Malam ini,
keluarga Hasa berkumpul di ruang tengah. Ada Ibu Hasa, ada Kak Redi dan
Istrinya Kak Renren, kak Kiki dan istrinya kak Nia juga anak-anaknya Jafi dan Rafi.
Suasana yang ramai menentramkan.
“Wah ada si Mas
tektek tuh! Aleya mau beli? Mie tek tek si mas disini enak lho!”
Tanya Kak Kiki
ketika mendengar suara ketukan kayu tok tok tok yang khas. Aku tersenyum
kering, bukan karena sungkan tapi karena perutku sudah penuh selepas sore tadi menjajak
kuliner Baso dengan Hasa, rupanya topik kuliner dirumah ini tak akan ada
habisnya.
“Oh iya, beli
dong, ayah juga mau?” jawab kak Renren menimpali, sekaligus bertanya pada
suaminya.
“Aku kenyang teh”
ucapku jujur. Tak lucu kan kalau aku nantinya tak bisa bergerak karena
kekenyangan.
“Enak loh Aleya,
nanti nyesel ngga nyobain” desak Kak Kiki.
“Yah mau nggak?”
Kak Renren masih mendesak suaminya juga.
“Nggak deh”
jawab kak Redi pada kak Renren.
“Aku juga nggak,
a, kenyang, tadi sudah makan baso dua porsi dengan Hasa”
“Bohong tuh,
padahal masih mau, beli aja a” Hasa yang baru keluar dari kamarnya
langsung masuk ke pembicaraan begitu saja. Aku memelototinya lagi.
“Ibu mau? Jadi
siapa aja yang mau beli?” tanya Kak Kiki lagi, mulai mendata pesanan.
“Aku, dan Aley” Hasa
mengajukan semaunya.
Kak Renren menangkap
raut tersiksaku dan tertawa karenanya.
“Haha, Hasa mah
pemaksa ya, segitu Aleya udah bilang
kenyang”
“Biarin teh
biar dia perbaikan gizi, hahaha” Hasa tertawa lebih renyah dari kakaknya.
“Ah dasar! Aku
dan Kak Redi ngga jadi pesan deh, ki, tadi juga sudah makan sih”
“Ibu juga ngga,
udah makan tadi”
Akhirnya Kak Kiki memesan empat bungkus mie, untuk Kak Kiki sendiri, istrinya juga untukku
dan Hasa. Saat mie sudah dihidangkan, aku mulai pasang wajah memelas agar Hasa
membantuku menghabiskannya.
“Apa? Aku sudah
makan banyak, tanggung jawab habiskan sendiri” sahutnya menjawab ekspresi
wajahku.
Sialan. Tanggung
jawab apanya! Padahal dia yang pesan.
“Teh, ayo
makan, coba deh” Aku meminta bantuan Kak Renren.
Kak Renren hanya
tertawa lalu sejurus kemudian pergi kedapur membawa sendok.
“Teteh mau
ya”
Kalimatnya
terasa seperti angin segar yang menghampiri ubun ubunku lalu mengelus perutku.
“Ciee, sepiring
berdua.. Ciee yang bilangnya udah makan tapi ternyata masih mau” ejek Hasa padaku dan Kak Renren, beruntung
aku masih bisa menahan diri tidak menjitak kepalanya. Aku sadar diri aku sedang
dikandangnya.
Tapi aku senang,
Kak Renren juga Kakak Hasa yang lainnya, tidak se-canggung yang aku kira
sebelumnya. Justru aku dibuat tenang oleh keramahan mereka.
“Duh, Ibu haji
mah fokus wee ke sinetron”
Kali ini Hasa memindahkan
target keusilannya pada Ibunya sendiri yang sedang khusyu’ menonton sinetron.
Saking khusyu’ nya, beliau sama sekali tak menggubris celetukan Hasa.
“Deuh, satu
panggilan tak terjawab”
Celetuk Hasa
lagi, semua orang tertawa kecuali Ibu Hasa yang masih fokus dengan tayangan
favoritnya.
“Ibu, si mas mi
tek tek teh, aslinya orang mana?” pancing Hasa lagi
“........”
Masih tak ada
respon, sebab klimaks sinetron lebih memikat Ibu Hasa.
“Dua panggilan
tak terjawab, Heleh fokus terus sama sinetron”
Kami tertawa
lagi.
“Bu....”
Panggil Hasa
lebih kencang.
“Shhh... Itu si
itunya kapanggih bohong tuh”
Jawab Ibu Hasa
merujuk pada sinetron yang di tontonya. Aku mengartikan kalimatnya seolah : shhh.
Ibi bagian sedang rame-ramenya.
“Tiga panggilan
tak terjawab, eh panggilan ditolak deng”
Lagi-lagi kami
semua tertawa melihat tingkah Hasa dan Ibunya.
“Kualat kau”
bisikku pada Hasa.
“Kalau gitu kau
juga bakal ikut kualat, karna ikutan tertawa”
Aku dan Hasa
kembali tertawa. Ada emosi meluap yang tak terdefinisikan menjalar di seluruh
tubuhku. Entah apa, tapi senyumku tak bisa berhenti terkembang karenanya.
***
“Hasa memang
begitu ya, selalu bercanda, harus bisa maklum ya.. haha” komentar Ibu Hasa
ketika aku dan beliau mulai bersiap tidur. Rupanya Ibu Hasa menyadari Hasa
sedang menggodanya, tapi tetap memilih fokus pada sinetronnya.
“Iya justru seru
bu...di rumah jadi terasa ramai”
“ya.. begitulah.
Oh ya, Neng Aleya tidur disini
yaa” Sahut Ibu sambil menepuk-nepuk kasur bagian sebelah kanan.
“Lampunya
dimatikan bu?” Aku tak tahu apakah Ibu Hasa terbiasa tidur dengan lampu menyala
atau padam.
“Iya tak apa-
apa dimatikan saja” Ibu Hasa mulai merebahkan tubuhnya di kasur bagian sebelah
kiri. Aku mengekor.
“Meskipun satu
ranjang, tapi kasurnya beda, yang Ibu tiduri ini kasur kapuk, coba
pegang.. agak keras kan?”
“Oh.. Iya bu,
gimana dong bu? Keras? Apa ditukar saja?” Gumamku pelan sekaligus kebingungan .
“Eh..
tidak apa apa, justru Ibu tidur di kasur kapuk karena lebih enak, kalau sakit
pinggang, lalu tidur di kasur ini, jadi baikan.”
“Kalau kasur
yang ditiduri Hasa di ruang tengah Itu kasur yang paling awet... sudah lama..
bahkan dari Hasa kecil”
Sepertinya Ibu
Hasa masih menyimpan banyak stok cerita tentang berbagai hal yang terjadi dari
hidupnya. Malam itu, aku mendengarkan cerita Ibu Hasa tentang kasur – kasur dirumahnya,
lemari baju yang dulu dibakar, tentang teman kecilnya Ibu yang membantu urusan
rumah tangga di rumahnya hingga memori Ibu soal abah, yang menjadi kakeknya
Hasa, di tempat dagang. Setelah itu,
suara beliau menjadi samar dan memudar. Entah karena Ibu Hasa yang mulai mengantuk
atau aku yang justru mulai kehilangan kesadaranku dan lelap ke alam mimpi. Aku
tak begitu menyadari. Hanya saja aku tahu, malam itu menjadi malam ternyaman
yang pernah aku habiskan di tempat yang justru baru bagiku.
0 komentar:
Posting Komentar