//Cinta Lainnya : Ibu Bagian 1//
Bagiku, sosok
Ibu adalah sosok paling powerfull yang berada dalam tatanan ‘kerajaan
rumah tangga.’ Sosok yang bahkan hawa keberadaannya begitu meresap ke akar
kehidupan.
Menurutku, Ibuku sendiri punya sosok yang berani dan cerdik. Ibuku
seorang diktator halus yang hebat, yang bahkan tak satupun berani membantah
perintahnya. Dan aku, sebagai kakak tertua seperti ajudan diktator, yang mampu
meneruskan perintahnya. Haha. Dan seperti gambaran Ibu-Ibu tipikal
‘pejuang’ lainnya, Ibuku pun punya target pencapaian tinggi dalam berburu segala macam diskon dan promosi potongan
harga. Asal tertera kata Discount, Sale atau Free, maka
instingnya menajam seketika. Satu lagi kelebihan Ibuku, adalah kemampuannya
memberikan multi-perintah (aku tak tahu istilah tepatnya apa) tapi saat
inilah contohnya.
“Kak Lea, Ibu
lelah sekali, hari ini masak kakak yang handle dulu ya?”
Ucap Ibu sambil
merebahkan badannya di sofa ruang keluarga. Rautnya terlihat lelah setelah
seharian mengikuti kegiatan pelatihan dari tempat kerjanya. Aku mengangguk
takzim menuju dapur.
Di dapur, aku mendapati
peralatan masak yang belum dicuci dan stok bahan makanan yang sudah habis.
Perintah Ibu memang hanya satu : masak untuk makan siang. Tapi situasi
menjadikannya multi-perintah yang berarti, aku harus : belanja, mencuci
peralatan dapur, membereskan dapur baru mulai memasak.
Itulah kelebihan
seorang Ibu.
Sosok seorang
Ibu pastilah berbeda-beda, tapi Ibuku, adalah sosok yang paling melengkapi
diriku. Jika aku acuh soal belanja, maka Ibu yang akan belanja. Jika aku enggan
sering-sering menerima tamu, maka Ibu lah yang sering menjamu para tamu. Jika
aku lebih sedang diam memperhatikan, maka Ibu lah yang selalu maju kedepan. Itu
sebabnya, aku lebih sering dipanggil anak ‘ayah’ ketimbang anak Ibu, apalagi ‘anak
mama’.
Tapi disisi
lain, Ibu, bagiku adalah sosok pelari yang paling sulit terkejar.
***
“Bu, minggu ini aku mampir
kerumah Hasa, boleh?” tanyaku hati-hati pada Ibu.
Kunjungan pertamaku kerumah Hasa
adalah mendadak, aku bahkan tak sempat meminta izin pada Ibu.
Ibuku mengernyitkan alisnya, aku
yakin karena dua hal. Pertama, karena ini pertama kalinya anaknya izin
mengunjungi rumah seorang laki-laki. Kedua, Ibuku hanya tahu hubunganku dengan
Hasa sudah selesai.
“Em.. aku sudah baikan dengan
Hasa” Aku hanya mampu mengklarifikasi hal kedua.
“Oh, baguslah, kalau sudah
baikan. Pantas sudah lebih cerah” goda Ibu, mengambangkan permintaan izinku.
Aku merengut.
“Menginap?” tanya Ibu lagi. Aku
mengangguk sambil berdebar.
“Menginap di siapa?” Delik Ibu
lagi.
“Em.. rumah kakaknya Hasa”
“Awas jangan merepotkan”
Aku menggeleng cepat.
“Jadi boleh?”
Ibuku mengangguk membuatku merasa
sedikit lega.
“Tapi Ayah..”
Bagiku, Izin ke ayah akan lebih
sulit lagi. Sebab aku pasti berakhir dengan mendengarkan ceramahnya. Itupun
belum tentu mendapatkan izin.
“Biar Ibu kasih tahu ayah”
Senyumku mulai merekah.
“Hehe, makasih bu”
Aku langsung melesat menuju
kamarku, cepat-cepat membalas pesan Hasa.
***
Aku mengetuk pintu gerbang dengan kaku sambil
sesekali menoleh kearah Hasa yang sedang memarkirkan motornya. Rasanya dia
lembat sekali! Seolah sengaja bergerak dengan tempo slowmotion.
“Oh, neng”
Ibu nya Hasa
mengintip dari balik gerbang dan berbegas membuka gerbang rumahnya. Aku
berusaha tersenyum menyematkan senyum paling manis yang jutru terlihat amat
kaku. Hasa tiba-tiba sudah ada disampingku, menyambar lalu mencium tangan
Ibunya. Ibunya membalas dengan mencium kedua pipi dan keningnya. “Manis
sekali” pikirku, sebab jarang sekali anak laki-laki masih mau menerima
kecupan Ibunya karena menjaga gengsi.
“Sehat, neng?”
sapa Ibu Hasa, dan aku pun ikut mencium tangan beliau. Sepertinya Ibu Hasa
masih belum ingat namaku, terlihat dari panggilannya yang hanya menyebutku neng.
Baru aku menarik
nafas untuk ancang ancang menjawab, Ibu Hasa menarikku hingga tertunduk dan
menempelkan kedua pipinya di kedua pipiku. Jantungku berdebar bukan main.
Padahal dalam adat sunda, itu adalah ritual salaman yang lazim bagi perempuan. Cipika
Cipiki anak zaman saat ini menyebutnya demikian. Tapi bagiku tetap terasa
baru dan tabu. Hidungku nyaris merekah kesegala arah.
Momment itu
menjadi satu satunya salam yang paling dekat yang aku lakukan dengan Ibu nya
Hasa.
“Ayo masuk, tapi
Ibu ngga masak apa apa neng”
Ibu Hasa kembali
mencairkanku yang sejenak membeku, Hasa sendiri sudah berada di dalam rumah
menyambar apa saja yang ada di meja makan.
Aku mengikuti
Ibu Hasa menuju ruang keluarga, padahal sebelumnya aku hanya berdiam diruang
tamu.
“Yah, nggak
masak bu haji?” Suara hasa terdengar kecewa mendapati meja makannya bersih.
Hasa sering bercanda dengan memanggil Ibunya dengan sebutan Ibu haji.
“Nggak, habisnya
tanggung, mau makan apa atuh nanti biar Ibu masak” jawab Ibu dengan
aksen sundanya.
“Ngga apa apa
nanti keluar aja beli makan, Ibu nggak mau nitip kan ya”
“Mau beli apa,
memangnya?”
“ Ah belum tahu,
pokonya nanti aja diluar, beli bakso paling”
“Beli yang di
tempat yang itu tea atuh”
“Yang itu tea
yang mana ah bu haji”
Percakapan anak
dan Ibu itu terlihat akrab dan ringan. Rasa gugup dan kaku sejenak mereda dari
batinku.
“Aley, temani
Ibu dulu ya!”
“Iya hayu
kita kedepan saja ke toko.”
Aku mengikuti
Ibu Hasa menjaga toko yang Ia rintis sudah lama.
“Gimana
mengajarnya?”
Ibu Hasa memulai
pembicaraan sambil membereskan beberapa stok penjualannya.
“Um..masih libur
bu kalau sekarang”
“Oh iya ya..beda
dengan sekolah SD yang sudah masuk ya..”
Ibu Hasa
terlihat anggun sebab tertawa kecil yang entah kenapa membuat atmosfer kali ini tidak
sekaku pertemuan pertama. Meski Hasa (lagi-lagi) menghilang entah kemana, tapi
kali ini pembicaraan dengan Ibu Hasa mengalir begitu saja.
“Katanya hari
ini mau mengunjungi rumah baru kak Renren ya?”
Aku mengangguk.
Memang rencananya begitu. Meski sebelumnya pernah di kenalkan dengan kak
Renren, tapi malam ini aku akan menginap dirumah barunya. Aku mulai teringat
perasaan canggung lagi.
“Iya mending
menginap di Kak Renren saja, daripada menginap di teman kan khawatir”
Aku hanya
tersenyum saja. Menurutku sama saja canggungnya, sebab kota ini wilayah yang
tak ku kenal sama sekali.
“Kak Renren itu
menantu Ibu yang paling akrab dengan Hasa, wah kalau kemana-mana dengan mereka mah,
selalu ada saja cerita”
Lalu dimulai lah
Ibu Hasa bercerita soal kak Redi dan kak Ren-rn dengan gaya berceritanya yang
khas dan persis dengan Hasa. Ibu Hasa bercerita dari masa kecil kak Redi, masa
remaja hingga komplit saat mau menikah dengan kak Renren. Alih alih terfokus
pada ceritanya, aku malah terkesima dengan cara Ibu Hasa berbicara dan tertawa.
Hangat. Pikirku.
Dirumahku, aku
jarang pernah ada waktu bercerita soal masing-masing Individu. Bagiku, yang tak
asing dari pembicaraan Ibuku adalah perintah-perintahnya untuk bisa jadi wanita
kuat dan dari pembicaraan ayahku adalah nasehat nasehatnya agar jadi wanita
yang penyabar. Aku tak akan pernah tahu bagaimana kisah cinta Ibu dan Ayahku
jika tidak ada tante Alen yang memberitahu. Aku juga tak pernah tahu bagaimana
kenakalan kenakalan masa kecilku dimata Ibu. Aku bahkan tak pernah tahu detil
cerita setiap momen di sudut rumahku
yang diluar ingatanku sendiri.
Melihat mata Ibu
Hasa berbinar saat berkata “Redi itu saat muda tampan, tapi tegas, banyak
temannya segan, tapi Renren itu ceria, sering bercanda, haha” Matanya
benar-benar seperti seorang Ibu yang bangga pada anaknya.
Aku hanya bisa
mengangguk takzim sambil tersenyum.
Diam – diam aku
bertanya, apa Ibu pernah menceritakanku dengan mata yang seperti itu?
***
Suara derung
motor membuyarkan fantasi dan percakapanku dengan Ibu Hasa. Hasa mengetuk pintu
gerbangnya, Ibu Hasa dengan gesit sudah berada di depan gerbang membukakan
pintu.
“Darimana? si neng
meni ditinggal. Bukannya mau beli makan?”
Aku melihat
arloji di pergelangan tanganku, jam menunjukan pukul dua siang. Tak terasa
sudah empat jam aku dan Ibu Hasa berbincang. Ah, lebih tepatnya Ibu Hasa
bercerita dan aku mendengarkan.
“Habis dipanggil
dari kantor tadi. Iya habis ini kita cari makan ya neng Aley?”
Ucap Hasa
mengikuti Ibunya memanggilku dengan emeb-embel ‘neng.’ Uratku berkedut di
kening, jadi dia sejak tadi bekerja? Padahal sebelumnya dia bilang sedang
libur, mau menghabiskan waktu denganku saja katanya. Aku memutar bola
mata.
Hasa sekonyong
konyong masuk kedalam rumah.
“Akhir-akhir ini
Hasa sering di suruh bekerja di waktu liburnya, bahkan pernah di susul
malam-malam cuman buat bekerja. Halah, yang lainnya mah ga bisa
apa apa di kantor. Padahal kalau Hasa yang mengerjakan. Lima menit saja beres.”
Aku melihat
sosok Ibu yang sedang membela anaknya.
Aku tersenyum
geli. Kesalku pada Hasa terhapuskan seketika.
0 komentar:
Posting Komentar