//JALAN//
Aku
tak pernah mau mengutuk takdir sebab ia berputar dan berjalan begitu
menyebalkan; ia mampu mengacak-acak skenario manusia lalu menggantikannya
dengan skenario yang amat tak terduga. Ia bisa menarik garis diantara
manusia, memutuskannya dan menariknya lagi sekehendaknya. Perjanjian ku dengan
Hasa secara resmi telah berakhir. Kita berdua telah merusaknya dengan ego dan
cara kita masing masing. Tapi sialnya, kita memaksa takdir untuk menarik garis
diantara kita berdua (lagi).
Kuro
masih berada di fase kemarahannya pada Hasa. Sepanjang perjalanan, Kuro
bergerak gelisah tak bisa diam. Dia masih bersikukuh bahwa aku mengambil
keputusan yang salah.
“Lea bodoh, Lea bodoh, Lea bodoh!Kenapa bisa sih kau menuruti kemauannya?”
Tapi
ini pertama kalinya aku tak peduli, akun hanya peduli jantungku yang mulai
ramai berdebum tak tentu. Perjalananku menuju rumah Hasa semakin dekat. “Hei,
aku ga bawa apa-apa” aku berteriak pada Hasa sekencang-kencangnya, berusaha
mengalahkan suara motornya yang berdesing bising. Hasa menggeleng. Tidak
usah, tidak apa-apa. Mungkin itu maksudnya. Aku malah semakin panik.
Padahal ibuku selalu mengingatkan : jika bertamu usahakan jangan dengan tangan
kosong. Aku takut memberi kesan yang buruk.
Beberapa menit saja aku sibuk dengan pikiranku, laju motor Hasa sudah mulai melambat lalu tiba-tiba berhenti di rumah putih dengan gerbang abu. Matilah aku, jantungku nyaris berhenti. Aku sendiri merasa bodoh, kenapa aku harus sepanik ini. “Perjalanan terakhir..” suara Hasa bergaung di bayanganku. Rasanya ada sesuatu yang mengiris tipis perasaannku. Aku menarik nafas.
***
“Oh ngawulang neng?”
“muhun bu”
Disinilah
aku. Duduk manis disamping seorang ibu paruh baya yang masih bugar dan cantik
sempurna. Dia ibunya Hasa. Sedari tadi aku memperhatikannya, aku mencoba
mencari jejak Hasa disana. Sulit sekali. Beliau terlalu tenang dan ramah untuk
disamakan dengan genetik Hasa.
“tapi
da ayeuna mah barudak teh benten sareng kapungkurnya” komentar Ibunya Hasa
berlanjut membicarakan pendidikan. Sungguh anggun dan tertata. Kadang aku
tergagap sebab kesulitan memilih kosa kata bahasa sunda yang tepat untuk
bebicara dengannya. Tentu saja, aku juga gugup dengan pertanyaan-pertanyaan
lainnya. Meskipun sekedar pertanyaan standar, tapi seolah aku sedang diselidiki
lamat lamat hingga ke inti jiwaku. Benar-benar atmosfer yang aneh, aku merasa
seperti sedang membicarakan polemik perang dunia sambil bercanda.
Tapi, dibandingkan dengan Hasa, dimataku beliau lebih mirip Ayahku. Sama sama berbicara dengan formal, sama sama terdiam hening ketika kehabisan topik pembicaraan, sama sama sering membicarakan jaman dulu dan nasehat nasehat untuk jaman sekarang. Bedanya hanya bahasa yang digunakan. Ayah, jarang sekali berbicara dengan bahasa sunda. Ah, lagi-lagi aku terhipnotis untuk memerhatikan beliau.
Cukup lama kita mengobrol berdua dengan seru dan agak canggung, aku baru sadar, aku tak menemukan batang hidung Hasa.
“eh ari Hasa kamana?” Ibu Hasa sudah mendahului pikiranku.
Aku hanya menggeleng pada beliau. Satu, sebagai isyarat tak tahu. Dua, sebagai isyarat takjub karena beliau bisa membaca pikiranku. Tanpa berselang lama, Hasa menghampiriku yang masih mengobrol dengan Ibunya dengan rambut berantakan dan senyum yang amat lebar. Kali ini aku harus menggeleng takjub lagi untuk ikatan batin mereka. Baru saja ditanyakan ibunya, dia langsung muncul begitu saja.
Tapi, dibandingkan dengan Hasa, dimataku beliau lebih mirip Ayahku. Sama sama berbicara dengan formal, sama sama terdiam hening ketika kehabisan topik pembicaraan, sama sama sering membicarakan jaman dulu dan nasehat nasehat untuk jaman sekarang. Bedanya hanya bahasa yang digunakan. Ayah, jarang sekali berbicara dengan bahasa sunda. Ah, lagi-lagi aku terhipnotis untuk memerhatikan beliau.
Cukup lama kita mengobrol berdua dengan seru dan agak canggung, aku baru sadar, aku tak menemukan batang hidung Hasa.
“eh ari Hasa kamana?” Ibu Hasa sudah mendahului pikiranku.
Aku hanya menggeleng pada beliau. Satu, sebagai isyarat tak tahu. Dua, sebagai isyarat takjub karena beliau bisa membaca pikiranku. Tanpa berselang lama, Hasa menghampiriku yang masih mengobrol dengan Ibunya dengan rambut berantakan dan senyum yang amat lebar. Kali ini aku harus menggeleng takjub lagi untuk ikatan batin mereka. Baru saja ditanyakan ibunya, dia langsung muncul begitu saja.
“Hoaamh”
Dia menguap sejadinya.
Jadi sejak tadi Hasa sedang tertidur manis di kamarnya? Sialan. Padahal aku sedang gugup setengah mati.
Jadi sejak tadi Hasa sedang tertidur manis di kamarnya? Sialan. Padahal aku sedang gugup setengah mati.
“Bentar ya, mandi dulu tar kita berangkat” gumamnya padaku. Hah? Kemana lagi?
***
Aku menatap punggung Hasa yang berjalan di depanku. Kurasa dia benar-benar serius dengan ucapannya soal “perjalanan terakhirnya” itu. Dia seolah mau menghabiskan semua hal sekaligus selama tiga hari ini. Aku di kenalkan pada Ibu dan kakak-kakaknya. Lalu dia pun merencanakan untuk liburan ke kotaku.
Lalu setelah ini apa?
Kembali menjadi orang asing?
“Kuro?
Kau masih hidup?” Ini pertama kalinya aku tak mendapati respon apapun dari
Kuro. Biasanya dia tukang ikut campur. Apalagi urusan dengan Hasa.
“Kenapa?
Kau mau bicara denganku? Padahal kau sudah tidak menggubris pendapatku!”
Oh. Rupanya kemarahannya menular. Dia juga marah padaku.
“Aku cuma mengikuti apa yang ku inginkan Kuro..”
“Ya
aku tahu..”
Kuro kembali diam di dalam tas selempangku. Aku tahu dia sedang memikirkan banyak hal sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar