Kepingan 78


//Hari Raya 2//

Aku tiba di alun alun kota sekitar pukul sembilan malam. Melalui segala macam kemacetan dan keriuhan di bus yang sudah mengurangi banyak mood cerahku di pagi Hari.
Satu lagi, aku mengutuk diriku sendiri sebab memilih masakan tumisan berbahan jamur tiram yang cenderung akan layu dan basi lebih cepat dari biasanya. Misi membawa masakan pun terancam di eliminasi.
Atas instruksi Hasa, aku harus menunggunya di salah satu bangku dekat alun-alun kota, dia yang akan menjemputku. Sambil menunggunya aku berusaha memastikan kondisi masakanku. Masakan yang tadinya mengepul hangat di tempat makan kaca, kini sudah diingin. Baru saja aku mau membuka tempat makan itu, Hasa sudah didepan membunyikan klaskson, aku bergegas memasukannya lagi.
“Kita makan malam dulu ya…? Lapar kan?”
Aku bahkan baru ingat belum makan apa-apa selain mencomot dan mencicipi masakan tadi pagi. Aku mengangguk kencang, baru sadar aku kelaparan.
Hasa menghentikan motornya di sebuah warung bubur yang katanya paling enak di kota ini. Aku manut saja.
“Sebenarnya aku bawa masakan” gumamku padanya,
“Tapi mungkin sudah basi, sebentar…” Aku membawa tempat makanan itu dan masih sedikit berharap masakan itu tidak basi. Bertahanlah, ini baru satu hari Aku meyakinkan diriku bahwa masakan di warung nasi pun selalu bertahan satu hari. Namun Nihil, rupa masakanku saja sudah berantakan kemana mana hasil goncangan dan belokan sana-sini dari pergerakan bis yang kutumpangin. Aku menutup tempat makan itu lagi.
“Jangan ah, nanti kamu mati. Makan bubur saja”
Aku bercanda sambil menghela nafas panjang.
“Sebenarnya aku mau sok pahlawan, dan memakan masakanmu sambil bilang ‘enak’. Tapi kondisi badanku sedang tidak bagus hari ini, aku takut benar-benar mati. Nanti kau malah merasa bersalah”
 Hasa membuat bercandaan yang lebih ahli. Sambil menendang kakinya, aku tertawa lagi.
Hahaha, gagal lagi. Tawaku dalam Hati.
Sesampai di rumah Hasa, kami langsung beristirahat. Ibu nya Hasa sudah tertidur lebih dahulu, tapi seperti biasa beliau menyiapkan kasur di sebelahnya untukku tidur.
“Assalamualaikum bu” bisikku pelan sebelum memejamkan mata.
***
Pagi harinya, seperti sebelum-sebelumnya, aku memperhatikan rutinitas Ibunya Hasa. Dari berbelanja ke pasar, mebangunkan anak-anaknya untuk solat subuh hingga mencuci baju. Hasa sendiri, kembali bermimpi usai solat subuh. Ibunya Hasa hanya mendesah. “Haah, lihat Hasa malah tidur lagi neng
Aku tersenyum “ Iya bu.. tak apa.. hehe”  aku juga suka begitu  tambahku dalam hati.
Neng Aleya kalau mau tidur lagi juga ga apa-apa, tidur saja, Ibu mah sudah lama tak terbiasa tidur lagi setelah subuh”
 Aku merasa isi hatiku terciduk tiba-tiba.  Aku menggelengkan kepala, gengsi.
“Masak apa bu?”
Aku mengintip  Ibunya Hasa dari balik pintu dapur, berharap Ibu Hasa menyuruhku melakukan sesuatu.
“Membuat perkedel saja, sama tahu bejek”
Sambil sibuk memasak, Ibu Hasa mulai menceritakan kembali temannya yang jago memasak, juga soal kondisi putra temannya itu. Ah ini dia, rutinitas favorit.
“Em,, bu, ada yang bisa di bantu?”
Tanyaku saat Ibunya Hasa menjeda cerita untuk mencipipi makanannya.
“Ah sudah gak apa-apa, neng Aleya  nonton TV saja”
“Ah.. iya”
Pertanyaanku justru menjadi bumerang, aku tersingkir ke ruang TV. Tak berapa lama, aku mendapati sosok Hasa keluar kamar dan menggeliat.
“hehe” Dia hanya memasang cengiran kudanya tak jelas, lalu melengos melewatiku ke kamar mandi.
Usai dengan urusannya di kamar mandi, dia bergabung dengan ku di ruang tengah sambil menonton TV.
“Selamat Ulang tahun ya”
Ucapku pelan sambil menyodorkan bungkusan kecil. Aku terdengar sangat standar dan biasa ketika mengucapkannya. Tak ada kesan yang ditekankan. Aku hanya gugup sendirian.
“hehe..apa ini? Thank youuu yaaa” 
Cengir Hasa basa basi, padal dia sendiri yang selalu mengingatkan agar tidak lupa memberinya kado.
“Apa itu?”
Tanya Ibu Hasa mendapati anaknya memengang bungkusan kecil
“Kado doong, kan ulang tahun”
“Aduh repot-repot neng Aleya”
“Ngga repot doong, kan emang tugasnya pacar gitu Bu.. Makanya aku punya pacar itu biar ada yang kasih kado tiap tahunnya, Yak an Aley?”
Ibu Hasa menggeplak sikut Hasa, mewakili keinginanku.
Pacar apanya. Padahal kita tak punya nama yang resmi untuk hubungan ini.
“Eh sore ini main kerumah ka Renren yaa” ajak Hasa, aku mengangguk saja mengikuti keinginan tuan yang ber-Hari Raya.
Tapi, tak ada kesan yang bisa kuciptakan untuk membuat Hari Raya Hasa menjadi berbeda. Tak ada jalan-jalan berdua, tak ada kejutan romantis, tak ada perayaan istimewa. Selama seharian ini aku dan Hasa menghabiskan waktu untu mendengarkan pengalaman Ibunya di Tanah Suci. Dan justru akulah yang dibuat merasa senang karenanya.
***
Hari raya  Hasa belum usai, tapi tiba-tiba Darso muncul merusak suasana. Pesan-pesannya yang bertubi tubi begitu mengganggu sekaligus mengingatkanku bahwa aku belum membuat Hasa bahagia, setidaknya aku tak ingin merusak suasana hari kebesarannya. Aku berusaha mengabaikan pesan Darso, dan dia mulai menjadikan dalih pekerjaan sebagai senjatanya.
Hasa merebut poselku, dengan gemas dia membalas pesan Darso sebagai dirinya sendiri. Ini pertama kalinya mereka berhadapan langsung di dunia Maya.
Wajahku mulai berubah kusut, seharusnya Hasa tak perlu sampai menghacurkan mood  hari perayaannya sendiri.
Perebatan mereka memuncak tanpa henti, Darso berulah seperti netizen nyinyir yang bersikap sok dewasa, deangkan Hasa sendiri membalasnya berapi-api penuh emosi, meskipun wajah aslinya justru tak menampakkan sedikit pun emosi.
“Ketika masuk kerja, kau ada kemungkinan di panggil Darso Aley, tak apa apa?”
Aku menahan eskpresiku sebisa mungkin sejak tadi, tapi di hadapan hasa ekspresiku selalu lolos terlepas begitu saja.
“Hei, kau nangis? Jangan nangis, ini kan dirumah kak Renren, tar aku disangka ngapa-ngapain kamu!”bisik Hasa bercanda.
Aku tidak menangis bodoh. Mataku hanya berkaca-kaca.
Aku kesal setengah mati  dan Darso sudah pasti menjadi salah satu penyebabnya. Hanya saja ketimbang soal urusan kelakuan Darso yang menyebalkan, aku lebih kesal lagi sebab aku bukannya menjadikan hari ini lebih baik dan menyenangkan, aku justru membuatnya biasa saja. Lebih buruk lagi, justru diakhiri dengan Hasa yang terlibat perdebatan dengan orang konyol macam Darso.
“Really?!” Gumamku geram pada diri sendiri.
Predikatku yang baik dalam merusak suasana ternyata tak bisa terlepas begitu saja.

0 komentar: