//TITIK DIDIH//
Hari ini, aku
melihat Darso tertawa, sedangkan aku naik pitam dibuatnya. Aku baru menyadari,
beberapa hari sebelumnya, dia selalu melakukan hal yang tidak seperlunya dia
lakukan. Tentu saja itu hal baik, seperti sering mengajak makan bersama tim,
sering memperhatikan makanan dan kesehatan bahkan hingga memenuhi keperluan
timnya. Kebaikan yang dia lakukan, aku pikir hanya berdasarkan basis
kekeluargaan yang memang di terapkan di timku. Bahkan Aira selalu bilang, dia
memang terlalu perhatian pada rekan kerjanya.
Belakangan, dia
sering mengirimiku makanan kesukaanku, dia selalu standby di tempat
kerjaku, dia memperhatikan pakaianku dan terakhir dia menyuruhku membeli sebuah
tas dengan dalih ‘tugas’. Aku tidak mengikutinya.
Esoknya dia
bilang memintaku membeli tas merupakan ’ujian kepribadian’ untuk
pekerjaannya dan aku salah satu pegawainya yang memiliki ego tidak mengikutinya.
Kedua kalinya,
aku mengikutinya dan dia tertawa.
“Nah, kan apa
susahnya melakukan sesuai perintahku, lagipula tasnya untukmu juga..Tak ada ruginya..
Tapi aku jadi senang juga.. mungkin karna aku tak punya anak perempuan, ada kau
rasanya seperti punya boneka”
Aku murka
semurka-murkanya. Menurutnya anak perempuan itu boneka? Mengetahui bahwa
aku dianggap sebagai benda yang bisa digerakan seperti kemauannya. Aku pulang
dengan air mata kekesalan. Pikiranku mulai berhamburan kemana-mana dan berfikir
bahwa setiap orang selalu mempermainkanku semaunya. Seperti itukah
orang-orang melihatku? Aku diam pada prinsipku, dan orang-orang kelelahan. Aku mencoba
berbaik hati, lalu mereka memanfaatkan.
Kuro aku
harus bagaimana?
Aku terdiam
ketika memikirkan kuro. Aku tak bisa bicara dengannya. Aku sudah memutuskan
untuk percaya Hasa.
Aleya : [Hei..Aku mau
cerita....]
Ini pertama
kalinya aku sendiri yang mulai bercerita pada Hasa. Aku ingin bersandar
padanya.
Hasa : [Kau bodoh
Aley. Kubilang apa. Lalu kenapa kau baru cerita padaku ketika semuanya sudah
membuatmu kesal!? Itu salahmu Aley, atau sebenarnya diam-diam kau juga senang
dimanjakan, senang dipuji oleh Darso? Hingga kau tidak sadar cuma dianggap
boneka]
Aku mendapati
Hasa marah besar padaku. Tulang – tulangku terasa remuk untuk kesekian kalinya.
Kuro tiba-tiba
memelukku. Aku tahu sebenarnya dia ingin mengatakan “sudah kubilang tak usah
mengandalkannya” Tapi dia hanya diam memelukku.
“Maaf”
ucapnya membuatku semakin lemas.
Aku tertawa
getir di sela – sela tangisanku.
“haha..
sebenarnya aku bercerita hanya ingin pembenaran ya?”
Kuro menggeleng.
“Seharusnya aku
memberi tahu soal Darso”
“Kuro kau sudah
tahu!?” Aku tidak bisa menahan bentakanku.
Tangisanku
semakin menjadi jadi. Kuro semakin erat memelukku. Pada akhirnya kuro yang
benar-benar ada di sampingku saat ini.
Kuro mengangguk,
dia sudah merasa bahwa Darso punya maksud tersembunyi padaku. Bagiku, Itulah
sebabnya Hasa lebih pengatur dari sebelumnya. Seharusnya dia memberi tahu, dengan begitu Hasa tak perlu semarah itu padaku.
“Tidak ada
hubungannya dengan Hasa, Lea. Darso dan Hasa, mereka dua orang dengan rencana
yang berbeda, tapi sama-sama punya maksud tersembunyi padamu! Dan aku tahu keduanya
bukan siapapun untukmu.”
“Tentu ada
hubungannya! Aku tak peduli soal Darso, tapi Hasa...”
“Hasa lebih bisa dipercaya!? Dia bahkan
lebih percaya kau akan tergoda Darso! Dengarkan aku Lea. Kali ini Hasa lah yang
tidak mempercayaimu! Itu sebabnya aku tak ingin kau membelanya lagi. Sejak
komitmen kalian selesai, dia sudah tidak percaya padamu. Aku bahkan tak tahu
apa yang masih dia inginkan darimu.”
“Kalau....
begitu... bukannya aku harus membuatnya percaya?”
Kataku masih
terisak. Sedangkan kuro tiba-tiba melepaskan pelukannya.
0 komentar:
Posting Komentar