lubuk indah adalah salah satu destinasi wisata yang akan kita kunjungi bersama.
“Boleh” yang lain setuju begitu saja tanpa perlu paham situasi dan lokasi.
***
Aku, Hasa dan Purno berjalan paling belakang, yang lainnya sudah jauh menapaki jalan terjal menuju Lubuk indah. Purno membopong Hasa yang teramat kewalahan.
“Aaaah... Sialan…. Kondisi…. Badanku… buruk sekali! Untung… saja… aku tak jadi…. Datang…. berdua dengan Aley kesini, bisa….. tumbang…. dijalan kita!” rutuk Hasa dengan nafas terputus – putus, sementara aku fokus mengatur nafasku sendiri. Bukan hal yang mudah memang, berjalan ketengah lembah terjal dengan mengenakan gaun pesta dan sepatu high-heels. Aku berani bertaruh, usia sepatuku semakin pendek gara-gara ini.
“Haha serius kau berniat datang berdua saja?” Parno tertawa.
Aku mulai khawatir dengan high-heels yang kukenakan. Akhirnya aku melepaskannya, kupikir berjalan dengan kaki telanjang lebih aman.
“Kenapa di lepas ley?” Hasa ternyata masih memerhatikan tingkahku.
“Biar lebih mudah, lagi pula takut cepat rusak”
“Serius? Batu-batu disekitar sini tajam loh” Parno memperingatkan. Kurasa dia yang paling tahu medan diantara semuanya.
Baru tiga langkah aku berjalan, kakiku sudah ngilu tergores beberapa batu runcing.
“Iya benar, tajam” sahutku memakai heels  lagi.
Kalau tidak ada hasa dan kawannya, mungkin aku sudah mengikatkan terusan gaunku agar lebih pendek dan tidak menghambat jalanku. Sayang sekali, aku masih berusaha tetap terlihat layaknya seorang lady.
“Padahal dulu, sewaktu summer camp aku kuat mendaki gunung. Bahkan membawa Nia dan temannya yang manjanya minta ampun.  Lah sekarang aku sendiri kerepotan!” gerutu Hasa.
Sambil mendengarkannya aku hanya memutar bola mata. Yayaya Nia yang beruntung. Aku bahkan tak pernah bisa mendapatkan sisi Hasa yang segagah itu.
“Beruntung kau tidak manja Ley, kalau manja repot lah aku!” sambungnya lagi masih belum selesai mengoceh. Kalimat itu tak terlalu asing ditelingaku. Di setiap kegiatan out door atau kegiatan relawan semasa sekolah, kalimat itu selalu disematkan padaku. Aleya yang tidak manja.
“haaah.” Aku membuang nafas panjang.
“mau istirahat dulu?” Tanya Hasa padaku.
“ya, boleh”  aku langsung menyimpan pantatku di belukar yang terasa seperti permadani.
Lima menit kami menjeda diri masing masing untuk beristirahat. Lalu kembali melanjutkan perjalanan dengan nafas yang sedikit lebih tersambung.
“Gilaaa, bagusnyaaa!” seru Hasa ketika sampai di Lubuk bagus. Semua mata terkesima dengan keindahan pemandangan tempat itu. Dua tebing yang tinggi, kokoh berdiri membatasi sebuah sumber air yang jernih, di tengah sumber air itu, ada sejalur batu-batu yang seolah berbaris menyusun jalur setapak. Melalui batu batu itu, air mengalir menjadi semacam air terjun kecil yang merdu.
Para laki – laki, kecuali Noa, sontak melepas atasan mereka dan menyerbu sumber air itu.
“Waktunya guyaaang !!” seru mereka.
“Kau tak boleh berenang Aley! Tunggu saja di pinggiran, oke!” perintah Hasa semaunya. Padahal aku sendiri memang tak ada  rencana untuk itu. Sebab bagaimanapun juga terlalu banyak laki – laki disini. Seandanya mereka tak ada, aku tak peduli mengenakan terusan gaun atau high heels pesta. Aku akan langsung berenang disana.
Meski gemas karena harus menahan diri, akhirnya aku tetap bermain air disekitaran air terjun kecil disana.
“Gak ikut renang kak?” aku mendapati pacarnya Kiki  ikut bermain air di tepian batu, Dia menggeleng sambil tersenyum awkward  kearahku.
“Takut ribet salinnya. hehe”
Ah iya benar juga. Kami, para wanita mengambil lebih banyak waktu untuk berganti dan berdandan ketimbang laki-laki. Bahaya kalau gara-gara itu kita pulang terlalu larut. Pasalnya di daerah ini situasi jalannya benar-benar seperti hutan. Aku menatap kearah gerbang masuk yang kecil di samping Lubuk. Setelah ini kita masih harus berjalan kali menanjak untuk sampai ke tempat parkir mobil. Beruntung Hasa tidak menuruti perkataan kawannya untuk memarkirkan mobil di sekitar pemukiman warga. Sebab jarak pemukiman warga masih jauh berpuluh – puluh kilometer  dari tempat ini. Skill mengendarai dan navigasi wilayah Hasa membuat kita bisa berkendara masuk ke tengah lembah di sekitar Lubuk indah. Aku kadang terkesima ketika melihatnya berkendara (yang tentu saja sambil bercerita bangga menyombongkan segala pengalam jam terbang berkendara).
***
Sesuai dugaan, kami harus terengah-engah lagi kembali  menuju parkiran mobil. Kelelahan kami berlipat ganda sebab kali ini kita berjalan menanjak.  Hasa merutuk habis habisan, diam diam aku tertawa lagi melihat tingkahnya. Sampai di tempat parkir, matahari mulai terbenam. Hasa mengambil jeda panjang untuk mengisi energi sebelum membawa mobil kembali melewati lembah. Dia yang tadi tergopoh-gopoh kepayahan, kali ini mulai unjuk gigi taringnya.
“Serius nih bawa mobil ini kejalan yang tadi lagi?” Noa bergumal.
“Hahaha, suruh pemilik mobilnya ambil mobil kesini saja! Gak sanggup kita harus lewat lembah itu lagi. Mending pesen grab saja” Canda Hasa masih mengambil nafas.
“Taunya grab nya juga gak sanggup kesini, hahaha”  yang lain mulai tertawa perih dan khawatir.
 “Let’s go,..Gasss!!” Sahut Hasa mulai menyalakan mobilnya. Kami mulai berkomat kamit membaca doa keselamatan selama berkendara. Kemudian Hasa membawa mobilnya melalui jalan sempit berlubang, berkelok-kelok dan menanjuak juga menurun. Diantara teman-temannya, tak ada satupun yang bisa mengendarai mobil melalui medan yang tidak biasa itu.
Melewati pemukiman warga, sebagian dari kami mulai sedikit bernafas lega.
“Ganti pemain?”
Aku mulai khawatir dengan kondisinya. Berarti kali ini dia sudah kelelahan.
“Oke, gue yang nyetir bro!” Noa mengajukan diri. Aku berpindah posisi ke bangku tengah. Hasa dan Noa di depan. Tapi belum sepuluh menit mobil berjalan, Noa sudah kepayahan. Mobil kami stuck di sebuah tanjakan dengan posisi berhadapan dengan mobil lain, sementara jalannya tidak cukup diewati dua mobil. Mobil nyaris tergelincir mundur. Kami mulai panik. Akhirnya Hasa kembali mengambil alih. Dengan lihai dia membawa mobil menanjak sambil melipir, mobil di hadapan kami menyelaraskan irama kemudi dengan mundur perlahan. Akselerasi ini menyisakan sedikit demi sedikit jeda untuk kedua mobil agar bisa saling melewati jalan yang pas pasan.
“Good job bro!” Kawan kawan Hasa bernafas lega. Aku tersenyum bangga. Karena khawatir jika Noa yang mengambil alih, akhirnya Hasa memutuskan untuk menyetir penuh saja. Matahari sudah sepenuhnya tenggelam ketika kabut mulai turun, jarak pandang kami hanya sebatas kaca jendela mobil. sisanya gelap. Tapi Hasa masih mengemudi dengan tenang.
“Untung saja sudah lewat lembah, matilah kita kalau kabut sudah turun dan kita masih di lembah, jurang-jurang siap menganga, hahaha” Candaan Hasa justru membuatku merinding.
“ini juga belum sampe jalan raya, bro” rupanya Kiki juga masih sama khawatirnya denganku.
“Tenang saja, disini jalannya bagus,” ucap Hasa kalem. Aku menghela nafas lebih lega.
“percaya deh sama loe bro!” ucap Noa sambil meminta sebatang rokok. Akhirnya yang lain pun ikut merekok, termasuk Hasa. Aku bersiap membuka jendela untuk memasok udara. Hasa pernah bilang, bagi para perokok, rokok itu sudah semacam obat penenang untuk mengurangi stress. Mungkin saat ini mereka sedang mencari ketenangan dari isapan-iasapan asap nikotin yang mengepul di mulunya.
Tanpa terasa, akhirnya mobil ini sudah terpakir dirumah Hasa. Barulah Noa mengambil alih untuk mengantarkan teman teman Hasa yang lainnya.
“Cape? Lapar? Hehe” Tanya Hasa padaku. Aku tersenyum dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Dia lalu mengusap kepalaku tanpa aba aba, lalu masuk kerumahnya. Itu sisi manis Hasa yang aku suka, kadang sedikit tingkah sederhananya seolah menyampaikan banyak perasaannya.  maaf ya, terima kasih sudah menemani”  setidaknya itu kalimat yang tergambar dibenakku ketika dia mengusap kepala.
“Aku perlu plester, lecet” sahutku pada Hasa. Sudah disini, aku sudah tak bisa menyembunyikan lagi ujung kakiku yang mulai terkelupas disana sini sebab banyak menahan beban tumitku yang ditinggikan oleh high heels
“Oh.. oke, mandi dulu saja sana, nanti aku ambilkan”
Setelah itu Hasa menghilang entah kemana. Berganti oleh Ibu Hasa yang menanyakan  berita soal perjalanan kami. Aku mengobrol dan menonton sebentar dengan Ibu Hasa, kemudian pergi membersihkan diri. Hasa baru muncul setelahnya.
“darimana saja?” Tanya Ibu, mendapati anaknya lenyap sejenak sejak tadi.
“beli plester, disini tak ada adanya di warung kampung seberang”
Dia memberiku kantong berisi berlembar-lembar plester.
“Terlalu banyak..” gumamku, dia pikir aku korban kecelakaan apa? Padahal cuma lecet saja.
“Buat jaga-jaga, hehe. Jangan dulu tidur. Kita makan dulu, biar aku buatkan nasi goreng.”
Aku tersenyum terharu. Sementara dia lalu pergi membersihkan diri. Aku terduduk di sofa sambil meninton televisi. Ibu Hasa pamit untuk tidur duluan setelah beberapa menit menceritakan pengalaman perjalanannya ke daerah yang sama denganku dan Hasa.
“Makan yang banyak, terus istirahat ya!”
Ucap Hasa menghidangkan nasi goreng terenak yang pernah ada. Bagiku, ini adalah liburan yang unik dan menyenangkan, dari pernikahan, pantai, lubuk, jalanan terjal hingga hidangan penutup sebelum tidur. Aku menyadari, liburan ini bukan hanya soal perjalanan, tapi untukku liburan itu adalah Hasa. Tanpa Hasa, berjalan dengan orang asing, menempuh medan yang menakutkan tanpa bisa puas menikmati sebuah tempat wisata, atau bersusah payah melewati lembah dengan gaun pesta adalah hal yang kupikir akan sangat mengesalkan.Tapi dengan Hasa, semuanya terasa menyenangkan begitu saja.

0 komentar: