Kepingan 79


//Hari Raya//

Perayaan, tidak selalu harus identik dengan umbul umbul dan keramaian. Adakalanya kita hanya perlu membubuhi sebuah kesan yang tak terlupakan. Begitulah keinginanku.
Sayang sekali, aku bukanlah tipikal orang yang selalu terlibat dalam euphoria perayaan. Ketimbang membuat sebuah kejutan yang mengesankan, aku lebih pandai merubah atmosfer sebuah kejutan menjadi hal yang konstan dan membosankan. I am good at ruining the mood.  Aku punya predikat ahli dalam merusak suasana.
Tapi kali ini muncul keinginan yang berbeda, aku juga ingin bisa menumbuhkan bibit kebahagiaan yang mengesankan.
Drrrt.. drrrt. Ponselku bergetar tak lama setelah aku mengirimkan sebuah pesan. Keterangan “online” yang tertera di bawah nama kontak, menunjukan bahwa dia sedang siap siaga memegang ponselnya.
 Hasa : [Lusa, kamu kesinii yaaaaa Aleey <3]
Aku tak akan membantah demi perayaan berkesan di esok lusa yang menjadi hari kebesarannya.
Aleya : [ada request?]
Hasa : [Cuma ingin kau kesini saja besok lusaaaaaa]
Hasa : [Ah iya, tapi aku juga ingin makan  masakanmu]
Oke baiklah. Aku bergegas mencari referensi di jejaring sosial.
“Leaa, bagaimana menurutmu? Bagus tidak?” Sayup- sayup aku mendengar suara Ibu di balik bilik ruang ganti. Sejenak aku menyimpan kembali ponselku lalu masuk ke ruang ganti dengan cermin di segala sisi yang memproyeksikan bayangan tak terhingga.
Esok lusa adalah hari ketika Hasa tepat sudah 25 tahun muncul dari rahim ke permukaan bumi, dan entah rencana kesengajan apa yang Tuhan ciptakan, Hari ini, tepat Ibuku berusia 55 tahun.  Hari perayaan mereka berdua hanya rentang tiga hari.
Soal ini Hasa pernah berujar dengan nada candaan “Ternyata Aley dicintai para domba Taurus  ya hahaha” Dia merujuk pada zodiaknya dan Ibuku.
Atau, Hasa juga pernah berceloteh “Cocok! Berarti aku dan Ibumu bisa merayakan ulang tahun bersama haha”
Aku tersenyum simpul, entah kenapa, hal sederhana seperti ini justru membuatku merasa punya harapan keterkaitan lebih dengan Hasa.
“Gimana Lea?”
Ibu mengkonfirmasi lagi soal busana pilihannya. Beliau memilih sebuah sweater putih gading yang di padankan dengan rok katun  berwarna caramel, dengan menggunakan flat shoes dengan model terbaru.
“cantik, top deh, kelihatan sepuluh tahun lebih muda”
Jawabanku membuat Ibu tertawa sipu.
“Ibu ambil ini saja ya?”
Aku mengangguk. Aku tak sanggup membuat kado yang manis dan romantis untuk Ibu. Karenanya aku hanya “menculik” Ibu untuk berlibur seharian dari segala kegiatannya yang padat. Tapi Ibu justru hanya meminta untuk dibelikan sweater saja. Meski pada akhirnya berubah menjadi paket busana komplit hingga sepatu.
“Bagaimana hadiah untuk Hasa? Sudah ada?”
Ibuku tahu, Hasa juga berulang tahun di minggu yang sama. Aku menggelengkan kepala
“Sini, bagaimana kalau ini? Dia bukannya suka pake jas ya? Tambah dasi biar lebih keren”
Ibuku seolah memancarkan sinar inspirasi. Aku langsung setuju dan memilihkan warna yang bagus dan cocok untuknya. Sementara Ibu langsung beringsut pergi ke bagian diskon buah buahan dan membiarkanku berusaha  memilih sendiri.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah kebingungan memilih baju. Sebersit penyesalan muncul sebab hampir semua bajuku berada di asrama dan aku tak mau ringkih membawa baju di ranselku.  Setelah lama mencari, akhirnya aku putuskan memakai pakaian kasual saja. Toh Hasa juga mungkin tak akan terlalu memperhatikan, pikirku membela diri. Misiku untuk terlihat cantik sudah otomatis terliminasi.
Usai menyiapkan pakaian, aku mengecek kembali referensi makanan sederhana yang akan kubawakan untuk Hasa. Aku tidak membuat kue, karena selain menghabiskan waktu yang lama,  Hasa juga tak terlalu suka camilan yang manis-manis.
Aku memilah resep-resep masakan yang tertera berasa seperti chef yang siap membuat hidangan istimewa. Hanya saja, sambil menakar kemampuan memasakku, aku memilih masakan yang lebih sederhana untuk dibuat. Pada akhirnya satu resep terpilih, aku membuat masakan berbahan dasar jamur tiram dengan jagung dan telur puyuh, lalu untuk bumbunya aku memilih rempah utama cabe hijau dan sedikit jahe. Almarhum nenekku, sempat membuatkan masakan serupa versi sederhana sewaktu aku kecil dan terkena flu, meski aku rasa yang kuingat hanya gurih dan hangat jahe, tapi beliau sempat bilang masakan itu akan membuatku baikan. Kudengar Hasa juga sedang flu, jadi menemukan resep itu dengan versi modifikasi, membuatku percaya diri. This one is gonna be the best.
Aku segera meluncur mencari si blue, kendaraan pertamaku dalam segala mommen, pertama yang ku beli (meski tak sepenuhnya uangku), pertama yang ku kendarai sendiri, pertama yang membuatku kecelakaan, hingga kendaraan pertama yang pernah kubersihkan sendiri seumur hidupku, pokoknya segala yang pertama.
“Ibu? Si blue mana?”
Blue?”
Aku lupa, hanya aku dan kuro yang tahu soal sejarah panggilan blue  itu.
“Motor”
“Oh.. tadi dipakai adikmu sebentar, entah mau kemana”
Aku melirik jam dinding. Memastikan kalkulasi waktu yang tepat antara menunggu atau pergi saja.
“Yasudah deh, naik angkot saja, Ibu mau titip? Aku mau ke pasar”
“Loh tumbeen? Sesekali masak spesial buat Ibu kan haha”
“Jangan kepasar, tadi tetangga bilang lagi ada yang ribut, demo angkot  gitu.."
Aku baru ingat, beberapa minggu ini, perubahan lajur angkutan umum di kotaku membuat para supirnya kewalahan sedangkan para penumpang yang kebingungan dengan lajur baru, lebih memilih menggunakan fasilitas angkutan berbasis aplikasi online. Mau tak mau, banyak supir yang mogok dan mengajukan demonstrasi.
Tadinya, aku tak peduli. Tapi karena situasi mereka merantai hingga ke kesejahteraan hidupku saat ini, mau tak mau aku ikutan mencibir kesal.
“Di warung sayur sebelah saja belanjanya, pagi ini sepertinya belanja banyak mang pepen tuh”
Usul Ibuku, merekomendasikan warung sayur langganannya. Dan ‘belanja banyak’ adalah semacam kode bahwa di warung itu sedang ada bahan masakan yang lengkap. Kalau Ibu bilang ‘sepi’ berarti segala bahan masakan di warung mang pepen sudah tinggal sisa.
Tanpa ambil jeda aku langsung pergi ke warung yang direkomendasikan Ibu.  Lalu berbelanja secepat kilat sebelum tenggelam dalam lingkaran percakapan Ibu-Ibu di warung yang bisa menjebak hingga berjam jam.
Matahari mulai naik sepenggalan, lalu aku mulai memasak. Selain tumis jamur tiram, aku juga memasak makanan lainnya untuk dihidangkan dirumah.
“Lah kok itu dimasukan ke misting?” Adiku protes, sebagian tumis jamur tiramnya aku pisahkan.
“Mau kubawa untuk Hasa, hus.. sana jangan comot comot,  Ada perkedel sama tumisan sawi tuh”
“Dih aku mau itu dong!”
Tangannya berusaha mengambil telur puyuh yang kujaga seolah permata berharga.
“Nih sedikit saja” Aku menyendokkan tumisan itu pada adiku sebagian
“Dasar pelit, kualat loh, makanan enaknya malah ngga dibagi” Dia mulai menyumpahi.
“hahaha enak yaa? Baguslah” Sumpahnya tak masuk ke telingaku, justru celetukannya membuat hidungku memanjang berbangga.
***
Menembus dua kota, inilah mommen ke sekian kalinya aku akan berkunjung ke rumah Hasa. Kali ini aku langsung berangkat dari rumahku. Perizinan dari Ayah dan Ibu, bukan lagi hal yang sulit bagiku. Ayah bahkan bersikeras mengantarkanku ke terminal bus, yang membuatku harus menunggunya lebih lama karena ayah harus mengantarkan Ibu terlebih dahulu. Keputusannya pakem bahwa hari itu aku harus diantar. Kurasa ini salah satu efek domino dari keributan dan demonstrasi supir angkutan.
“Aku pesan online saja yaah” aku merajuk, ingin segera meluncur.
Tunggu dulu. Kan Jaga-jaga kalau kak Lea salah naik bis” begitu katanya. Padahal bis yang kutumpangi akan sama saja seperti bis biasanya.
Dan aku menghabiskan waktu di perjalanan lebih lama dari yang kuduga.

0 komentar: