//Restart//
Seandainya
di setiap kehidupan ada tombol restart..
Malam sudah
larut, aku dan Hasa sedang berada di penghujung perjalanan terakhir
kita. Teori distrorsi waktu mulai bekerja, perjalanan tiga hari ini terasa
hanya tiga jam. Aku tak tahu harus bagaimana. Bola mataku tertarik untuk
meliriknya sesering mungkin. Apa yang sedang dia pikirkan?
Disampingku, dia
terlihat amat kelelahan, matanya mulai memerah, mulutnya tak berhenti menguap
nyaris di setiap menit. Sesekali dia meregangkan ototnya sambil berhati-hati
memeggang stir mobil. Bodoh. Apa yang sebenarnya sedang kau rencanakan?
“Hei...”
Keheningan yang
sudah lekat dan lama tiba-tiba terpecah oleh suara baritone nya.
“hm?”
Kepalaku
berputar kearahnya, garis bibirnya seolah mengucapkan sesuatu, tapi aku tak
bisa menangkapnya dengan jelas.
“Hei..
Aku
lelah menghadapimu. Begitulah
yang kudengar. Badanku mendadak
tersengat listrik.
“Hah apa!?”
“Istirahat dulu
sebentar ya, aku ngantuk” ulangnya lagi.
“Oh...oke” aku mengangguk padanya, lalu perasaan
tersengat listrik itu tiba-tiba menguap entah kemana.
Perlahan dia
membelokkan mobilnya memasuki rest area. Setelah parkir, dia merebahkan badannya
sejenak, sementara aku membuka jendela mobil untuk menghirup angin malam.
Semakin dekat
dengan kota tujuan aku justru semakin takut.
“Itu namanya
ketakutan kehilangan, Lea”
Aku mendapati
kuro sudah duduk di pangkuanku.
“kau sudah tidak
marah?”
“entahlah”
“apa yang harus
kulakukan sekarang kuro?”
“tak ada Lea,
kau tidak bisa berbuat apa apa. Biarkan dia yang melakukan apapun yang dia
inginkan.”
Rasanya ada
kalimat yang salah dari ucapan kuro, tapi aku tak paham bagian mana yang salahnya.
“tapi kuro..dia
sudah melakukan banyak hal”
“tidak Lea,
dia sudah menyerah. Ingat? Tapi... membuatmu menjadi se-lemah ini, aku yakin ini
suatu prestasi baginya. Jadi, Cukup biarkan dia melakukan apapun yang di
inginkannya. ”
“Hei Lea, boleh
tolong pijat lenganku? Sepertinya kram”
Hasa terbangun
dari istirahat sejenaknya. Dia menatapku dengan tatapan memohon yang bercampur
kelelahan. Aku menatap Kuro, meminta persetujuan.
“Sekarang,
kau pun. Lakukan apa yang kau mau lakukan”
bisik Kuro sambil kembali meringsek ke tas selempangku.
Aku menghampiri
Hasa, memenuhi permintaanya.
“Terima kasih
Lea, kau berbakat jadi tukang pijit ya! Hahaha” candanya seperti biasa, aku
hanya tersenyum getir.
“Hei, Lea.”
Hasa menggeser
tempat duduknya menghadap kearahku. Dia menatap serius kearahku, samar-samar
aku mendengarnya menghela nafas berat lalu ia membuang pandangannya beralih menatap ke stir mobil.
“Lea... apa kita
menikah saja ya? haha”
Cara bicaranya
selalu begitu, terdengar ringan dan semaunya, tapi kali ini kalimat yang ia
ucapkan terdengar seperti gaung yang berat di telingaku.
“hah!?”
“yah...aku
cuma..entahlah, lagipula ibuku menyukaimu...bagaimana?”
Aku tak pernah
tahu kapan dia sedang serius kapan dia sedang bercanda. Kapan dia sedang jujur
kapan dia sedang menguji. Mungkin aku tak pernah benar-benar memperhatikannya. Hanya
saja aku dibuat tergelitik mendengar
kalimatnya. Angin malam kali ini menjadi terasa sesejuk angin pagi.
Telinga Kuro pun
langsung berdiri mendengar kalimatnya itu. Tapi dia masih tetap mempertahankan
posisinya di dalam tasku.
“Haha, memangnya menikah itu mudah”
Kekhawatiranku
di tiga hari kebelakang mendadak luntur. Aku bisa kembali bicara dengan nada
bercanda.
“hahaha..benar,
tapi ya makanya nabung .... oke?”
Aku mengangguk
tertawa. Seandainya itu bercanda, itu adalah kebohongan paling menyenangkan
yang pernah kudengar. Dan seandainya itu serius, itu adalah kalimat yang paling ingin kudengar darinya.
0 komentar:
Posting Komentar