Darso
masih belum menyerah. Aku dipanggil ke kantornya hanya untuk (lagi-lagi)
membahas takdir Tuhan. Sesekali, di sela-sela bicaranya soal penyerahan diri
pada Tuhan, dia tertawa garing menyebalkan. Dia mencekokiku dengan
kalimat-kalimat manipulatif.
Mengatakan bahwa dia tidak punya maksud apapun padaku, namun jika Tuhan menghendakinya menjadi pendampingku, dia bekata siap dengan mantap. Sungguh, aku bukannya tidak percaya pada Tuhan. Tapi aku jelas menangkap tujuannya bukanlah tentang agama. Membujuk seseorang dengan dalih agama adalah hal terkejam yang pernah kutemukan. Aku mual sekaligus shock mendengar dalil-dalilnya. Satu-satunya yang terpikirkan oleku adalah : Aku ingin menceritakan semuanya pada Hasa.
Mengatakan bahwa dia tidak punya maksud apapun padaku, namun jika Tuhan menghendakinya menjadi pendampingku, dia bekata siap dengan mantap. Sungguh, aku bukannya tidak percaya pada Tuhan. Tapi aku jelas menangkap tujuannya bukanlah tentang agama. Membujuk seseorang dengan dalih agama adalah hal terkejam yang pernah kutemukan. Aku mual sekaligus shock mendengar dalil-dalilnya. Satu-satunya yang terpikirkan oleku adalah : Aku ingin menceritakan semuanya pada Hasa.
Hasa
: [Dia tidak bisa dibiarkan Aley. Obsesinya tinggi. Kurasa kau harus pindah
asrama, terlebih lagi dia yang merekomendasikanmu asrama itu. Terlalu
berbahaya]
Hasa
dengan segala antisipasinya selalu memikirkan dua, bahkan tiga kali lipat
langkah yang lebih jauh. Aku, yang besar dan terbiasa di lingkungan acuh dan
tidak peduli, untuk pertama kalinya bertemu dengan orang dengan antisipasi
sejauh itu. Kupikir itu terlalu berlebihan.
Hasa
: [Aku akan mengunjungimu, kau harus pindah]
***
Disinilah
aku bersama Hasa. Dia benar-benar datang mengunjungiku dan mengurusi kepindahan
asrama tempat tinggalku. Seorang bapak muda menyerahkan sebuah kunci kamar pada
Hasa, dia sempat memberi tahu beberapa fasilitas dan hal yang berkaitan dengan
asrama, aku hanya mendengarkan tanpa mencermatinya. Pikiranku tercecer entah
kemana.
“Baiklah, kepindahannya di
mulai tanggal dua awal bulan ya!”
“Baik terima kasih pa”
Hasa menjawab pernyataan bapak
kosan, mewakiliku. Aku masih mencerna
apa yang sedang terjadi sejak aku dipanggil Darso.
"Ingat Lea, jangan ada teman kerja yang tahu soal kepindahanmu. Jangan biarkan seorang laki-laki pun masuk ke asrama baru mu. dan untuk perizinan kepindahan asrama kantor, bilang saja kau pindah bersama saudara. Pokonya jangan sampai Darso bisa mencari tahu soal tempat tinggalmu sekarang, oke?"
Aku mengangguk saja.
***
Sorenya,
Tana mengunjungiku. Dia juga tahu permasalahan Darso yang sedang menggila hanya
karna hormonnya sedang mendidih. Tana lebih merasa bersalah, sebab dia yang
mengenalkanku pada Darso.
“Ah
jadi ini Hasa” Sahut Tana awkward. Ini pertama kalinya dia bertemu
langsung dengan Hasa. Terakhir kali ia berkomunikasi dengan Hasa adalah ketika
ia memaki Hasa yang sudah mekhatamkan (perjanjian) hubungan denganku.
Tapi tanpa aba-aba, mereka
berdua mengadukan kedua tangannya melakukan high
five sambil tertawa. Seakrab itukah? Perasaanku ditarik dan mendadak
berubah menjadi euphoria. Peduli setan soal Darso, kedua orang yang ku sayang,
sekarang melakukan high five!
Akhirnya aku, Tana, Nara
(teman dekat Tana yang juga kenal Darso) juga Hasa makan bersama sambil bergibah merundingkan tindakan Darso.
“kurasa sebaiknya kau bilang
saja pada istrinya Lei! Sudah gila itu!” Tana menggebrak meja.
“Tapi masalahnya akan membesar
kalau begitu.” Nara berfikir sambil memegang dagu.
“Dia seperti psikopat ya.. haha” Hasa hanya mengomentari pembicaraan Tana yang
menggebu-gebu.
“Kurasa besok kau tidak usah
masuk kerja Lei! Aku takut dia macam macam!”
Emosi
Tana menular padaku, aku yang tadinya merasa tak peduli, dan hanya merasa muak
juga kesal, mulai merasa takut pada ulah Darso. Kurasa ambil cuti kerja
merupakan ide bagus. Lagi pula aku perlu menata kembali pikiranku soal apa yang
terjadi.
Aku
mengirimkan pesan perizinan untuk cuti pulang selama dua hari di hari Kamis dan
Jumat. Dengan begitu, aku bisa punya long
weekend yang cukup untuk merefresh kembali pikiranku. Sudah terlalu banyak
yang terjadi sejak kepindahanku ke kota ini, bahkan Kuro…
Aku
menggelengkan kepalaku, menatap Hasa dan Tana yang mulai akrab berbicara.
Menyenangkan.
“Hei..aku
kebelakang dulu ya”
***
Aku
mencuci muka sambil menyamarkan air mata yang lagi-lagi mengalir semaunya.
Entah kenapa tiba-tiba aku menangis begitu saja. Kupikir stok air mataku sudah
habis karena akhir –akhir ini terlalu banyak menangis. Sejak kapan kau jadi cengeng begini Lea? Aku melihat bayanganku di cermin. Berantakan.
Apa aku menangis karena senang
melihat Tana dan Hasa ada disini?
Apa aku menangis karna terharu
melihat Hasa yang berusaha melindungiku?
Apa aku menangis karena Kuro tidak
ada?
Apa aku menangis karena kesal dan
lelah pada tingkah Darso?
Aku
tak paham, terlalu banyak emosi yang berkecamuk di benakku.
0 komentar:
Posting Komentar