Tingkah Darso
mulai menampakkan taringnya. Dia memanggilku keruangannya dan bulu kuduku
dibuat berdiri mendengarkan kalimat-kalimatnya.
“Mungkin
sebenarnya pertemuan kita itu garisan takdir Tuhan yang lebih rinci, sebab
kulihat kau sangat cocok dengan karakterku”
Aku baru
menyadari, dia ternyata manusia naif yang sedang menggila, tapi aku lebih memilih
tenang dan diam daripada harus memprotes pernyataan absurdnya. Bagaimanapun
juga, dia atasanku. Aku tak ingin hal bodoh semacam ini meributkan urusan
pekerjaan.
“Kau tahu? Kurasa
kau harus menyerahkan perasaanmu pada Tuhan, agar kau bisa menyadari bahwa kita
memang ditakdirkan”
“Tidak, darso”
Kau gila?
Kau bahkan sudah menikah dan masih bertingkah seperti ini!?
“Jangan terlalu
cepat menyimpulkan kata tidak, kita tidak tahu soal takdir Tuhan bukan?”
Mendengarnya,
perutku terasa ingin memuntahkan lagi sarapanku. Aku muak. Tapi kurasa aku tak
berhak merendahkan sebegitunya. Setidaknya dia manusia, dan dia bahkan pernah
mengajariku banyak hal. Kupikir dengan mengabaikannya sudah cukup.
***
Kuro setuju
denganku, mendiamkan dan mengabaikan Darso, akan membuatnya berhenti dengan
sendirinya. Tapi Hasa tidak, dia percaya bahwa Darso lebih buruk dan berbahaya
dari yang aku perkirakan. Jika menurutku Darso hanya bertindak bodoh akibat perasaan emosional, menurut Hasa dia justru
akan bertindak emosional karena bodoh. Atasanku itu, tiba-tiba menjadi pematik
pertengkaran diantara Kuro dan Hasa. Aku diapit keduanya.
Hasa : [Pokoknya
kau harus merespon sesuai dengan yang aku katakan, dan kau harus mengabariku
setiap detail tentang tingkahnya!]
“Dia sedang
mengaturmu lagi! Bukankah tidak sepantasnya dia bahkan mengatur responmu?Dia
sendiri sama seperti Darso sedang berusaha merubahmu!”
Hasa : [Ya tuhan
Lea! Kenapa kau selalu berbohong sih!? Cerita yang kau katakan padaku selalu
terpotong-potong lalu berubah-ubah! Kau
ingin aku tak percaya padamu?]
“Haha. Dia memang
sudah tak percaya padamu Lea. Lihat! Dia bahkan bertingkah layaknya detektif,
mencari-cari kesalahan kecil darimu!”
Hasa : [Berhenti
berkomunikasi dengan orang sekitar Darso! Meskipun itu Tana. Darso bisa saja
memanfaatkannya juga untuk mengganggumu]
“Great!
Sekarang dia juga membatasi hubungan sosialmu, dia bahkan tak menghargai
teman-temanmu yang kau anggap berharga, apa sih yang kau harapkan Lea?”
Bukan hal yang
mudah untuk menahan air mata di situasi seperti itu. Perasaanku, pikiranku dan
tenagaku terkuras habis untuk hal yang bahkan tak aku pahami. Disisi lain,
Darso terus merong-rong mengganggu setiap waktu istirahatku. Kepalaku rasanya
dihantam gada terbesar yang pernah ada.
Hasa : [Apa
apaan? Lihat Aley polamu selalu sama saja, kau tak pernah belajar. Kau selalu
berbohong, membuatku ragu. Lalu jika aku marah padamu, kau justru mulai meluap
luap menyalahkanku dan lebih marah padaku! Tapi saat aku memintamu cerita kau
justru diam]
“Sudahlah
Lea. Hentikan saja. Sudah kubilang dia tak mempercayaimu. Dia bahkan tak paham
cara menenangkanmu. Aku tak mau melihatmu seperti dulu lagi atau bahkan lebih
parah dari itu. Dia bahkan tak menjagamu sebagai perempuan, mengertilah Lea.
Kau lebih baik tidak berhubungan lagi dengannya”
Aku berada di
nadir.
Aku merebahkan
diriku dengan handuk dingin di kepalaku. Semalaman aku membiarkan air mataku
meluncur sepuasnya sambil meredam teriakanku yang tak jelas hingga terlelap.
0 komentar:
Posting Komentar