Kepingan 77


//Ruang Bicara di Kafetaria//

Sekalipun, aku tak pernah berfikir bahwa aku akan berada dalam lingkaran kehidupan ini. Hasa benar-benar menyeretku ke wilayah dunia yang benar-benar baru untukku.
Saat ini aku duduk berhadapan dengan tiga orang pria asing yang baru saja dikenalkan Hasa, dan seorang lagi pria bernama Rasha yang pernah kutemui sebelumnya, mereka semua kawan akrab Hasa. Aku tak pernah tahu kawan dari mana, entah kawan seperjuangan kuliah, kawan kenakalan di SMA atau kawan jalan yang selalu nongkrong bareng bersamanya. Hasa tidak sepertiku yang cenderung mengkategorikan pertemanan, bagi dia, kawan ya kawan. Terlepas dimana dan kapan mereka bertemu hingga menjadi dekat seperti saudara.
Hasa mengenalkan mereka satu per satu, dan intuisi komunikasiku mulai bekerja memindai mereka. Aku berusaha mengingat nama dan kesan pertamaku dengan mereka. Di tengah ke empat pria itu, berdiri seorang perempuan yang sebaya denganku, dia menggandeng salah satu pria yang dikenalkan Hasa dengan nama Isya. Ekspresi perempuan itu sama bingungnya denganku. Aku menduga dia pun baru kali ini bertemu dengan tiga pria lainnya, kecuali Hasa. Sebab dia terlihat tak canggung berbicara dengan Hasa.
“Loh kok? Beda lagi yang ‘dibawa’ nya?” celetuk seorang pria, yang aku belum ingat betul namanya, entah Ega atau Eka.
Aku tersenyum, Itu candaan lama. Hampir semua teman Hasa yang bertemu denganku selalu bercanda serupa. Aku sudah tak heran lagi, dulunya Hasa memang punya riwayat sebagai seorang cassanova.
 Ini bukan pertama kalinya aku diajak Hasa mengikuti perkumpulan teman-temannya. Sebelumnya, Hasa pernah mengajakku untuk menemaninya di acara reuni perkuliahannya. Ah, ralat, Hasa mengajakku untuk menemaninya datang  ke acara reuni. Bagaimanapun juga, lima menit kemudian, Hasa akrab berbincang dengan teman – temannya, sementara aku ditinggalkan untuk bergaul dengan para istri teman-temannya yang membuatku mati kutu dan akward sepenuhnya sebab pembicaraan para istri ini seputar kehamilan dan perkembangan bayi. Aku tak bisa mengikuti topik itu selain dari bertanya sesekali lalu menyimak lagi dan lagi. Setiap pertanyaanku kerap dijawab dengan akhiran kalimat  “Nanti juga kerasa teh". Mendengarnya, aku hanya bisa tertawa frustasi di dalam hati.
Kembali ke saat ini, situasi reuni dan saat ini nyaris jauh berbeda. Yang dihadapanku saat ini adalah kawan akrab Hasa, mereka berbincang lebih luang dan bebas. Seperti halnya bicara dengan kawan terdekat, di antara mereka tak ada jeda formalitas ataupun rasa segan yang menyekat. Mereka mengingat masa-masa kebersamaanya, dan tetap Hasa yang selalu mendominasi bercerita, mereka membahas kekonyolan mereka, menyerapah dan memaki semaunya sambil tertawa, saling menggoda  dengan kenangan yang memalukan, hingga serius membicarakan masa depan.
Tiga definisi yang aku tangkap dari situasi mereka, hangat, liar dan berisik.
“Hasa, tuh kaya primadonanya mereka ya,? Keliatan banget dia kaya bos nya haha. Seru.” gumam Kak Regita padaku. Dia juga ikut menyimak situasi, sama sepertiku.
“Sejak dulu dia selalu seperti itu ya, Kak?”  Aku balik bertanya, yang di tanggapi dengan wajah heran.
“Eh, aku tidak tahu.”
“Kupikir kakak, sudah kenal Hasa, haha”
“Tidak, aku baru kenal dengan semua, tapi mungkin karena Hasa tipikal akrab, aku jadi gak segan dengannya, apalagi mengomentarinya, haha”
Aku tersenyum bangga. Yah begitulah Hasa. Dia selalu bisa menyesuaikan diri dengan siapa saja, sifatnya yang membuatku iri, cemburu sekaligus bangga.
Sementara Hasa terus melanjutkan cerita kenangan dan candaannya yang membuat kami semua puas tertawa, diam – diam aku mengamati pengunjung sekitar kafetaria.  Tak sedikit yang mencuri – curi pandang kearah meja kami. Sebagian ikut tertawa kecil, sebagian lain mendelik sinis setiap kali suara tawa terdengar menggelegar dari meja kami. Ruang bicara di kafetaria itu seolah terdominasi di satu meja yang ikut aku duduki.
Disudut sana, aku melihat bangku yang terpojok diantara jendela dan tembok. Terletak agak jauh dari sinyal kebisingan meja ini. Dulu, itu akan menjadi posisi favoritku di setiap kafetaria manapun juga. Terduduk diam menikmati buku yang kubaca atau sekedar mengerjakan tugas sambil bermain game online. Aku bahkan tak mau peduli dengan meja meja yang bising dan mengganggu. Tapi sekarang aku berada di meja yang tak pernah mau aku pedulikan itu. Rasanya lucu.
“Aley, mana korekku?”
Hasa menyikutku, aku membuang nafas panjang. Padahal sejak tadi aku berusaha meminimalisir asap rokok yang kuhirup. Hasa dan kawan-kawannya sama sama perokok, dan sambil berbincang mereka bisa menghabiskan banyak puntung rokok. Padahal dia bilang sudah bertekad hidup sehat, tapi dia sendiri bahkan tak sebegitu tegas pada dirinya.
Aku mengangkat dagu menunjuk kearah gelasku yang menghalangi korek Hasa. Sebelum mengambilnya, dia memasang cengirannya dahulu padaku, seperti bocah yang meminta izin bermain pada sang Ibu. Sejurus kemudian dia menyulut rokoknya dan lanjut bercerita.
Meja ini kembali riuh dengan gelak tawa yang memenuhi ruang bicara kafetaria.

0 komentar: