Kepingan 74


 //Cerita Hasa 2 : Riska//

Lain Laila, lain pula dengan Riska. Ada banyak jajaran nama yang Hasa punya di dalam kubikal memorinya. Setiap nama itu memiliki ruangan cerita masing-masing di kepala Hasa, yang menjadi pembeda adalah besar atau kecilnya ruangan yang mereka punya.
Contohnya Laila, dia punya ruangan yang luas dan kentara di dalam benak Hasa. Seberapa luas ruangan itu, aku bisa mengukurnya dari seberapa sering frekuensi Hasa menyebutkan namanya dalam setiap perbincangan, atau seberapa mudah ingatan Hasa menguar dengan sedikit ‘pancingan’ memori. Semakin sering Hasa menyebut namanya dan semakin mudah Hasa membahasnya ketika teringat cerita lama, maka semakin luas kubikal ruangan yang dia punya di aula kenangan Hasa.
Pengamatan dan pendengaran yang intens membuat diriku mengkategorikan dan menyusun nama-nama itu secara bertingkat, dalam daftar mantannya, Laila ada di tingkat pertama. Kemudian ada Riska di tingkat kedua. Disusul dengan cha cha, lalu ada sartika, bela, dewi, mira dan yang lainnya, yang kadang Hasa sendiri lupa dengan namanya, tapi dia masih punya kenangan atasnya.
Riska itu, gadis yang punya hubungan terlama denganku. Tiga tahun, aku bisa bersamanya. Dia sudah seperti jelmaan Karma dari Laila. Sifatnya, perilakunya, hingga perawakannya jauh berlawanan dengan Laila. Tetapi, dia juga pelajaran yang berharga buatku. Berpisah dengannya membuatku  sempat kalut berbulan-bulan.
Aku menyimak Hasa yang mulai membuka ceritanya. Perbincangan yang awalnya bermula dari psikologi, berakhir di cerita Riska hanya karena dia adalah mahasiswi di jurusan psikologi.
Awalnya aku tak pernah ada niat apapun untuk mendekati Riska
“sama seperti Laila, bukan? tak ada niat mendekatinya..” aku menginterupsi
Bedaaa Aleey! Kalau Laila, karena aku tidak kenal dengannya. Tapi aku sudah kenal Riska sejak SMA, dan aku memang tak ada niat untuk berhubungan dengannya saat itu.
Aku terdiam mengkoneksikan linimasa cerita Hasa.
“Tunggu, waktu SMA? Bukannya sampai Ujian Nasional kau baru jadi dengan Laila? Kalau kalian satu SMA berarti…”
Riska juga kenal Laila.. iya memang benar, dan bahkan Riska sangat pencemburu jika ada pembahasan soal Laila. Dia menghapus segala macam pesan dan foto di ponselku yang berhubungan dengan Laila… Ah.. Padahal ada fotoku dan Laila yang bagus disana. Ketika perpisahan SMA.
Aku masih menilai Riska sebagai wanita pencemburu pada umumnya, di tambah lagi, darah anak SMA jelas akan membuatnya begitu emosional mengambil tindakan. Ditambah lagi, saingannya adalah Laila. Aku menyimpulkannya sebagai sebuah kewajaran.
“oke, terus?”
Aku mulai dekat dengan Riska karena desakan lingkungan, karena kita selalu bersama dan pada akhirnya akrab dengan sendirinya. Akhirnya kita memutuskan untuk berpacaran. Aku saat itu sudah kuliah, dan dia masih SMA kelas 3.. Dia anak yang manja, penuh perhatian dan royal. Yah.. wajar saja dia putri tunggal Raksa Perdana, pengusaha terkenal di kotaku. Meskipun begitu, dia punya sisi yang amat sangat bergantung padaku. Awalnya dia nyaris sepertimu, tidak mudah bergaul dengan siapapun. Dan itu membuatnya selalu menempel denganku.
Aku mulai menerawang Hasa di saat SMA, seberapa berkharismanya dia bisa membuat gadis lugu hingga putri yang manja sampai jatuh hati padanya. Aku berani bertaruh, dia tak pernah mendapatkan pahitnya rasa penolakan dari gadis manapun sebelumnya. Termasuk aku.
Saking manjanya, kemana mana Riska akan selalu mengikutiku. Tapi aku tak pernah keberatan menolaknya, sebab hampir seluruh kebutuhanku dipenuhi oleh Riska. Setelah lulus SMA Riska masuk universitas yang berbeda denganku. Tapi setiap harinya dia selalu datang berkunjung ke kampusku. Coba kau bayangkan Aley! Universitas dengan jarak yang lumayan jauh sengaja dia tempuh setiap hari agar bisa bersama denganku! Dia bahkan tak peduli soal kuliahnya. Dia tak banyak bergaul di universitasnya. Di satu sisi aku merasa sangat dibatasi, tapi aku juga jadi khawatir karenanya, terlebih lagi orang tuanya menitipkannya padaku.
“Orang tua?” tanyaku ragu. Selain mengambil hati para gadis, Hasa juga bisa mengambil kepercayaan orang tua mereka dengan mudah. Jika Hasa adalah unsur kimia, dia pasti merupakan senyawa yang bisa mengadaptasi dirinya ke semua suhu,kondisi dan senyawa lainnya.
Yaaah, aku kenal dengan keluarganya. Dia juga kenal dengan keluargaku. Lagi pula rumah kakaknya tak jauh dengan rumahku. Itu karena saking seringnya bersama Riska, aku jadi sering berkunjung ke rumahnya. Hahaha, lama lama orang tuanya pun dekat denganku. Meskipun papahnya Riska termasuk orang yang tegas pada semua laki-laki, tapi  dia mengizinkanku dekat dengan anaknya.. dan cuma aku satu-satunya laki – laki yang diperbolehkan untuk membonceng Riska selain keluarganya atau sopir pribadinya.Hahaha hebatkan aku? Tapi Hubunganku dengan Riska selalu panas dengan perdebatan. Bahkan hal kecil serupa makan siangpun bisa jadi bahan pertengkaran, hahaha.
Mengingat Riska, Hasa lebih banyak tertawa daripada berekspresi yang menunjukan kekaguman. Darisana aku paham, Laila adalah pesona dan Riska adalah tuahnya.
Di satu sisi, Riska itu amat sangat memusingkan, tapi di sisi lain sikapnya juga sering memunculkan kerinduan. Hehehe. Meskipun amat sering bertengkar, entah kenapa hubungan kita selalu tersambung lagi ke semula. Lagipula, Riska sendiri selalu punya cara untuk membuatku mengabaikan perasaan marah. Pernah suatu kali aku benar-benar marah padanya, kita benar- benar bertengkar hebat karena komentar di social media atau apalah.. aku sendiri lupa. Yang ku tahu, aku benar-benar kesal padanya. Dan.. yang kumaksud dengan bertengkar itu, artinya benar-benar bertengkar Aley. Saling membentak dengan emosi saling menyalahkan lalu pada akhirnya selalu berakhir dengan Riska yang menangis.  Tapi esoknya, Riska meminta maaf padaku, dan dia memberiku hadiah sebagai permohonan maafnya. Kau tahu apa hadiahnya Aley?
Aku menggeleng lalu menatap Hasa dengan ekspresi bertanya. Sedangkan ekspresi HAsa sendiri terlihat begitu antusias ingin menjawabnya.
Gitar Bass Ley!!! Sebuah Gitar Bass!! Gila nggak!? Aku yang waktu itu aktif di band, tentu saja ingin gitar bass itu! Harganya mahal dan dia membelikannya untukku!! Haha. Saat itu, aku benar-benar tak bisa menolak. Kupikir apa ruginya kan??
Lucky you” gumamku dengan senyum terpaksakan. Aku tahu itu mommen yang menyenangkan. Tapi aku merasa ada yang salah dari cara mereka berbaikan.
Tapi sekarang, kalau ingat… aku justru merasa di beli, haha. Tadinya kupikir, Riska yang bergantung padaku, ternyata di sisi lain, dia juga sudah membuatku terlalu bergantung padanya.. Makanya ketika dia pergi, aku seperti kehilangan kendali diri. Pertama karena memang merasa kehilangan, Sisanya merasa kecewa yang teramat sangat.
Hasa ikut-ikutan memaksakan tawanya. Tanpa berkomentar apa-apa aku menunggu jeda Hasa yang agak lama untuk melanjutkan ceritanya.  
Salah satu yang disayangkan juga adalah orang tua Riska, mereka sudah sangat percaya padaku. Dan aku pernah bilang, bahwa menjaga Riska sudah menjadi tanggung jawabku. Hahaha keren bukan? Padahal waktu itu aku baru bocah yang masuk kuliah. Tapi pikiranku soal Riska sudah sejauh itu. Dengan alas an itu, akhirnya, aku bisa meyakinkan orang tua Riska untuk memindahkannya ke universitasku. Orang tua Riska setuju begitu saja. Mereka percaya padaku  dan Kau tahu? Belakangan aku merasa sebenarnya keputusan bunuh diri.
“Kenapa bunuh diri?”
Tadinya, aku berencana, untuk mengenalkan Riska dengan lingkungan kampus, membuatnya menjadi seorang pribadi yang lebih aktif dan sosialis. Dan aku berhasil. Riska mulai punya banyak teman, dia mulai ikut banyak kegiatan dan akhirnya, dia tak terlalu menempel dan bergantung padaku. Tentu saja aku euphoria bisa nongkrong bareng lagi dengan kawan kawanku.
“Kalian lebih akur ketika dekat?”
Aku berasumsi, bahwa jarak lah yang membuat Riska begitu insecure sehingga Ia banyak mengikuti Hasa hingga sensitive terhadap hal kecil yang berhubungan dengannya.
Hahaha. Tentu saja tidak Aley. Dia masih pencemburu, emosian, kekanak-kanakan dan selalu menyulut pertengkaran. Tapi semakin lama aku mengenalnya, aku mulai berfikir untuk menerima dirinya sepenuhnya. Mungkin dia memang membutuhkanku, dan aku sebaliknya. Aku sempat berfikir untuk serius dengannya.
 Aku menahan nafas. Laila bisa menumbuhkan benih cinta yang penuh kebahagiaan bagi Hasa dan Riska bisa menumbuhkan benih cinta yang penuh pengertian bagi Hasa. Hatiku mulai menciut membandingkanku dengan keduanya. Satu pertanyaan timbul-tenggelam dibenakku seraya turun-naiknya kepercayaan diriku. Bagaimana bisa dia memilihku?
Hei, Aley, jangan melamun! Aku belum selesai cerita.
“Haha, lanjutkan saja. Jadi kenapa putus?”
Yaaah… sebenarnya, kalau kita bertengkar, ucapan putus selalu terucap di mulutku, tapi kita tetap bertahan karena Riska selalu tidak bisa menerimanya. Meskipun sebenarnya aku juga mungkin tidak mau putus juga..Tapi untuk kali yang terakhir, mungkin awalnya Riska mulai jenuh padaku sebab aku saat itu jaran merespon pesan – pesannya. Waktu itu aku sedang fokus menyelesaikan game survival haha. Dan urusan Riska, aku sudah memutuskan untuk serius. Sayangnya, aku merasa terlalu damai bermain game! Tak ada protes dari Riska, tak ada  omelan karena mengacuhkannya, bahkan tak ada  pertengkaran! Aku mulai merasa aneh. Mungkin itu semacam perasaan bersalah atau takut kehilangan. Akhirnya aku memutuskan untuk membuat sebuah kencan spesial untuk Riska. Otakku mulai merencanakan dari a hingga z soal persiapannya. Puncaknya, aku ingin membuat masakan buatanku untuk Riska. Kau tahu kan aku chef handal?
Aku hanya mengangguk, menyetujui sisi narsistiknya.
Tapi ternyata, saat aku mengajak Riska bertemu, dia justru menghindar dengan alasan sibuk kuliah. Perasaan khawatirku berubah jadi penasaran. Akhirnya, kali ini aku yang merajuk dan menyulut pertengkaran. Dan seperti biasa, aku mendeklarasikan kata ‘putus’ dengan mudahnya. Tapi respon Riska kali ini berbeda, dia tak menangis atau balik marah. Dia mengiyakan pernyataanku begitu saja. Aku rasanya dihantam tepat di ulu hati.
Karena curiga,akhirya aku mencari tahu, dan ternyata dia memang sudah punya pacar. Seseorang yang satu organisasi dengannya. Duniaku mendadak berantakan. Kau tahu? Aku yang membuatnya aktif bersosialisasi, tapi ternyata yang sebenarnya kulakukan adalah membuat dia menemukan titik nyaman yang baru selain aku. Aku kecewa sedalam dalamnya. Aku menyedihkan sekali saat itu, bermalam-malam hanya bisa melamun memandang bulan, rasanya duniaku kosong. Aku bahkan sempat berusaha mendekatinya lagi, karena khawatir aku masih mengawasinya ketika dia keluar malam, tapi yang kudapatkan adalah pengusiran jangan dekati aku risih’ begitu kata Riska, aku merasa seperti kucing yang dibuang. Aku menghubungi kakaknya dan ibunya, bercerita bahwa hubungan kita sudah selesai. Mengetahui itu Riska malah semakin mendorongku menjauh darinya.
Perasaanku kembali bercampur aduk. Ada banyak sisi yang bermunculan dari dalam diriku. Satu sisi, aku ingin memeluk Hasa pada saat itu. Tapi di sisi lain, aku juga tahu, ini pelajaran untuknya, yang dilakukannya pada Laila tak jauh beda dengan yang dilakukan Riska padanya. Di sisi yang lainnya, lagi aku menyalahkan Hasa sebab dia terlalu mudah mengatakan ‘putus’ begitu saja. Di sisi yang lainnya juga, aku menyalahkan Riska karena tindakannya yang amat fatal dan mengesalkan : menduakan perasaannya dari Hasa. Disisi yang terdalam, aku merasa kasihan pada diriku sendiri sebab tak tahu sisi mana yang paling jujur dariku.
“Karma. Dulunya sih selalu memainkan perasaan perempuan. Apalagi Laila”
Ucapan itu meluncur begitu saja, dan Hasa tertawa lepas mengakuinya.
Hahaha iya Aley. Karma. Kau bela Laila nih?
Sontak aku menggelengkan kepala secara intens dan cepat.
“Aku tak bela siapa siapa. Tapi setidaknya itu pelajaran”
Iya, memang Aley. Pelajaran kalau watak emosian seseorang itu sulit dirubah hahaha.
“Bukan itu!!!”
 Iyaaa Aleyaa sayang. Aku lanjut ceritanya ga nih? Jadi intinya setelah kekecewaan, yang tersisa dariku itu kemarahan. Sejak saat itu harga diriku benar-benar terluka, dan yang ingin kulakukan adalah melakukan hal yang sama untuk perempuan lainnya. Sejak saat itu, aku sering mendekati perempuan, tapi tak pernah benar-benar mau serius berhubungan dengannya. Aku hanya ingin menaikkan harapan mereka lalu meninggalkannya.
“Kejam!!”
Tapi setidaknya aku membuat mereka bahagia Aleya.
“Tapi pura pura?”
Entahlah.. toh mereka menganggapnya nyata dan aku juga menikmatinya.
“Sosiopat!”
Aku merengut kesal, dimataku kali ini banyak perempuan yang di pertaruhkan dan direndahkan. Tapi aku juga tak ingin ada perempuan lain yang di istimewakan Hasa. Simalakama.
Tapi sekarang sudah berbeda, Aleya… aku tahu aku salah dan pasti aku menyakiti mereka, but life still goes on, right? Aku bisa melanjutkan hidupku begitu pula mereka juga.
“Bagaimana kalau kau meninggalkan trauma buat mereka” Aku paham seberapa dalam perasaan ditinggalkan bisa membekas. Hasa sendiri yang mengajariku perasaan itu.
Kau pikir cuma mereka yang trauma Aley?
 Aku bungkam. Belakangan, aku sadar rangkaian bekas luka dalam diri kita bisa kembali menganga jika kita belum bisa menerimanya. Lebih daripada itu, luka itu bisa menumbuhkan duri yang justru  melukai orang lainnya.
Tapi tenang saja Aley.. aku dan dia tidak berperang kok, mereka semua baik-baik saja. Aku dan Riska juga masih berkomunikasi biasa.
Aku paham Hasa tak seburuk yang aku duga. Tapi dia juga tak sebaik yang aku kira. Dia kombinasi dari kedua sisi yang berbeda.
“Tunggu, masih komunikasi? Bagaimana kalau dia masih berharap?”
Aku tahu komunikasi yang sewajarnya Aley, aku juga tak mau dia berharap lagi.
“Hm iya.. jangan sering dibalas..” gumamku pelan. Diam-diam Hasa mendengarnya lalu menyeringai tertawa.

0 komentar: