Kali ini, aku
dan Hasa berada di perjalanan menuju rumahnya lagi. Ini kunjunganku yang kedua
dalam sebulan terakhir, dan aku masih saja gugup. Sebab kali ini aku akan
menginap dirumah Hasa, dan tidur bersama Ibunya. Hasa selalu punya cara untuk membuat
jantungku bekerja lebih ekstra dari biasanya.
“Simpan HP nya!
Jangan sering main HP di bis”
Sahut Hasa
sambil menarik kabel earphone yang menjuntai dan tersambung ke ponselku. Lihat
sifat protektifnya, mulai muncul. Pikirku sambil tersenyum kecut. Padahal aku
hanya sedang berusaha membuat diriku rileks dengan musik disney.
“Iya, raden”
Sahutku
merapikan earphone dan ponselku, lalu memasukannya kedalam tas. Bagaimanapun
juga, perintah dia tidak ada salahnya.
Aku melempar
pandanganku kearah jendela, mencari sesuatu agar tidak merasa bosan. Hasa
sendiri mulai memejamkan matanya disampingku.
Rasanya
rindu rumah.
Aku tak tahu
apakah perasaan itu muncul hanya karena merasa gugup untuk menemui Ibu Hasa
(lagi) atau memang karena sebulan terakhir ini aku belum pulang kerumah.
“Hei,benar tak
apa-apa kalau aku menginap dirumahmu?”
Aku mengguncang
tubuh Hasa, aku tahu dia belum tidur lelap. Dan memang benar, dia langsung
menoleh ke arahku.
“Gak apa-apa
dong! Memangnya kenapa?”
“Nanti Ibumu
merasa terganggu karena harus tidur dengan orang asing kan?”
“Haha, kalian
ini sama saja. Justru Ibu yang takut kau merasa begitu”
“Hmm.Oh”
Aku tak tahu
harus berkata apalagi.
“Tenang saja,
Ibuku sepertinya sangat menyukaimu”
Hasa seolah
membaca keteganganku. Yah.. Kuharap juga begitu.
***
Aku sampai
dirumah Hasa ketika menjelang siang. Seperti biasa Ibu Hasa menyambut kami
dengan pertanyaan “sudah makan?” Aku hanya menjawabnya dengan menatap Hasa. Biar
Hasa yang menentukan kita akan makan dimana.
“Ibu masak?”
Hasa justru balik bertanya pada Ibunya.
“Ya, ada ayam
bumbu kecap dan sayur sop, Ibu hangatkan dulu ya”
“Siap, bu haji”
Kami bertiga
masuk keruang keluarga.
“Neng Aleya,
tasnya simpan saja di kamar Ibu”
Aku mengangguk
dan tersenyum cerah. Rupanya Ibu sudah ingat namaku sekarang. Kegugupanku luntur
seketika.
“Masakan Ibu,
juara loh!” tutur Hasa padaku.
Aku mengangguk
setuju, bagaimanapun juga masakan seorang Ibu akan selalu jadi masakan dengan rasa
terbaik di seantero dunia.
Hanya perlu beberapa
menit untuk Ibu Hasa bersemedi di dapur. Beliau kemudian kembali ke ruang
tengah dengan masakan yang sudah dihangatkan. Aku dan Hasa segera bersiap
menyantap makanannya.
“Ibu ayo, makan
bersama”
“Ibu sudah makan
tadi, ayo makan saja, Ibu mau ke toko dulu”
Hatiku sedikit
mengkerut, mungkin karena dirumahku selalu dibiasakan makan bersama. Salah satu
frame paling hangat yang bisa aku rasakan dirumah.
Aku mulai
menyendok suapan pertamaku. Nasi dan ayam bumbu kecap buatan Ibu Hasa masuk
kedalam mulutku.
“Enaak kan?”
Hasa
mendefinisikan raut mukaku. Aku mengangguk cepat.
“Enakan mana
sama masakan Ibumu?”
Hasa selalu ingin membandingkan. Keduanya
sama-sama enak tentu saja! Aku hanya mengacungkan jempolku sambil menikmati
kunyahan demi kunyahan di mulutku.
“Masakan Ibuku
sudah pasti juara sih!”
Aku mengangguk
saja, tidak mau prosesi menikmati makanan ini terganggu. Ditambah lagi, aku
memang sedang lapar.
“Ibu, Aleya,
bilang makanannya enak, mau tambah lagi tiga piring katanya”
Ibu Hasa
tahu-tahu sudah ada dibelakangku, tertawa mendengar komentar Hasa. Aku
memelototi Hasa, nyaris tersedak karena pernyataan palsunya soal nambah tiga piring.
“Haha, iya makan
aja yang banyak” Jawab Ibu Hasa masih tertawa anggun.
“Mmmh, iya..
enak bu..”
Aku tak bisa
berkomentar lagi, sebab mulutku masih mengunyah.
“Besok mah
kita masak lagi ya, tahu bejek ya sama bala bala”
“Nah, siiip lah
bu haji”
Ibu Hasa
kemudian terduduk diruang tengah yang terhubung langsung dengan ruang makan.
Hasa dan Ibunya lalu saling bercakap-cakap soal menu andalan di rumahnya yang
dibandingkan dengan beberapa restoran ternama di sekitar tempat tinggal mereka.
Hasa juga mulai menyusun daftar tempat kuliner yang akan dikunjungi bersamaku.
Baru kali ini pikiranku begitu penuh dengan berbagai jenis menu makanan, dari
yang paling umum semacam martabak, hal yang tidak ada di kotaku semacam sate
padang, hingga camilan zaman dulu yang sudah jarang semacam misro dan klepon.
Tapi kali ini aku dan Hasa setuju untuk menjajak top-listed kuliner baso
di tempat tinggalnya.
***
“Neng Aleya sudah bertemu bapaknya Hasa?”
Sahut Ibu Hasa
sambil packing olahan abon yang sudah dikeringkan. Selain menjaga toko,
Ibu Hasa masih gesit membuat olahan abon untuk pelanggan setia-nya. Ini yang
membuatku begitu kagum pada beliau, bahkan di usia senjanya, Ibu Hasa masih
begitu bugar dan produktif. Terlebih lagi beliau selalu memperhatikan
putra-putrinya.
“Belum bu.”
Jawabku singkat, mengingat hal
itu termasuk kategori pembicaraan yang cukup sensitif.
“Ibu dan
Bapaknya Hasa... sudah berpisah cukup lama, tapi hubungan Hasa dengan bapaknya
masih baik. Cuma memang jalannya dengan Ibu sudah berbeda”
Seperti biasanya,
aku hanya menyimak dengan seksama. Sebenarnya Hasa sudah menceritakannya
padaku, tentang kedua orang tuanya, tentang masa kecilnya, tentang dirinya yang
pindah sekolah, hingga tentang Ibunya yang berjuang sendirian dan berbagai
pengalaman Ibunya dengan bermacam-macam orang. Tapi mendengarkan detil cerita
yang sama dari sudut pandang Ibunya, membuatku merasa benar benar ditarik ke
kehidupan masa lalu Hasa.
Seperti ada
gambaran dimensi baru yang muncul didepanku, seperti perputaran kenangan yang
diceritakan dalam sebuah film dengan narator terbaik yang pernah ada.
Mendengarkan
cerita Ibu Hasa, sambil menemaninya menjaga toko, menjadi rutinitas favoritku setiap
mengunjungi rumah Hasa. Berbagai perasaan dan berbagai cerita yang disampaian
Ibu Hasa, menumbuhkan perasaan baru didalam diriku.
Diam-diam aku
yakin, ini adalah salah satu transformasi dari kecerdasan dan kasih sayang Hasa, bahwa dia tidak hanya sedang membuatku jatuh cinta padanya, tetapi
juga pada Ibunya : orang nomor satu dalam hidupnya.
0 komentar:
Posting Komentar