//Cinta lainnya :
Ibu bagian 4//
Pagi itu,
lagi-lagi Hasa mengirimiku kejutan listrik yang memicu jantungku. Sebuah pesan
perintah dari Hasa masuk ke inbox ku.
Hasa : [Weekend
ini temani Ibu belanja yaa Aley?]
Hasa : [Ya..
ya... yaaa?]
Hasa : [Kak
Renren dan Kak Redi juga akan belanja]
Hasa : [Tapi aku
tak ikut, ada kerjaan di kantorku]
Hasa : [Okee?
Aleya baik deh, cantik pula]
Aku menepuk
jidatku yang lebar sempurna. Padahal Hasa paling tahu aku adalah orang yang
tidak bisa belanja.
Aleya : [Nanti
Ibu malah tersesat di pusat perbelanjaan -_-]
Hasa :
[Hahaha... tenang saja, Ibu punya Insting “Ibu-Ibu” yang tajam, gak akan
tersesat lah!]
Aleya : [mau
belanja apa memangnya?]
Hasa : [mau beli
baju, tar bantu juga pilihkan]
Yang
benar saja, aku hanya tahu selera fashionku sendiri yang stlye-nya ‘pokoknya
tereserah aku’
Aleya : [mana
bisaa -_-]
Hasa : [Bisa
kook! Percaya. Nanti di jemput di gerbang tol ya!]
Hasa : [Aku
sudah bilang ke Kak Renren juga, ini nomornya 08xxxxxxxx]
Hasa : [Nanti
hubungi saja Kak Renren nya]
Aku tak bisa
menolak permintaanya. Apalagi jika permintaannya bisa membuatku bertemu dengan
Ibu.
Aleya :
[Baiklah]
Hasa : [ Thaank
you <3]
Aleya : [<3]
Aku buru-buru
membuka search engine google dan mengetikan kalimat : tempat belanja
rekomendasi di sekitar perbelanjaan Pasar Baru. Juga kalimat : model pakaian
terbaru untuk Ibu-Ibu muslimah.
***
Dari gerbang
tol, aku melihat sebuah mobil silver berpelat X melaju dengan kecepatan lambat
dan mulai berhenti di depanku. Itu pasti mobil Kak Redi. Dan benar saja,
tak lama setelah berhenti, jendela mobil depan bergeser turun menunjukan wajah
wajah yang mulai tak asing lagi bagiku.
“Nunggu lama
Aleya?” Tanya Kak Renren saat aku masuk mobilnya.
“Baru kok, Kak”
Aku duduk di
bangku tengah bersama Ibunya Hasa, beliau terbalut dengan blouse panjang
selutut berwana cream dan celana sayur cokelat dengan jilbab berwarna
senada. Baju warna pastel dan netral menenjukkan karakter beliau yang begitu
tenang. Bak seorang peneliti trend fashion, aku mengira – ngira baju seperti
apa yang Ibu Hasa suka.
“Hari ini libur
kan ya? Gak apa-apa ya temani ke Pasar baru?”
Ibu Hasa
tersenyum lembut padaku.
“Oh iya libur
bu, Gak apa apa, justru takut malah merepotkan hehe”
“Haha, engga atuh.
Biasanya kalau libur di kosan kegiatannya apa?”
“Ya.. gitu aja
bu, paling cuma bersih bersih atau internetan”
“Haha, iya
sekalian istirahat ya..”
“Kalau Hasa mah
Kerja rodi, libur saja masih ada kerja” Kak Renren ikut menimpali.
“Iya ya, gimana atuh
itu kerjaannya teh ya..” Ibu Hasa terpacing, beliau menjawab berapi
api.
“Hehe.. iya..”
aku kehabisan kata-kata.
“Oh iya, Aleya
dan Hasa itu dulu sekampus ya?” kak Renren memulai topik baru.
“Iya kak, tapi
dulu di kampus gak kenal, gak pernah ketemu”
“Oh iya di summer
camp itu yaaa, haha ciee”
Aku hanya
tersenyum dengan muka memanas.
“Tapi dulu Hasa
ngga sebesar sekarang ya?” celetuk Ibu Hasa loncat topik lagi. Sejenak aku
ingin tertawa, mengapa Ibu Hasa beralih topik kesana. Tapi untunglah, kontrol
tawaku masih berguna. Perawakan Hasa yang tinggi dan besar memang terlihat
seperti diatas rata-rata umumnya orang Asia, yang membuat dia juga terlihat
lebih tua ah.. dewasa dari usianya.
“Ah, dari kelas
tiga SD juga pertumbuhan Hasa sudah mulai cepat, makannya makin banyak
pula” Kali ini Kak Redi mulai bersuara.
“Tapi sebenarnya
badannya fit, dia masih sanggup lari, masih kuat push up juga
sebenarnya.. Cuma malas olahraga saja” Ibu Hasa menimpali lagi.
Aku hanya terdiam menyerap percakapan itu untuk
kuteruskan kembali kepada Hasa. Setelah topik soal perawakan Hasa selesai,
pembicaraan beralih ke agenda kegiatan hari ini.
“Beli kue dulu
di toko, terus mulai belanja, nanti aku sama Kak Redi, Ibu dengan Aleya, kita
ketemu lagi di gerbang depannya, terus setelahnya baru kita ambil pesanan
barang lalu makan siang ya?”
Sahut Kak Renren
sambil mengingat ingat barangkali masih ada yang harus dilakukan atau dipesan.
Kami semua hanya mengangguk setuju.
***
Di depan sebuah
gapura besar bertuliskan Pasar Baru, Aku dan Kak Renren berpisah jalur, Ibu
menggenggam tanganku dan menarikku memasuki area busana.
“neng Aleya,
kalau beli baju yang bagus dimana?” tanya Ibu Hasa sambil melihat barisan toko
yang berjejer dan men-display busana yang hampir sama.
“kurang tahu bu,
tapi katanya dilantai satu dan tiga bajunya bagus bagus”
“Oh ayo kesana”
Aku sering
berbelanja dengan Ibuku, tapi tak pernah menjadi pemandu, sebab Ibuku lebih
hafal medan perbelanjaan. Biasanya, Ibu hanya menanyakan pilihan baju yang
lebih bagus, berkualitas juga terlihat seperti anak muda. Ibuku selalu ingin
dipilihkan baju olehku, tapi beliau sendiri justru lebih suka memilihkan baju
untukku.
Kali ini aku
harus memandu juga memilihkan baju, aku benar benar bingung.
“Lebih bagus
mana neng Aleya”
Ibu Hasa
menunjukan sebuah gamis layer hitam dengan outer bercorak batik warna
coklat di tangan sebelah kanannya dan gamis kuning dengan outer bercorak
bunga matahari berwarna hitam di tangan sebelah kirinya.
“Yang kanan
bu” dimataku gamis kuning itu terlihat
seperti kostum lebah.
Ibu Hasa
mengambil lagi gamis dengan model serupa dan warna yang berbeda. Lalu beliau
menanyakan pertanyaan yang sama. Meski sejenak bimbang, sebab perbedaannya
tidak tertalu mentereng, aku tetap menyarankan setelan gamis yang pertama.
“Yasudah yang
ini”
Sudah
selesai kah?
“Kita cari yang
lain lagi ya..” lanjut Ibu Hasa kembali menjajaki pertokoan busana.
“Mau cari baju
gimana bu?”
Ibu Hasa terdiam
berfikir beberapa saat.
“Hm.. untuk baju
untuk ke undangan saja, terus Ibu mau cari kerudung dengan layer di
dada, sama cari baju buat neng Lisa”
Aku tahu, Lisa
adalah cucu Ibu dari puteri Ibu yang kedua, yang belum pernah aku temui sama
sekali. Dia salah satu keponakan yang akrab dengan Hasa. Nama Lisa terkadang
muncul diantara percakapan Hasa dan Ibunya.
Aku dan Ibu Hasa
memutari satu persatu toko disana. Ibu Hasa berulangkali bertanya padaku,
“tempat yang bajunya bagus dimana?” yang berarti tak satupun dari puluhan toko
yang kulewati memiliki baju yang sesuai dengan keinginian Ibu Hasa. Termasuk
toko yang aku tahu dari rekomendasi pencarian google.
Menjelang siang,
akhirnya Ibu Hasa tertarik pada setelan busana terusan di sebuah toko, modelnya
selalu sama, hanya coraknya saja yang berbeda. Pertama, Ibu Hasa memilih
terusan dengan corak bunga hijau tosca, tenang dan elegan. Aku mengangguk tanda
setuju. Tapi beberapa menit kemudian seorang pelanggan lain memilih corak daun
dengan warna merah cerah. Ibu Hasa tertarik pula dengan corak itu, bagiku
sendiri ada tiga corak yang menurutku cocok dan menarik, corak bunga hijau tosca,
corak polkadot berwarna merah maroon dan corak abstrak berwarna pink
biru.
Ibu Hasa diam
diam memperhatikan pelanggan lain yang sedang memilih corak, dan aku diam diam
memperhatikan beliau. Seorang pelanggan
memilih corak kerang berwarna putih gading, beliaupun menelaah corak kerang
yang sama, lalu mempertimbangkannya.
“Corak ini bagus
ya?” tanya Ibu menunjukan si baju bercorak kerang padaku. Aku mengangguk, meski
masih memberi masukan soal corak bunga yang tosca. Tapi sebenarnya terserah
selera ibu, pikirku ragu.
Pelanggan itu
kembali memilih corak lainnya, Ibu Hasa mengikuti. Aku tertawa seolah mereka
sedang berkompetisi menjadi juri penentuan corak fashion terbaik di
tahun ini. Kompetisi itu usai setelah si pelanggan memutuskan untuk tak membeli
terusan yang ia pilih dengan alasan tak ada diskon. “Iya padahal ditempat lain
bisa lebih murah” Ibunya Hasa ikut memanasi.
Penjual toko itu tersenyum amat kecut.
Tapi dengan
perginya pelanggan itu, Ibu Hasa bebas memilih corak yang telah tertandai
sebelumnya, tanpa harus bersaing sebab hanya ada satu baju untuk setiap
coraknya. Dan ada sekitar lima corak yang ditandai Ibu Hasa dan pelanggan yang
sudah pergi, termasuk corak pertama yang Ibu Hasa tanyakan padaku. Ibunya Hasa
terus mempertimbangkan pilihannya seolah sedang menentukan pilihan terpenting
di kehidupan. Pada akhirnya Ibu Hasa memilih baju terusan corak bunga dengan
warna tosca. Aku tertawa kering, memutar bola mata. The real Ibu-Ibu.
“neng Aleya
mau baju yang mana?” Ibu Hasa bertanya seraya merayapi toko busana lainnya.
Ibu memilih
terusan model kelelawar berwana pink kecoklatan dengan pita di lengan.
“yang ini bagus
kan? Suka tidak?”
Aku seperti
sedang dipilihkan baju untukku sendiri. Ibuku juga selalu begitu. Aku
mengangguk setuju. Aku mulai menelaah taraf kecocokan baju itu, kurasa akan
bagus jika dipakai dengan rok atau kulot
berwarna gelap dengan tambahan
aksesoris belt kecil di pinggang. Oke, berarti aku harus beli belt kecil dan
rok yang cocok dengan baju ini. Simpulan untuk fashion ku sendiri.
“terima kasih
bu, maaf jadi merepotkan”
Gumamku ketika
Ibu Hasa bersikeras membelikan baju itu untukku.
“Duh, tidak
apa-apa, bagus kalau suka..”
“Oh ya bu, Hasa
titip belikan training katanya, tadi mengirim pesan padaku”
“Jam berapa
sekarang? Dimana beli trainingnya?”
“Jam dua belas
lebih, tempat beli training di toko dekat pintu belakang pasar bu”
“Ah, sudah
terlalu siang, biar nanti dia cari sendiri saja, ayo kita kesana! Cari baju
buat neng Lisa”
Ibu Hasa
menunjuk segerombolan Ibu-Ibu yang sedang berdesakan berburu baju yang sedang
didiskon besar besaran. Oh my... here we go..
Aku tak pernah
tahu bahwa perjuangan Ibu-Ibu untuk mendapatkan baju yang bagus dan murah
begitu getir namun cerdas. Selain hanya berdesakan, berhimpitan dan berebut
baju kesana kemari, berbagai skill professional juga amat sangat
dibutuhkan pada situasi ini: skill menyelinap, skill bergerak
cepat, skill negosiasi untuk menawar harga (yang padahal sudah jelas di
diskon), skill matematis untuk
menghitung kalkulasi harga dengan cepat hingga skill memanipulasi lawan agar tidak memilih barang
yang kita inginkan.
Biasanya aku tak
pernah mau terlibat langsung dengan euforia Ibu ibu yang berburu diskon,
tapi kali ini aku ditarik langsung oleh Ibu Hasa seolah pejuang baru yang di training
untuk mengenali medan perang.
Masih tersisa
sedikit nafas terengah ketika aku bertemu Kak Renren di gerbang depan.
“Cape Aleya?”
Aku hanya
terkekeh menjawab pertanyaan Kak Renren. Aku baru saja berjuang Kak.
***
“Ini lap untuk neng
Aleya” Ibu menyerahkan lap tangan saat
makan siang. Aku benar benar merasa diperhatikan bahkan hingga hal terkecil
serupa Lap tangan.
Percakapan saat
makan siang pun masih di dominasi oleh cerita kenakalan kenakalan Hasa sewaktu
kecil juga tentang betapa akrabnya Hasa dengan keponakan keponakan kecilnya.
“Biar wajahnya
seram juga, anak-anak justru apet ke Hasa. Sampai tidurpun selalu pengen
bareng Hasa” sahut Ibu Hasa berbangga padaku. Aku mengagguk.
Bahkan tanpa
Hasa pun, keluarganya masih dengan senang menceritakannya. Mereka seolah dengan
jelas mendeklarasikan kasih sayangnya pada Hasa, dan dunia harus tahu bahwa
Hasa itu Istimewa.
Aku bersyukur
bisa tahu itu. Untung saja hari ini aku ikut berbelanja..
0 komentar:
Posting Komentar