//TANGANNYA//
Waktu
melesat dengan lambat sekaligus cepat. Dua bulan sudah terlewati sejak Deklarasi
Darso soal Takdir Tuhan. Dua bulan
itu terasa lama karena banyak yang terjadi. Sudah tak terhitung seberapa kali
Darso menganggu waktu liburku dengan pesan pesan singkatnya. Tak terhitung pula
perdebatanku dengan Hasa karenanya. Tapi pada akhirnya dua bulan itu sudah
berlalu.
Sayang
sekali, Darso masih belum jera. Hanya saja, kali ini aku lebih sering bertemu
Hasa. Semuanya selalu menjadi baik baik saja. Sekarangpun, Hasa mengunjungiku
sambil membawa setumpuk camilan.
“Kau
tahu? Jarang sekali tahu aku mengunjungi cewe
sesering ini. Biasanya aku malas kalau harus keluar kota. Atau paling tidak
cewe nya yang datang padaku.”
Aku tahu, makanya terima kasih.
“Haha.
Aku bahkan pertama kali nya pernah mengunjungi rumah laki-laki. Di luar kota
pula”
Balasku
berbanding tebalik dengan batinku.
“Hahaha”
Hasa tertawa namun terlihat kecewa. Sepertinya aku salah bicara.
Kemudian
hening sejenak.
“Hei
Aley..? Waktu kau bilang Kuro pergi… jadi kemana?”
Sial jangan bahas Kuro.
“Hm..
yaa… dia.. pergi saja”
Hasa
bahkan tak pernah melihat Kuro, tapi dia benar-benar menganggap keberadaannya.
Lihat Kuro, satu satunya yang percaya
padamu selain aku.
“Pergi
bagaimana? Kenapa pergi memangnya? Dia bilang apa pas pergi?”
Rentetan
pertanyaannya membuatku menggeleng keras.
Aku tak sanggup menceritakannya.
“Ayolah
Aley… sharing.. gimana aku bisa
tahu.. eh? Kau…”
“Jangan
berbalik!”
Aku
tak ingin dia melihat wajahku sekarang. Saat ini wajahku akan (amat) sangat
tidak enak dipandang, apalagi Hasa pernah bilang dia paling tak tahan jika
harus melihat perempuan menangis dengan wajahnya yang amat jelek. Dan aku bukan
selebritis yang bisa mengkondisikan wajah dan menangis dengan cantik.
“kenapa
nangis? Aku.. cuma ingin tahu soal Kuro..”
“Diamlah!!”
Hasa
benar-benar diam untuk beberapa saat. Lalu suaranya turun oktaf, nadanya
melembut dibandingkan nada normalnya berbicara.
“sudah,
jangan nangis Aley.”
Aku
menyerahkan catatan diariku padanya. Saat ini aku tak bisa bercerita, tapi jika
dia ingin tahu… Dia boleh membaca catatanku.
“Aku
hanya beri waktu 5 menit membacanya! Tidak boleh buka halaman lain! cuma soal Kuro!”
Tentu
saja, catatan itu seperti tabung emosi milikku sendiri. Aku terbiasa menulis
ketimbang berbicara, karena itu aku hanya bisa melepaskan emosiku melalui
kata-kata. Tak peduli tersusun rapi atau tidak, tak peduli berdiksi kaya atau
tidak, tak peduli berkualitas atau tidak. Itu semua hanya tentang apa yang
kurasakan.
“sudah
lima menit!”
Aku
menarik catatanku, tapi tenaganya lebih kuat dariku, catatanku tak bergeming di
tangannya.
“Sebentar
lagi.”
Dia
menghela nafas panjang saat mengembalikan catatan itu. Aku menoleh kearahnya
dan dia membuang muka. Apa dia marah?
Dia
diam begitu lama tanpa menoleh ke arahku. Kami saling diam dan tak bicara
apa-apa. Aku takut.. Apa dia akan..
“Aley…”
katanya pelan sekali.
“Hm?”
Aku melihatnya masih membuang muka.
“Boleh
aku pegang tanganmu? Sekali ini saja”
Seumur
hidupku, aku tak pernah membayangkan hal semacam ini akan benar-bena terjadi. Bagiku
yang cenderung menghindari kontak dengan orang banyak, berpegangan tangan hanyalah
milik para artis pemain adegan film drama, atau orang –orang extrovert lainnya.
“sekali
ini saja Aley” gumamnya lagi pelan. Dia membuka telapak tangannya.
Aku
mengangguk menyambut tangannya. Genggamannya kuat dan hangat, mengalirkan daya
listrik rendah keseluruh tubuhku. Dia seperti sedang mentransfer seluluh
perasaannya melalui tangannya. Sedangkan aku merasa menerima tumpahan air
hangat yang melimpah keseluruh tubuhku, membuat jantungku terpicu lebih
kencang, dan air mataku meleleh begitu saja. Perasaan hangat sekonyong-konyong
menyelimutiku dari ubun ubun hingga ujung kaki.
“kau..
jangan.. nangis”
“bodoh..
kau yang nangis Aley!”
Lalu
kita terdiam lagi.
“terima
kasih Aley”
Suara
Hasa semakin pelan hinga nyaris berbisik.
Aku
malah semakin menangis.
Harusnya aku yang berterima kasih.
Sore
itu, senja terlihat manis.
0 komentar:
Posting Komentar