Kepingan 76


//Panglima Hasa//
“Kak, sudah berapa lama  pacaran dengan Hasa?”

Tanya sahabat Hasa berbasa basi, mungkin adakalanya mereka merasa canggung karena terlalu lama mengabaikanku. Meski sebenarnya aku ikut menyimak, tanpa interupsi. Aku tak pandai menelusup dalam sebuah pembicaraan kecuali memang jika dilibatkan langsung.
“Umm, setahunan”
Jawabku mengira-ngira. Hitungan itu tak termasuk waktu hubungan saat ini, aku hanya menjawab sesuai pertanyaannya soal pacaran. Jika soal kedekatanku dengan Hasa, mungkin waktunya lebih dari setahun.
“Kuat ya dengan Hasa? Hahaha”
Kawannya mulai berusaha mengakrabkan suasana.
“Yaaa… begitulah haha”
Hasa sendiri hanya melihatku merespon kawan-kawannya tanpa ikut menggandrungi pembicaraan kami. Dia terlalu membiarkanku mandiri di berbagai situasi baru yang dibawa olehnya.
“Kau tahu? Hasa itu matre, dia suka minta jajan sama mantan-mantannya apalagi Risa”
Aku tak tahu temannya masih bercanda atau memang penasaran dengan saraf reseptor emosiku. Laki-laki biasanya begitu, menilai sampai mana seorang perempuan menahan emosinya.
“Riska, haha”
Aku mengoreksi nama mantan Hasa.
“Eh iya, Riska.. Oh? Sudah tahu ya?”
Aku mengangguk.
“Sudah hafal semua mantanku dia”  Akhirnya Hasa buka suara menimpali.
“Tapi tetep Riska itu yang bikin dia paling galau, haha”
Temannya Hasa bertingkah jahil. Dia gemas ingin membuka soal diri Hasa yang dulu di hadapanku. Aku sendiri mungkin sudah tahu, sebab cerita Hasa sudah hampir berjilid-jilid tersimpan di kotak ingatanku.
Aku hanya tertawa menanggapi komentar kawan Hasa.
“Haha, yang ini pendiam ya” dia berbalik mengomentariku. Hasa tertawa.
“Ya.. biar ngga bikin pusing kan”
Simpul senyumku tertarik berbalik arah. Dia selalu membuatku menduga kalau dipikirannya hanya perempuan pendiam saja yang cocok menjadi pendamping karena bisa ‘dikendalikan’.
“Kau tahu? Dia ini temanku yang paling sok diantara kita, sok tahu, sok gaul, sok bener. Haha, aku masih ingat waktu dulu….”
Hasa mengalihkan cerita dengan terampil, dia mulai menceritakan kekonyolan teman dekatnya itu, dari soal kepengecutannya saat menghadapi perempuan, hingga tingkah gilanya yang pernah terlibat aliran rock n roll. Habislah temannya itu ditertawakan.
Aku sendiri sudah pernah tahu sekilas cerita-cerita itu. Kali ini aku seperti sedang mengkonfirmasi kebenaran setiap cerita kawan-kawan Hasa dihadapan mereka sendiri.  Yang tak pernah aku tahu adalah cerita Hasa versi kawan-kawannya.
Bagiku, Hasa seperti panglima tersendiri diantara kawan-kawannya. Ia punya hirarki yang tak bisa dibantah oleh kawannya, tapi Ia juga punya wibawa dan cinta yang bisa merangkul kawan kawannya. Di setiap perbincangan mereka, Hasa selalu menjadi orang yang paling hafal kisah kawan-kawannya seolah itu adalah hal yang paling berharga hingga dia menyimpan rapi setiap kesan dan memori tentang kawan-kawannya. Aku selalu terkesima dengan cara Hasa berkawan.
Dulu, ayahku pernah memberiku satu-satunya petuah yang berhubungan dengan konteks menilai seorang laki-laki.
Laki-laki itu ahli berpura-pura di depan perempuan yang disukainya, tapi, sifat aslinya bisa dikenal dari caranya memperlakukan Ibunya, keluarganya dan sahabat terdekatnya
Diantara semua laki-laki yang pernah mendekatiku, Hasa adalah yang paling kasar dan brutal. Dia satu-satunya yang paling sering memarahiku, dia juga satu satunya yang dengan lantang menyebutku bodoh, dia juga satu-satunya yang menyuruh ku ini itu semaunya, dia bahkan satu-satunya yang terang – terangan membully  ku di setiap situasi.
“eh, Kak kenapa mau sama Hasa?”  Rasha, kawan terdekat Hasa tiba tiba menegurku.
Aku ingin sambil tertawa lalu menjawabnya, kalau mungkin Hasa telah melakukan praktik guna - guna. Tapi aku tak ahli bercanda.
“Um.. dia baik” komentarku secara umum.
“haha.. iya…. Iyaa… dia baik kok” katanya tertawa sambil menyikut Hasa yang tak tahu apa – apa.
Aku tak yakin jika definisi “baik”yang kumaksud sama dengan definisi “baik” yang Rasha pikirkan. Tapi Hasa sangat baik dari caranya menunjukan kehangatan rasa sayang pada Ibunya, dari caranya peduli dan memperhatikan keluarganya, dari caranya berbangga dan menjaga kedekatan dengan kawannya dalam kondisi yang bagaimanapun.
Terlebih dari itu, Hasa sangat baik sebab dia satu-satunya yang berani mengarahkanku dan egoku. Dia satu-satunya yang cukup kuat mencari tahu tentang diriku, dia satu-satunya yang mau menyeretku keluar dari zona nyamanku, dia satu-satunya yang mengingatkanku bahwa hidup di dunia nyata itu berharga.
Tak seperti  kebanyakan laki-laki yang mendekatiku, Hasa mungkin tak selalu muluk-muluk memperlakukanku seperti Ratu. Tapi, lebih dari itu, dia mengajariku bagaimana caranya menjadi seorang Ratu.
“Dia baik sekali”  gumamku lagi.
“kenapa?” Rasha yang sedang asyik ditertawakan Hasa, sedikit tergannggu dengan suara pelanku.
Aku menggeleng kepala menandakan bahwa aku tak sedang bicara dengan siapa siapa. Tak berselang lama, Rasha melihat jam di tangannya.
“Jam 10 bro, kemaleman ini, kasian tuh ibu-ibu”  sahut Rasha menunjukku dan Regita.
“ahh, padahal mau langsung ngapel calon istri tuh” Isya masih bercanda menanggapi, pasalnya Rasha memang akan melangsungkan pernikahan beberapa hari lagi.
“haha nanti jangan lupa datang ya”
“siaaap, asal bisa nambah alas sih gampang haha”
Sahut Hasa tertawa, ia mulai berdiri menunjukan gesture untuk pembubaran, yang lain mulai memasang mantelnya dan bersiap pergi. Akhirnya semua saling berpamitan.
Di perjalanan pulang, Hasa bercerita dengan antusias soal Rasha dan calon pengantinnya.
“Nanti ikut ke nikahannya ya! Aku harus lihat akadnya hahaa, mau ganggu dia ah!”
Lokasi pernikahan Rasha padahal cukup jauh, tapi aku yakin Hasa akan berusaha keras agar bisa hadir menjadi saksi akad mereka. Aku menyelipkan senyum bangga saat menyetujui untuk ikut menemani ke pernikahan Rasha.
Sekali lagi, Hasa membagi perasan baru, dia menularkan rasa bangga akan sahabatnya padaku. Aku  menemukan makna konsep  persahabatan yang unik diantara mereka, persahabatan non-metafora.

0 komentar: